Rabu, 04 Februari 2009

Mengukir Prestasi, Meredam Frustrasi

Recession is when your neighbor loses his job. Depression is when you lose your job(Ronald Reagan,1980). Krisis ekonomi selalu disertai depresi psikologis yang hebat. Bukti paling nyata adalah kasus bunuh diri yang dilakukan manajer investasi asal Prancis (Thierry de la Villehuchet), konglomerat asal Jerman (Adolf Merckle), dan juru lelang properti di Chicago (Steven Good).

Hal serupa juga terjadi saat terjadi Depresi Besar 1929-1933. Banyak orang frustrasi karena standar hidup pada 1933 lebih rendah dari apa yang sudah mereka nikmati pada 1922. Pada situasi yang sangat gawat bagi kelangsungan sistem ekonomi kapitalisme itu, sejarah mencatat surat yang dikirim John Maynard Keynes kepada Presiden Roosevelt, yang isinya meminta agar pemerintah Amerika Serikat segera mencairkan anggaran belanja secara besar-besaran untuk proyek-proyek yang banyak menyerap tenaga kerja.

Bagi Keynes, mempertahankan anggaran berimbang dalam kondisi resesi adalah kebodohan. Solusi untuk mengatasi resesi adalah menaikkan permintaan agregat. Pengeluaran rumah tangga merupakan komponen kunci dari permintaan agregat tersebut. Itu sebabnya pengeluaran rumah tangga harus didorong naik.
Jika pendapatan meningkat, belanja rumah tangga juga akan meningkat. Kecenderungan untuk konsumsi (marginal propensity to consume) ini akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect). Diktumnya yang terkenal,"the higher the degree of consumption, the higher the multiplier".
Resep Keynes yang amat manjur pada saat itu mampu menjauhkan ilmu ekonomi dari tudingan Thomas Carlyle (1849) yang menyebut ilmu ekonomi sebagai "the dismal science" (?ilmu yang murung'). Bagi para pengikut Keynes, ekonomi mirip sebuah mobil yang memiliki pedal gas dan pedal rem.
Pedal gas adalah pengeluaran pemerintah yang lebih besar dan pajak yang lebih rendah. Pedal ini yang harus ditekan pada masa resesi. Bagi para pemikir moneteris yang sering dianggap lawan dari kubu Keynesian, ekonomi memang memiliki pedal gas dan pedal rem, tetapi dalam pandangan mereka yang disebut pedal rem adalah jumlah uang beredar yang lebih besar (higher money supply).
Penelitian Milton Friedman, tokoh besar kubu moneteris, menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat cen-derung stabil, dan hanya berubah apabila ada harapan terhadap perubahan pendapatan secara permanen (permanent income hypothesis). Depresi 1929-1933 menjadi parah karena jumlah uang beredar turun sepertiganya.
Dengan demikian, bila Keynesian melihat kebijakan fiskal lebih efektif untuk menjinakkan ancaman resesi, kaum moneteris melihat tingkat suku bunga dan laju kredit lebih memberi harapan. Jadi, pernyataan Presiden Nixon (1971) bahwa "We are all Keynesians now", atau pengakuan Franco Modigliani (1977) bahwa "We are all monetarists now", tidak bisa kita terima begitu saja.
Keduanya harus digunakan secara cerdas dan tepat. Ilustrasi ini mungkin tepat untuk menggambarkan pilihan kebijakan pada masa ekonomi sulit. Seorang pebisnis yang sukses suatu hari mengunjungi mantan dosennya. Pada saat masuk ruang kerja sang dosen, dia terkejut karena membaca soal tes yang persis sama dengan soal yang diajukan kepadanya sekitar lima belas tahun lalu.
Tak bisa menahan keheranannya, pebisnis tersebut bertanya, apakah sang dosen tidak takut apabila para murid mencari jawaban dari pekerjaan para murid di masa lalu? Dengan tenang sang dosen menjawab," No, that's okay. I do keep the same questions. It's the answers I change each year".
Keynes sendiri pernah dikritik karena sering dinilai tidak konsisten mempertahankan argumen teoretisnya. Terhadap kritik yang demikian, Keynes hanya menjawab, "When my information changes, I alter my conclusions. What do you do, Sir?"
Sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi resesi tampak merupakan upaya untuk menggabungkan potensi pendekatan Keynesian dan moneteris. Ini terlihat dari keberanian pemerintah untuk mengusulkan defisit anggaran yang lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya, bersamaan dengan upaya Bank Indonesia untuk terus menekan suku bunga primer.
Meski demikian, efektivitas stimulus fiskal masih menjadi persoalan besar mengingat pola pengeluaran anggaran yang masih cenderung menumpuk di akhir tahun. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menarik, karena di tengah upaya pemerintah pusat menggerakkan ekonomi nasional, ternyata banyak dana pembangunan yang diendapkan oleh pemerintah daerah, yang jumlahnya per Juni 2008 mencapai Rp 94,4 triliun, atau meningkat empat kali lipat dibanding tahun 2003.
Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak memiliki dampak berarti terhadap penurunan harga-harga kebutuhan pokok juga harus segera dicermati. Apakah penurunan tersebut jauh dari ekspektasi masyarakat yang sudah berhitung harga seharusnya turun lebih besar, sehingga upaya tidak menurunkan harga merupakan strategi tepat untuk menekan pemerintah agar harga BBM kembali diturunkan?
Apakah potensi penurunan biaya produksi akibat penurunan harga BBM termakan oleh kenaikan biaya akibat penurunan kurs rupiah? Dalam beberapa bulan ke depan, akurasi, efisiensi, dan efektivitas kebijakan pemerintah dalam meredam dampak krisis ekonomi akan diuji. Kita mengharapkan indeks prestasi yang lebih baik, bukan indeks frustrasi yang semakin meluas.


Prof . Hendrawan Supratikno PhD Penulis, Guru Besar FE UKSW, Salatiga.
Dosen pascasarjana di sejumlah universitas.