Sabtu, 16 Juli 2011

Berharap Pada Pemimpin IMF Yang Baru

Polemik pemilihan Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) yang baru selesai. Adalah Christine Lagarde (55 tahun) dari Perancis yang pada Selasa lalu (28/6) ditunjuk menjadi ketua IMF. Wanita pertama yang menjadi ketua IMF ini bakal langsung menghadapi krisis karena kekerasan protes anti penghematan Yunani mengguncang stabilitas zona euro.
Menteri keuangan Perancis mengatakan, Lagarde dihormati secara luas untuk kepemimpinannya selama krisis keuangan Eropa selama tiga tahun terakhir sehingga dia layak terpilih untuk menggantikan sesama Perancis Dominique Strauss-Kahn, yang mengundurkan diri tiba-tiba pada 18 Mei setelah ditangkap di New York untuk dugaan pelecehan seksual terhadap pelayan hotel.
Dewan eksekutif IMF telah memilih Christine Lagarde untuk mengabdi sebagai Direktur Pelaksana IMF dan ibu ketua dewan eksekutif untuk jangka waktu lima tahun mulai 5 Juli 2011. Lagarde menjadi wanita pertama yang ditunjuk untuk pos tertinggi IMF sejak lembaga didirikan awal 1944. Semua anggota dewan eksekutif IMF yang berjumlah 24 orang menyebut Lagarde sebagai kandidat berkualitas baik dan akhirnya memutuskan memilih Lagarde dengan konsensus.
Sekarang banyak Negara menanti bagaimana kiprah dan kontribusi akan diberikan oleh ketua IMF yang baru, terutama untuk kawasan Asia. Maklum, kendati dia memperoleh suara bulat, namun ada juga yang menyangsikan kemampuannya. Apalagi pemerintah Amerika Serikat sudah memikirkan untuk menaruh pejabatnya asal Departemen Keuangan untuk menempati posisi Kepala Bank Dunia.
Jika secara tradisi Direktur IMF dikepalai Eropa, maka kepala Bank Dunia dijabat oleh AS. Beberapa waktu lalu sempat berhembus kabar Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton berniat meninggalkan jabatannya sebagai menteri dan bersiap menjadi perempuan kepala Bank Dunia yang pertama.

Reaksi Negatif
Sayangnya, penunjukan Lagarde juga memancing reaksi negatif dari sejumlah orang. Ada yang mengatakan Lagarde adalah pilihan yang salah untuk mengepalai IMF karena mengambil lebih dalam ke dalam penyelamatan zona euro. Itulah pernyataan seorang mantan kepala ekonom (IMF), Simon Johnson. Menurutnya, Lagarde secara eksplisit diajukan sebagai seseorang yang dapat mewakili kepentingan zona euro pada saat zona euro membutuhkan bantuan.
Masih menurut Johnson, ada cacat desain utama di zona euro dan Lagarde adalah orang yang terakhir bahwa pemerintah non-Eropa harus mau ditugaskan membantu menyelesaikan masalah ini. Johnson, seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menjabat sebagai kepala ekonom IMF pada 2007-2008, mengatakan kehancuran keuangan Yunani, Irlandia dan Portugal mewakili “cacat desain” dan bahwa hal itu menuntut respon strategi yang sulit. Kesimpulannya, kepemimpinan zona euro perlu membuat sebuah pilihan.
Johnson mengakui Lagarde mungkin sudah memiliki cukup dukungan untuk menjadi direktur pelaksana IMF setelah pengunduran diri Dominique Strauss-Kahn. Tetapi sebagai ketua IMF, ia akan paling mungkin terus melemparkan kredit pada masalah zona euro, merujuk pada kemungkinan fasilitas pinjaman pencegahan untuk Spanyol, Italia, atau Belgia.
Sementara itu, mantan pejabat IMF, Eswar Prasad, menilai seiring upaya menangani krisis keuangan di Yunani, IMF harus lebih tegas dalam aturan pendanaan dan mampu memaksa Eropa menerima program restrukturisasi utang. Tantangan terbesar Lagarde adalah mengelola upaya IMF mengatasi krisis Yunani tanpa menjadikannya sebagai masalah yang lebih besar dan sekaligus tak ada perlakuan istimewa.
Komentar sinis juga datang dari ekonom Indonesia. Terpilihnya Christine Lagarde menjadi Direktur Pelaksana IMF tidak akan memberikan perubahan berarti bagi perekonomian dunia. Justru, terpilihnya Menkeu Perancis itu membuktikan dominasi AS dan beberapa negara Eropa sebagai pemegang saham IMF masih sangat besar. Soalnya kepentingan IMF bukan untuk membantu negara-negara yang terkena krisis, tetapi demi kepentingan negara-negara Barat. Itulah pernyataan ekonom senior, Rizal Ramli, di Jakarta (29/6).
Janji Lagarde untuk memberikan “ruang bermain” lebih besar kepada Asia, terutama China dan India, menurutnya sulit direalisasikan, karena dia harus menjalankan kepentingan pemegang saham IMF. Makanya, bagi Indonesia yang mendukung Lagarde, jangan heran kalau nanti IMF tidak memberikan dampak langsung.
Sedangkan pengamat kebijakan publik, Ichsanuddin Noorsy, menyatakan terpilihnya Lagarde karena konsensus bersama AS dan beberapa negara maju Eropa. Sebagai pemilik suara tertinggi, AS tentunya akan memilih orang yang sejalan dengannya. Ekonomi Prancis sepaham dengan AS sehingga Lagarde terpilih.
Tapi semua kritik dan pandangan negatif itu tentu akan menjadi referensi bagi ketua IMF yang baru untuk menunjukkan bahwa pilihan yang dijatuhkan kepada dirinya adalah pilihan yang tepat dan benar.

Salah Langkah
Salah satu aspek yang harus dibenahi oleh ketua IMF yang baru adalah ketepatan untuk memberikan advis, solusi dan rekomendasi dalam menangani negara yang terlanda krisis ekonomi. Maklum, IMF selalu salah langkah ketika ingin membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia. IMF berpikir dengan mengucurkan dana besar permasalahan di negara berkembang akan selesai.
IMF tidak melihat masalah yang struktural yang terjadi, terutama dalam mengatasi masalah kemiskinan sehingga berapa pun besarnya dana yang dikucurkan, tidak menyelesaikan masalah. Eropa juga terbukti gagal dalam mengatasi masalah ekonomi. Terbukti dengan gagal menerapkan jaminan sosial pada orang tua dan jompo. Program gagal menyebabkan uang di negara-negara maju di Eropa terkuras.
Beberapa waktu lalu, setelah memberikan bantuan utang kepada Indonesia, IMF serta-merta mensponsori kebijakan-kebijakan pro-investasi di sektor industri tambang dan energi. Produk kebijakan tersebut, di antaranya UU Migas, UU Kelistrikan dan UU Panas Bumi, serta UU No. 19 Tahun 2004 (BN No. 7140 hal. 31B-32B) tentang Kehutanan.
Intervensi IMF itu tidak membuat rakyat sejahtera. Pasalnya, sumber daya alam dan keuangan yang semestinya dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dijarah dan digadaikan untuk kepentingan pihak asing. Jadi, jangan pernah bermimpi Indonesia dan negara-negara lain akan sejahtera selama masih bergantung IMF. Jangan pula pernah bermimpi bisa memberikan kemakmuran kepada masyarakatnya, karena dalam konsep ekonomi liberal, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin bertambah miskin.
Indonesia memang tidak bisa sepenuhnya meninggalkan IMF. Terbukti, intervensi IMF di Indonesia masih sangat kuat, tidak hanya dalam menentukan arah kebijakan ekonomi, tetapi juga dalam produk politik seperti undang-undang (UU). Bahkan, puluhan UU yang ada saat ini, sangat kental dengan campur tangan IMF, sebut saja UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal Asing, hingga UU Pemilu.
Dampaknya, sumber daya alam dan keuangan ikut dirambah dan tergadaikan untuk kepentingan pihak asing. Padahal, UU yang diduga “pesanan asing” tidak berdampak baik dalam kehidupan rakyat. Dampak buruk sangat jelas sekali, di mana sumber daya alam dijarah pihak asing. Akibatnya, Indonesia tidak menjadi mandiri dan berdaulat secara ekonomi dan politik.
Dengan semakin pentingnya posisi Indonesia di dunia internasional, ke depan pemimpin Indonesia harus lebih berani menyuarakan kepentingannya untuk melindungi negara dan bangsanya dari eksploitasi IMF melalui berbagai program, kebijakan dan rekomendasi.


Sumber : BusinesNews