Selasa, 02 Maret 2010

The emotionally intelligent leader!

"Tiada instink yang lebih tajam daripada hati kita" Lord Byron

Suatu hari, seorang pemimpin sedang merayakan ulang tahun. Dengan susah payah, semua bawahannya telah mengumpulkan uang dan menunggu momen berharga ini untuk memberikan 'kejutan' berupa pesta ulang tahun di kantor mereka.

Pagi itu, saat si pemimpin tiba, ulang tahun pun dilakukan. Semua karyawan hadir. Pesta kecil-kecilan pun berlangsung. Namun, si pemimpin itu mukanya datar-datar saja dan setelah setengah jam lebih, setelah nyanyian ulang tahun dan tiupan lilin, si pemimpin itu berkata dengan dinginnya, "Udah ya. Saya tidak ingin kalian berlama-lama dengan kegiatan seperti ini pada pagi hari. Kalian mesti segera kembali ke tempat kerja!"

Begitu juga, pada lain kesempatan, ada seorang pemimpin yang anak buahnya baru saja kehilangan orangtuanya. Akibatnya, si anak buah tersebut harus pulang ke kampungnya untuk beberapa hari.

Pada hari yang kedua sejak kepulangannya, si anak buah ini mendapatkan SMS dari atasannya yang bunyinya, "Tolong jika semua urusan sudah selesai, segera kembali masuk kantor karena banyak tugasmu yang terbengkalai".

Pembaca, itulah berbagai pengalaman nyata yang dialami oleh beberapa anak buah dengan atasannya yang kurang cerdas emosinya. Mereka adalah para leader yang naik ke posisinya karena kemampuan teknisnya yang bagus, tetapi dari sisi kecerdasan emosi (EQ), mereka masih harus banyak belajar.

Tantangan para leader

Untuk menjadi pemimpin yang tinggi EQ-nya sebenarnya bukanlah hal yang sepele, tetapi juga bukannya tidak mungkin. Banyak pemimpin menyepelekan EQ, karena dianggap terlalu soft (ringan) dan dengan mudah bisa dipelajari. Mereka salah!

Dampaknya, banyak pemimpin yang kurang mengembangkan sisi EQ-nya. Tatkala posisi mereka semakin bergerak ke puncak organisasi, tuntutan akan kemampuan EQ-pun semakin kritikal. Nah, di sinilah banyak di antara mereka yang mengalami stagnasi dalam kariernya, gara-gara kemampuan EQ-nya jeblok.

Saya pribadi jadi teringat dengan buku karya John D. Mayer dan Peter Salovey terbitan tahun 1997 yang berjudul "Emotional Development dan Emotional Intelligence". Buku ini terbit lantaran terinspirasi adanya pemisah yang cukup lebar antara pentingnya emosi dalam kehidupan (harapan) para pemimpin dan tingkat pemahaman pemimpin akan emosi orang lain yang cenderung di bawah rata-rata (kenyataan).

Dari buku tersebut, saya diinspirasikan beberapa tip bagaimana cara untuk menjadi pemimpin yang cerdas secara emosional. Inilah yang sering kali kita sebut sebagai emotional blueprint. Apakah itu? Ini empat tip emotional blueprint yang bisa menjadikan Anda sebagai emotionally intelligent leader!

Empat emotional blueprint

Pertama, membaca serta mengidentifikasi emosi orang lain. Ketika pertama kali bertemu seseorang, apakah Anda bisa menerka dengan pas apa yang dirasakan orang tersebut?

Apakah Anda bisa membaca suasana hati mereka? Inilah hal pertama yang perlu dimiliki jika Anda saat ini adalah seorang leader yakni kemampuan mengidentifikasi secara akurat emosi orang lain serta bagaimana bersikap terhadap emosi tersebut.

Kelemahan banyak leader, umumnya terletak pada ketidakpekaan mereka terhadap apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Masalahnya, banyak leader merasa bahwa mereka berada dalam posisi 'dipahami' bukan untuk 'memahami'.

Ini sama halnya dengan kasus Marie Antoinette, istri raja Louis XVI yang akhirnya diganjar dengan hukuman pemenggalan kepala dengan pisau guilottine. Konon, rakyat bisa saja menyelamatkan dirinya, tetapi rakyat sudah telanjur kecewa lantaran tidak pernah 'didengarkan'.

Kisah Maria Marie Antoinette, sering kali dijadikan sebagai simbol pemimpin yang tidak peka terhadap perasaan orang yang dipimpinnya.

Yang jelas, dengan kemampuan kepekaan yang tinggi terhada perasaan orang lain, maka kita bisa bertindak dengan tepat terhadap orang tersebut. Inilah langkah paling pertama dan paling fundamental.

Langkah kedua, yakni menggunakan kekuatan emosi. Inilah kemampuan kedua yang perlu dimiliki seorang leader yang cerdas emosinya, yakni kemampuan memilih serta memutuskan emosi apakah yang tepat untuk membantunya mencapai sasarannya.

Di sini, para pemimpin mestinya sadar bahwa, penyebab mengapa seseorang tidak berkinerja baik dalam pekerjaannya, banyak disebabkan oleh penggunaan emosi yang salah atau tidak pada tempatnya.

Contohnya untuk menciptakan suasana kerja yang baik, tentunya harus melibatkan unsur emosi yang fun serta menyenangkan dan penuh dengan antusias. Apa jadinya jika emosi yang dilibatkan adalah emosi sedih, tidak mood. Tentunya akan kontraproduktif, kan?

Maka itu, seorang leader ber-EQ tinggi, mengerti bagaimana menciptakan suasana emosi yang pas untuk menunjang pekerjaan timnya. Lihatlah kisah Napoleon Bonaparte yang konon begitu mampu menciptakan emosi yang luar biasa pada prajuritnya, sehingga dikatakan kehadiran dirinya saja setara sudah dengan 1.000 tentara! Nah, pertanyaannya, bagaimana dengan emosi yang tercipta dari kehadiran Anda di tim Anda?

Ketiga, belajar memahami emosi terselubung. Emosi memiliki bahasa tersendiri. Kemampuan untuk memahami emosi berarti Anda dapat merasakan serta memahami emosi orang lain, sehingga Anda dapat berespons dengan cara yang efektif.

Namun, sering kali saya dibanjiri pertanyaan, "Kalau mereka tidak bilang, bagaimana saya bisa tahu?". Nah, justru di situlah tantangannya. Salah satu tantangan sebagai seorang leader adalah dapat memahami emosi-emosi yang tidak terkatakan bahkan tidak terungkapkan, khususnya oleh tim yang Anda pimpin. Saat Anda mahir dengan kemampuan ini, produktivitas kerja dengan tim akan dapat dilipatgandakan.

Pertanyaannya apakah kita bisa peka untuk memahami emosi terselubung dari orang lain? Bagaimana caranya? Secara spesifik biasanya saya kupas tuntas di dalam program Kecerdasan Emosional selama 3 hari, yang kami adakan juga pada bulan ini.

Keempat, kelola emosi pribadi. Perlu dipahami, emosi sendiri mengandung informasi yang penting. Sebagai seorang leader sangatlah berharga untuk selalu peka terhadap emosinya sendiri. Apa yang sedang disampaikan oleh bawah sadar Anda kepada diri.

Anda melalui emosi yang Anda rasakan? Selanjutnya, seorang pemimpin bisa menggunakan informasi dari emosinya sendiri untuk menuntunnya dalam proses pengambilan keputusan.

Sudah berulang kali, saya mendengar kisah dari pemimpin yang terlepas dari pengambilan keputusan bisnis yang fatal lantaran mendengarkan emosinya yang merasa 'kurang sreg'.

Intinya, mulai sekarang, untuk menjadi leader yang tinggi EQ-nya, Anda harus mulai belajar kelola emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Untuk itu, renungkanlah dan ukurlah keempat emotional blueprint ini dalam hidup Anda. Selamat menjadi emotionally intelligent leader!


Oleh: Anthony Dio Martin