Sabtu, 23 Oktober 2010

Kisah Dompet Terakhir dari Wasior

Setelah beberapa hari hujan, siang itu matahari bersinar angkuh di atas langit Kota Wasior.

Panas yang membara bertambah sempurna dengan beterbangannya debu-debu sisa lumpur basah yang menghempas kasar ke setiap wajah manusia yang ada di kota itu.

Sisa-sisa penduduk yang masih menghuni Wasior memilih menyingkir dari terpaan terik mentari dan bersembunyi dalam rengkuhan bayangan pepohonan dan dinginnya tembok rumah.

Tapi Irwanto (30) masih berdiri di sebuah lahan besar tidak jauh dari Bandara Perintis Wasior.

Dia mematung di situ, tepat di bawah pijaran si raja siang dan seakan tidak peduli pada cahaya yang bisa membakar ubun-ubun kepala.

Dengan bercelana pendek, bersendal jepit, berkaus lusuh dan dengan lingkaran hitam di bawah mata tanda tidak tidur semalaman, pria yang akrab dipanggil Anto itu menatap sendu kantung mayat bewarna kuning di hadapannya.

Beberapa orang berseliweran di dekat kantung mayat yang masih terbungkus rapi itu, Anto tidak mengenali mereka, hanya dari seragamnya Anto tahu mereka adalah para relawan yang baru saja menemukan jenazah di bawah puing-puing bangunan di jantung Kota Wasior.

Mereka mulai membuka kantung mayat dan meminta Anto mengenali jenazah perempuan di dalamnya. Tanpa sempat mengambil nafas Anto merunduk ke arah raga tidak bernyawa yang sangat sulit dikenali karena sudah membusuk dan menghitam karena terlalu lama terkubur di dalam lumpur.

Namun, dari warna dan corak kain celana yang membalut tubuh kaku itu, Anto bersikeras itu adalah jenazah Irawati (25), isterinya yang sudah berhari-hari menghilang begitu banjir bandang meluluhlantakkan Kota Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat pada Senin 4 oktober.

Cincin yang melingkar di jari manis dan kalung emas di leher jenazah perempuan itu memperkuat keyakinan Anto bahwa itu adalah jenazah isterinya.

Kebekuan di indera penglihatannya mulai mencair, bulir-bulir air mata mulai mengembang dan Anto tak kuasa menahan pilu.

Para relawan dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Bulan Sabit Merah Indonesia mulai menggali tanah untuk memakamkan jenazah Irawati. Tepat di samping kuburan kecil, kuburan dengan nisan darurat bertuliskan nama Luthfi berusia 19 bulan, anak semata wayang Irwanto.

Kini lengkap sudah, pencarian Anto bermuara pada penemuan dua orang jenazah anggota keluarganya, isteri dan anaknya yang meninggal dunia karena tergulung lumpur ketika air bah menerjang kawasan itu.

Kini Anto sebatang kara di Wasior, karena isteri dan anaknya sudah meninggal dunia, dan kedua orang tuanya berada di kampung halaman, di Padang, Sumatera Barat.

Anto warga Wasior yang selamat dari banjir bandang setelah sempat tergulung lumpur. Ia berhasil menyelamatkan diri dan terdampar di kawasan pelabuhan yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya.

Namun, penyesalan masih bergelayut di hatinya hingga kini karena tidak bisa menyelamatkan bayi dan isterinya. Bayinya terlepas dari genggamannya ketika tembok rumah mereka rubuh dan menimpa tubuhnya.

Pada hari kejadian itu, dia tengah bercengkrama dengan sang bayi di peraduan karena di luar hujan deras dan air mulai menggenang di pelataran rumah sementara isterinya tengah pergi untuk membeli sarapan.

Anto seketika bangkit dan menggendong bayinya ketika mendengar jeritan warga di sekitar rumahnya dan bunyi-bunyian yang menggema akibat pergesakan antara batu-batu besar dan batang-batang pohon kayu yang menabrak rumah-rumah penduduk.

Anto mengaku, ketika itu dia ingin berlari ke luar, namun tiba-tiba rumahnya rubuh dan bayinya terhempas sementara ia hanyut tergulung lumpur bersama material rumahnya.

Dia sangat menyesal karena sebagai ayah dan suami dia tidak bisa menyelamatkan anak satu-satunya dan tidak bisa menemukan isterinya yang ternyata ikut tergulung lumpur dan terkubur di bawah reruntuhan rumah sebelum akhirnya ditemukan oleh TNI dan para relawan.

Yang lebih membuatnya menyesal adalah karena dia belum sempat meminta maaf pada isterinya yang sempat dia marahi pada malam sebelum hari kejadian.

Anto bercerita, di malam hujan pada Minggu 3 Oktober, Anto memarahi isterinya yang baru saja pulang membeli dompet seharga Rp150 ribu. "Padahal beberapa hari sebelumnya dia juga baru saja membeli dompet," katanya.

Mendengar sang suami marah, Irawati dengan tatapan menyesal berkata pelan "Maafkan saya, saya berjanji tidak akan membeli dompet lagi. Ini adalah dompet terakhir," kata Anto mengulang ucapan istrinya.

Tidak pernah terpikirkan oleh Anto bahwa ucapan isterinya itu menjadi nyata. Yang dibeli istrinya itu ternyata benar-benar dompet terakhir.

"Sekarang saya merasa sangat meneysal. Jika saja isteri saya bisa hidup kembali saya akan membelikannya dompet sebanyak-banyaknya berapa pun harganya," katanya.

Kisah anto merupakan satu dari sekian banyak cerita duka dari tanah bencana di salah satu wilayah di Negeri Ufuk Timur.

Banjir bandang yang menerjang Kota Wasior menewaskan sedikitnya 156 orang dan sekitar 155 lainnya hilang dan belum ditemukan.

Sementara itu, sekitar 5.000 orang lainnya meninggalkan Wasior untuk mengungsi di wilayah tetangga seperti Manokwari dan Nabire.

Pada saat ini, Kota Wasior seperti kota mati karena banyak rumah kosong sementara sekitar ribuan rumah rusak dan sebagian di antaranya rata dengan tanah.

Yang tersisa di Wasior pada saat ini hanya endapan lumpur, bongkahan batu-batu besar, dan batang-batang pohon raksasa yang terbawa saat banjir bandang.


Wuryanti Puspitasari (ANTARA News)