Minggu, 29 Juli 2012

Kesejahteraan Sesungguhnya

Krisis muncul di mana-mana. Eropa yang lama solid dengan konsep negara kesejahteraan, mengalami krisis keuangan. Amerika serupa, utangnya menggelembung tidak kebayang. Negeri ini setali tiga uang, sejalan dengan diadopsinya demokrasi sebagai panglima, krisis kejujuran dan krisis keteladanan menghadang. Benar sebagaimana diajarkan oleh ungkapan tua, demokrasi hanya cocok saat masyarakat sudah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu. Memaksakannya terlalu awal, hanya akan mengesahkan keliaran-keliaran. Tanda ke arah itu ada, peringkat kita sebagai negara berpotensi gagal memburuk tahun ini. Terutama di sektor penghargaan akan kaum minoritas, tekanan demografi serta hak azasi manusia. Dan ini menimbulkan pertanyaan susulan, apa itu kesejahteraan yang sesungguhnya? Salah satu orang yang pernah disebut terkaya di dunia bernama John D. Rockefeller. Di masa tuanya setelah kaya raya ia pernah ditanya, berapa banyak lagi uang yang akan dikumpulkan?. Sebagaimana ciri khas manusia yang dibuat semakin lapar oleh semakin banyaknya uang, Rockefeller menjawab: “sedikit lagi”. Ini mengingatkan pada cerita tua tentang tikus yang kembali menjadi tikus. Suatu hari tikus mengaku hidupnya tidak sejahtera karena terus diburu kucing, kemudian mendatangi penyihir agar segera dirubah menjadi kucing. Ternyata ia hanya sejahtera tiga hari sebagai kucing karena dikejar anjing. Lagi ia memohon ke penyihir untuk dirubah menjadi anjing. Ini pun hanya berumur tiga hari yang mengakibatkan ia meminta dirubah menjadi serigala karena tiap malam dihantui ketakutan dimakan serigala. Sebagaimana sifat keserakahan yang tidak mengenal batas, serigala ini lagi minta dirubah menjadi harimau. Dan begitu menjadi harimau, ia mau memakan penyihir agar tidak dirubah. Maka dikutuklah harimau ini agar kembali menjadi tikus selama-lamanya. Bila boleh jujur, ini cerita banyak kehidupan. Keinginan memang energi kemajuan, tapi tanpa pengendalian diri ia berubah menjadi keserakahan yang membuat kesejahteraan menjadi tidak mungkin tercapai. Cara hidup seperti ini kemudian membawa dampak ke mana-mana. Pemimpin yang mementingkan diri sendiri, politisi yang hanya ingat memperkaya diri, keluarga yang runtuh oleh perceraian, sampai angka bunuh diri yang meningkat di mana-mana. Sekaligus syarat demokrasi yang hanya tepat di masyarakat yang kesejahteraannya cukup menjadi tidak pernah tercapai. Di titik inilah manusia memerlukan pengertian ulang tentang kesejahteraan. Kesejahteraan bukan hasil ikutan dari terpenuhinya keinginan karena keinginan tidak pernah bisa terpenuhi sepenuhnya. Keinginan selalu kurang. Kesejahteraan lebih dekat dengan keberanian seseorang untuk mengatakan “cukup” pada keinginan berlebihan bahwa diri ini mesti begini dan begitu. Kemudian, baru mungkin lahir fundamen kokoh demokrasi bernama pelayanan. Mungkin karena menyadari bahayanya kolusi antara keinginan dan kekerasan, tatkala tokoh semua agama dunia berkumpul di Swiss februari 2009, kemudian sepakat bahwa inti sari semua agama adalah compassion (kasih sayang). Lebih dari sekadar menjadi inti sari semua agama, compassion adalah ciri utama manusia yang sudah sepenuhnya sejahtera luar dalam. Serupa seorang ibu memperlakukan putera tunggalnya, compassion membuat Ibu tidak pernah kelelahan merawat bayi. Tidak pernah mengeluh melayani keluarga. Dalam kisah bunda Teresa malah lebih mengagumkan lagi, compassion membuat beliau kebal dari penyakit. Pada cerita Nelson Mandela, compassion membuat beliau tabah dan tegar di tengah penjara selama 27 tahun sekaligus berumur panjang. Ini bisa terjadi bila seseorang sudah “cukup” dengan dirinya sendiri. Salah satu ikon compassion dunia saat ini adalah YM Dalai Lama. Disebut ikon karena menerima hadiah nobel perdamaian di tahun 1989, diangkat menjadi warga negara kehormatan oleh pemerintah Kanada di tahun 2006, serta diresmikan menjadi warga negara kehormatan oleh senat Amerika Serikat tahun 2007. Menyadari nasib negerinya yang menyedihkan, Larry King di CNN kemudian bertanya apakah beliau bahagia, dengan menganggukkan kepala beliau menjawan: “tentu saja”. Dan tatkala ditanya rahasia kebahagiaannya, dengan tersenyum lembut menyebut: “eat well sleep well“. Makan enak tidur nyenyak, sesederhana itu. Bila direnungkan dalam-dalam, manusia sesungguhnya memerlukan tidak terlalu banyak untuk bahagia dan sejahtera. Keinginan tidak terkendalilah yang membuatnya menjadi tidak pernah bisa terpenuhi. Di jalan tua meditasi dicatat, manusia sudah terlalu lama dipermainkan oleh bentuk-bentuk pikiran. Penderitaan terjadi karena seseorang dicengkram sepenuhnya oleh bentuk-bentuk pikiran. Keinginan, keserakahan, kemarahan hanya sebagian dari bentuk pikiran yang menjadi supir kehidupan menderita. Saat meditasi mendalam terlihat, bentuk pikiran mana pun - termasuk yang positif seperti kebahagiaan - serupa buih-buih sabun di air. Muncul sebentar kemudian lenyap. Penderitaan terjadi saat buih sabun positif (seperti kedamaian) lenyap, atau kala buih sabun negatif (keserakahan) demikian kuatnya mencengkram. Padahal, dalam terang cahaya meditasi terlihat keduanya hanya buih-buih sabun yang tidak kekal. Meditasi membebaskan karena membuat seseorang berhenti menjadi buih, kemudian belajar menjadi saksi yang penuh pengertian. Di puncak pengertian ini, baru mungkin bertemu pemahaman: “simplicity is the true wealth”. Kesederhanaan itulah kesejahteraan sesungguhnya. Kesederhanaan membuat seseorang tidak takut kehilangan. Kesederhanaan membuat pelayanan mengagumkan. Kesederhanaan adalah sahabat dekat kemulyaan. Mungkin itu sebabnya, almarhum Mohammad Hatta hidupnya sangat sederhana. Dalam filosofi Timur ditulis: “pure land is pure mind”. Tanah suci tersembunyi dalam batin yang suci. Bila sebagian saja pemimpin dan elit bisa sampai di sini, kemudian baru mungkin lahir dasar demokrasi yang kokoh, sekalian menghindarkan kemungkinan negeri ini menjadi negara gagal. Gede Prama