Sabtu, 27 Februari 2010

Belajar dari Lompatan Jauh Ketua Mao

Akhir-akhir ini kita sangat disibukkan oleh diskusi mengenai akan membanjirnya barang-barang dari China, seiring mulai berlakunya kawasan perdagangan bebas ASEAN+3, 1 Januari 2010.

Sebagian besar suara yang muncul menyuarakan kekhawatiran bahwa produk China akan membuat industri Indonesia, baik skala besar maupun kecil, akan bangkrut. Produk China yang murah, up to date, dengan kemasan bagus, memang menjadi ancaman serius, tak hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi negara maju. Di dunia survei pemetaan, produk China masuk Indonesia sekitar lima tahun lalu. Mereka berusaha merebut pasar yang selama ini dikuasai produk Swiss, Jerman, Amerika, dan Jepang.

Untuk sebuah peralatan dengan fungsi sama, buatan China bisa dijual dari 30- 60 persen produk buatan negara lain. Di pasar internasional, produk mereka bisa dijumpai hampir di seluruh negara yang tengah gencar mengadakan proyek konstruksi dan tambang. Menyadari bahwa produknya masih banyak diragukan, produsen China gencar berpromosi, baik dengan meminjamkan peralatannya untuk sementara waktu maupun dengan mengikuti berbagai pameran. Produk navigasi dari China menyebar dalam berbagai wujud.

Dari teknologi yang relatif sederhana, yang biasa digunakan untuk survei topografi, hingga peranti yang bisa digunakan untuk menangkap sinyal satelit (GNSS). Global navigation satellite system (GNSS) merupakan sistem navigasi global berbasis data satelit dari berbagai negara. Bila di masa lalu penentuan navigasi hanya mengandalkan GPS (dari Amerika Serikat), kini sudah ada Galileo (Uni Eropa), Compass (China),Glonass (Rusia). India dan Jepang juga tengah merencanakan peluncuran satelit navigasi. GNSS membuat para pemakai peralatan navigasi tidak bergantung sepenuhnya pada Amerika.

Compass direncanakan berada di ketinggian orbit 21.250 kilometer dengan satu kali mengelilingi bumi 12,6 jam. Rencananya ada 35 satelit Compass di orbit. Compass dibuat untuk dua pasar yakni militer China dan kalangan sipil di seluruh dunia. Akurasi untuk keperluan militer dibuat lebih tinggi. Keseriusan China untuk masuk bisnis luar angkasa makin mengagetkan dunia survei dan pemetaan tatkala akhir Desember ini Badan Survei dan Pemetaan China mengumumkan tengah menyiapkan satelit penangkap citra bumi dengan resolusi tinggi untuk memantau tata guna lahan, agrikultur, lalu lintas, dan perencanaan kota. Satelit itu diberi nama ZY 3, akan diluncurkan pada 2011 di Taiyuan, salah satu pusat antariksa China dengan tinggi orbit 500 kilometer.

Satelit ini diplot beroperasi di 84° lintang utara - 84° lintang selatan. Jakarta, yang terletak di kisaran 6° lintang selatan,tiap hari diintip oleh ZY 3. Hanya secuil wilayah bumi yaitu di ujung utara dan di ujung selatan yang tidak dimonitor oleh satelit ZY 3. Peluncuran satelit ZY 3 bisa menjadi ancaman serius bagi wahana yang sudah ada sebelumnya seperti Ikonos,GeoEye, Spot.Yang menimbulkan kekhawatiran bagi negara adidaya, satelit untuk keperluan menangkap citra di bumi acapkali digunakan untuk keperluan militer. Inilah yang dilakukan Israel, Rusia, maupun Amerika. Anda tentu masih ingat, Amerika menggunakan data hasil citra satelit GeoEye untuk memonitor perkembangan fasilitas nuklir Iran.

Bila kita runut ke belakang, masuknya China ke luar angkasa mempunyai sejarah panjang. Ini bisa kita lacak dari Rencana Pembangunan Lima Tahun 1958-1963 yang dicanangkan Mao Zedong, Bapak Pendiri China Modern, dengan semboyannya yang terkenal hingga kini: “Lompatan jauh ke depan”. Intinya, pembangunan pertanian dan industri harus berjalan bersama. Di bidang pertanian, Mao memaksakan dibentuknya koperasi di pedesaan, serta mewajibkan rakyat mengikuti instruksi pemerintah. Agar industri bisa berjalan dengan baik dan harganya bersaing dari produk impor, tenaga kerjanya harus murah.

Tahun dicanangkannya ‘’Lompatan jauh ke depan’’ bertepatan dengan bergolaknya perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Salah satu yang memicu tekad Mao Zedong mengembangkan teknologi nuklir dan ruang angkasa China adalah ancaman Amerika Serikat yang akan menggunakan senjata nuklir untuk menghancurkan negara pendukung Korea Utara. Mao Zedong mengatakan, hanya kekuatan nuklir yang bisa menjamin kekuatan keamanan Republik Rakyat China, dan membuat takut kekuatan asing.

Kekuatan nuklir juga diperlukan untuk memaksa negara-negara superpower agar mengakui pemerintahan komunis China karena selama ini mereka hanya mengakui Taiwan.Yang dimaksud Ketua Mao adalah Amerika Serikat. Kalimat Mao yang hingga kini masih banyak dikutip: ‘’Kita tidak hanya butuh banyak pesawat udara dan senjata artileri. Kita juga perlu bom atom. Di era sekarang, agar kita tidak dilecehkan, kita harus mengembangkannya.’’ Tekad untuk membuat China melompat jauh ke depan makin bertambah tatkala pada 4 Oktober 1957 Uni Soviet mengirimkan astronotnya ke luar angkasa dengan proyek Sputnik-nya.Amerika lalu mengumumkan akan mengirim misi Apollo ke bulan.

Mei tahun berikutnya, di depan Kongres Partai Komunis, Mao mengumumkan, China harus berdiri sejajar dengan negara superpowerlainnya. Program luar angkasa China bisa berjalan baik karena ada dukungan penuh dari pemerintah plus ada tenaga ahli yang mumpuni. China diuntungkan dengan diusirnya Qian Xuesen, ilmuwan keturunan China lulusan Massachusets Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Ia pemain penting dalam masa awal program luar angkasa Amerika,diusir karena dituding menjadi matamata China. Qian Xuesen meninggal September lalu di China pada usia 98 tahun, dan mendapat anugerah alumni berprestasi dari MIT.Pengusirannya dipandang sebagai salah satu keputusan terjelek dalam sejarah politik Amerika.

Bila di masa Mao, China dikenal dengan semboyan ‘’Lompatan jauh ke depan’’, kini negeri itu mengenalkan ‘’Lompatan jauh ke atas’’,dengan program luar angkasanya. James Oberg, ahli dari NASA, pada 2003 menulis di Scientific American Magazine bahwa dalam satu dekade, program luar angkasa China akan melewati Rusia maupun punya Masyarakat Eropa (ESA). Ramalan ini tampaknya akan terwujud mengingat China kini tengah bersiap-siap meluncurkan program penempatan stasiun penelitian di ruang angkasa, plus program pendaratan astronot di bulan.

Pada 2007 China bahkan sudah berhasil mengirimkan wahana tanpa awaknya ke bulan. Program luar angkasa itu tak bisa dilepaskan dari peningkatan industri lainnya. Dengan sekali melompat jauh ke depan, industri lain juga akan ikut terbawa maju. Filosofi ini di Indonesia berkalikali disampaikan Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie di era Presiden Soeharto sebagai alasan mengapa Indonesia perlu punya industri pesawat terbang. Dengan memiliki industri dirgantara, Indonesia dengan sendirinya akan memiliki industri sekrup, pabrik baja, dan industri pendukung lainnya.

Ide BJ Habibie banyak mendapat tentangan dari para ekonom, yang menyatakan bahwa Indonesia belum saatnya memiliki industri canggih. Ide itu pupus setelah kedatangan IMF yang memaksa pemerintah merestrukturisasi industri strategis. Berbeda dengan China, yang secara konsisten menjalankan program luar angkasa.Walaupun teknologi dan perangkat China banyak yang menjiplak Amerika dan Rusia, itu sudah cukup membuat banyak negara memandang China sebagai negara maju. Pandangan ini memudahkan China menjalankan diplomasi luar negerinya, di samping merupakan alat promosi ampuh bagi masuknya barang-barang hasil industri China.

Bila kita melihat akhir-akhir ini barang China makin menguasai pasar -tahun lalu sekitar 17 persen impor Indonesia dari China- , kita harus melihat hal itu bukan hal yang muncul tiba-tiba.Semuanya karena direncanakan dengan program pembangunan terpadu. Industri luar angkasa tak bisa dilepaskan dari industri lain seperti komputer, tekstil, atau elektronik. Ini bisa dilihat dari buku putih tahun 2000 keluaran Kementerian Penerangan China. Di situ dinyatakan, industri luar angkasa China merupakan bagian integral dari strategi pembangunan negara yang komprehensif.

Pada Juni tahun itu juga jurnal bulanan Xiandai Bingqi, terbitan lembaga riset teknologi militer, menyatakan bahwa peluncuran pesawat luar angkasa berawak akan meningkatkan “derajat” bangsa China di berbagai bidang teknologi tinggi seperti komputer, peralatan elektronik, material pesawat luar angkasa. Hasil riset dari pengembangan teknologi luar angkasa dapat diterapkan di kegiatan militer dan sipil.

Jadi apa tujuan misi antariksa China? Para analis antariksa dari NASA menilai, tujuan utamanya adalah untuk PR -public relations. Dengan mengirimkan astronot serta membangun stasiun di luar angkasa ,China bisa menunjukkan pada dunia negeri ini sudah pantas menyandang status sebagai ‘’superpower’’: adidaya di teknologi, industri, maupun finansial. Bagi Indonesia, strategi China ini sebenarnya tak ada yang baru. Ini bisa dilihat dari buku karya juru bicara presiden, Dino Patti Djalal, yang berjudul Diplomasi I Can ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bila diplomasi ini diterapkan secara konsisten, termasuk di dalam pengembangan teknologi luar angkasa, Indonesia niscaya tak akan tertinggal dari negara lain. Saya yakin, rakyat akan semakin cinta pada produk dalam negeri karena mereka tahu bahwa bangsa Indonesia sudah mampu menguasai teknologinya.


Iwan Qodar Himawan
Praktisi pemetaan, pengurus pusat Ikatan Surveyor Indonesia