Senin, 02 Februari 2009

Iklim Kejujuran

Tidak jauh dari tempat saya tinggal ada sebuah jalan yang cukup panjang, sebuah jalan pedesaan yang rimbun berjajar rapi di sebelah kanan kirinya pohon rindang. Sejauh mata memandang di kiri dan kanan adalah sawah subur membentang.Setiap kali saya lewat jalan itu, saya lebih suka memacu mobil saya perlahan, mematikan AC dan membuka kaca jendela lebar-lebar sambil sesekali menarik nafas panjang menikmati segarnya udara.

Tapi, setiap lima tahun sekali, saya atau mungkin siapa pun yang lewat jalan itu, harus bisa berlapang dada. Manakala saat ini di sepanjang jalan itu tiba-tiba saja berubah begitu ramai oleh gambar caleg partai yang begitu lebat memenuhi kanan kiri tepi jalanan. Saya tidak tahu persis apakah cara kampanye seperti ini cukup efektif, yang jelas cara inilah yang saat ini banyak dilakukan. Yang kemudian sebagai orang yang harus bisa berbagi, maka kita harus bersabar untuk membiarkan itu terjadi sampai musim kampanye usai.

Beberapa hari lalu, ada sebuah kejadian yang cukup lucu. Dimana seseorang di jalan itu, hampir saja dikeroyok beramai-ramai gara-gara kedapatan mengambili dan merobek-robek beberapa gambar caleg. Untunglah polisi segera mengamankannya. Dan selidik punya selidik, ternyata dia adalah seseorang yang terganggu jiwanya. Sudah beberapa tahun terakhir ini dia mengalami depresi berat sehingga terkadang dia melakukan sesuatu diluar kendali akal sehatnya.

Hal yang lucu adalah, kabarnya ketika ditanya polisi, apa motivasi-nya mengambili gambar caleg itu, dia dengan ringan dan cengengesan menjawab, bahwa gambar-gambar itu merusak pemandangan. Nah..!

Walaupun dia bisa dikelompokkan sebagai orang yang tidak sehat mentalnya, tapi kita harus mau jujur bahwa dia adalah orang yang jujur, dan berani dengan kejujurannya. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa terkadang kita justru marah terhadap orang yang jujur kepada kita.

Saya pikir, tidak mudah untuk membangun sebuah iklim kejujuran terhadap orang-orang di sekitar kita, atas apa yang ada dan terjadi, dan segala yang kita lakukan. Dan semua ini justru tergantung kepada pilihan-pilihan sikap kita terhadap orang-orang yang justru memberi kita informasi apa adanya terhadap kita. Sehingga pilihan kita tadi akan membentuk sebuah iklim dimana kemudian orang cenderung untuk selalu jujur kepada kita, atau justru berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya di hadapan kita.

Karena orang yang jujur di sekitar kita, tak ubahnya sebuah cermin. Ketika suatu saat kita buruk muka kemudian memilih untuk membelah cermin, maka bisa dipastikan bahwa lambat laun cermin-cermin itu memilih untuk tidak mendekat kepada kita. Atau kalaupun mereka mendekat, mereka memilih merubah diri mereka menjadi gambar-gambar yang indah tinimbang menjadi sebuah cermin.

Perilaku orang-orang yang spontan mengeroyok orang dalam cerita saya di atas, mungkin salah satu contoh tipikal kita yang justru cenderung menjadi marah bila ada orang lain yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan atau dikatakan (perilaku jujur), tapi tidak sesuai dengan harapan kita terhadap perilakunya.

Sehingga bila suatu saat anda mendapati seseorang berkata bohong kepada anda, mungkin ada baiknya anda justru bertanya kepada diri anda sendiri sampai seberapa jauh anda selama ini membangun iklim kejujuran terhadap orang-orang di sekitar anda..


Oleh : Pitoyo Amrih