Selasa, 20 November 2012

EKSODUS PERTANIAN

Menurunnya jumlah pekerja di sektor pertanian sebetulnya bukan realitas baru di Indonesia. Penurunan semacam itu terjadi setiap tahun dengan ber­bagai penyebab. Apakah penurunan tersebut menjadi bukti sahih bahwa profesi tani makin tidak menarik bagi warga perdesaan? Kita dapat menyebut penurunan pekerja pertanian itu sebagai eksodus, disengaja atau terpaksa. BPS belum lama ini merilis data terbaru tentang penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Disebutkan, jumlah pekerja di sektor pertanian atau petani menurun sebesar 1,4 persen dari 39,33 juta orang pada Agustus 2011 menjadi 38,88 juta orang pada Agustus 2012. Meskipun BPS mengatakan penurunan tersebut terjadi karena bersamaan dengan bulan puasa, bagaimanapun penurunan itu sama sekali tidak bisa dianggap kejadian biasa. Sektor pertanian kita memang sedang me­ngalami masalah serius. Meski sumbangannya pada pertumbuhan ekonomi nasional dikatakan meningkat, peningkatan itu sebetulnya sangat jauh dari harapan. Politik pertanian yang tidak sepenuhnya memihak kepada petani merupakan salah satu penyebab menurunnya daya tarik pertanian. Politik pertanian yang kehilangan roh keagrarisan (mengingat Indonesia masih sering disebut-sebut negara agraris) rupanya berdampak buruk pada produktivitas pertanian. Itulah me­ngapa hampir 65 persen kebutuhan pangan di dalam negeri masih harus dipenuhi dari impor. Realitas impor yang menyerbu hingga ke pasar-pasar tradisional di berbagai daerah terpencil sekalipun, merupakan sebuah pukulan yang menyurutkan semangat para pe­tani untuk terus bertahan di sektor yang telah mereka geluti secara turun-temurun. Di sejumlah daerah yang pernah dikunjungi, sebagian tukang ojek merupakan mantan petani. Profesi tukang ojek menjadi pilihan karena daya tampung sektor industri sangat terbatas, atau tidak tersedia sama sekali, sementara pertanian tidak lagi dapat diandalkan menopang ekonomi ke­luarga. Profesi tukang ojek juga menjadi pilihan yang paling mudah karena terbantu kemudahan dalam pemilikan sepeda motor. Pada kasus ini, eksodus pertanian rupanya difasilitasi pula oleh buruknya kebijakan transportasi. Data lain menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian terus menurun. Antara tahun 2008 hingga 2010 umpama, pertumbuhan sektor pertanian hanya 4,8 persen, lalu menurun menjadi 4,1 per­sen (2009), dan 2,9 persen (2010). Pada saat yang sama, peran pertanian sebagai sumber pertumbuhan PDB juga menurun, dari 0,6 persen (2008) menjadi 0,5 persen (2009), dan 0,4 persen (2010). Banyak pihak menduga bahwa menurunnya daya tarik pertanian merupakan akibat dari politik pertanian yang timpang dan pengembangan pertanian hanya dimaknai sebagai peningkatan produksi. Sementara faktor produksi utama (baca: petani) kurang mendapat perhatian. Padahal, tata cara pengolahan pertanian Indonesia hingga kini masih bersifat padat karya. Oleh sebab itu, mengabaikan kesejahteraan petani merupakan langkah sistematis melumpuhkan ke­kuatan penopang sektor pertanian. Eksodus pekerja sektor pertanian bukanlah sebuah fenomena pertanian semata. Kejadian ini sekaligus pula merupakan persoalan politik, sosial, bahkan budaya. Salah satu dampak eksodus yang kini dirasakan ialah terjadinya gelombang urbanisasi yang tidak berkualitas. Bagi kota-kota besar, eksodus pertanian menambah beban pemerintah kota dan memicu aneka masalah sosial di perkotaan. Pertanian bukan hanya soal kemandirian pangan, apalagi swasembada beras. Pertanian merupakan fondasi terpenting dan strategis kemandirian bangsa. Pertanian bahkan juga merupakan ponopang terpenting bagi industrialisasi. Dapat dipastikan eksodus pertanian bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Maka, eksodus pertanian (terutama yang bersifat permanen) mesti dicegah dengan kebijakan pertanian yang komprehensif mulai dari hulu hingga hilir dan pro-petani. BusinessNews