Minggu, 02 September 2012

Belum ke Palembang, jika belum melintasi Jembatan Ampera

Anda pernah berkunjung ke Palembang, Sumatera Selatan? Terasa kurang sempurna bila tidak menginjakkan kaki di jembatan kebanggaan warga setempat, yakni Jembatan Ampera. Bahkan, ada yang berceloteh, “Belum ke Palembang, jika belum menapaki Jembatan Ampera.”

Celotehan itu bukan isapan jempol belaka. Sebab, Anda bisa melihat antero kota dari atas jembatan itu, mulai dari gedung-gedung yang berdiri megah hingga puluhan ketek atau kapal besar yang bersandar menunggu penumpang dan barang yang akan di bawa ke pulau lain. 

Jembatan Ampera menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Bila melihat ke arah utara (Seberang Ilir), Anda akan menyaksikan peninggalan bersejarah Kota Palembang, seperti Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) dan Mesjid Agung Palembang. Sebaliknya, bila menoleh kea rah selatan (Seberang Ulu), Anda akan melihat bangunan megah Gelora Sriwijaya, Jakabaring, yakni stadion kebanggaan warga Sumatera Selatan. 

Terlepas dari itu, jembatan ini juga merupakan bukti sejarah perjuangan masyarakat setempat dalam memperjuangkan harga diri Indonesia dari tangan penjajah. Sebelum ada jembatan ini, masyarakat yang ingin pergi ke ulu atau sebaliknya, cukup kerepotan karena harus menyeberang sungai dengan ketek. Nama ketek merupakan perahu bermotor khas Palembang. Dalam bahasa Indonesia, ketek lebih dikenal ‘getek’. Namun, orang Palembang lebih mengenalnya sebagai sebutan ketek. 

Adanya Jembatan Ampera itu memudahkan masyarakat sekitar untuk mendukung kegiatan sehari-hari, baik untuk belanja maupun bekerja. Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palemvbang melalui pembangunan jembatan sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, pada 1906. Pada 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha merealisasikannya, saat jabatan Wali Kota Pelembang dijabat Le Cocq de Ville. Akan tetapi, proyek itu tidak pernah terealisasi sampai masa jabatan Le Cocq berakhir. Bahkan, hingga Belanda hengkang dari Indonesia. 

Seperti dikutip dari Wikipedia.org, gagasan itu kembali mencuat pada masa kemerdekaan. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu. Awalnya, jembatan itu dinamai Jambatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasnya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat, sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp. 30.000. 

Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/ Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Soekarno yang menjabat sebagai presiden saat itu menyetujui usulan pembangunan jembatan. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir – yang berarti posisinya di pusat kota – lalu Bung Karno mengajukan syarat, seperti penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Setelah itu dilakukanlah penunjukkan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar US$4,5 juta (kurs saat itu, US$1 = Rp. 200). 

Pembangunan jembatan ini dimulai pada April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana rampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan ini juga menggunakan tenaga ahli dari Negara tersebut. Pada awalnya, jembatan ini dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejumlah sejarahwan, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. 

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada 1966, nama jembatan itupun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), ketika gerakan anti Soekarno sangat kuat. Sekitar 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Akan tetapi, usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.


Herdiyan