Senin, 01 Maret 2010

Pè-Ès-Cé

Sudjono adalah satu nama di antara belasan guru Sekolah Dasar yang menjadi top of mind di benak saya sampai detik ini. Sebuah percakapan terjadi di kelas 5A pada hari Senin pagi minggu pertama bulan Maret 1971. Pak Djono, sebagaimana biasa, selalu memulai pelajaran menggambarnya dengan cerita. Berikut adalah salah satu cerita yang menggurat di ingatan saya:

Seorang lelaki tua tinggal di pusat kota Jakarta. Ia biasa bangun pagi, mengunci pintu, menuju ke arah jalan raya, dan berjalan melewati trotoar menuju Stasiun Gambir; kemudian duduk di pinggiran jalan masuk stasiun, dan meminta-minta kepada para calon penumpang kereta api. Ia selalu melakukannya setiap hari, hampir tanpa sela. Ia kemudian duduk di tempat dan sudut jalan yang sama; dan ia sudah melakukannya selama 20 tahun.

Rumahnya sangat kotor dan jorok. Setiap kali pergi meninggalkan atau kembali ke rumah, ia sendiri mencium bau sangat tak sedap dan kadang menimbulkan sentakan dari arah lambung dan terasa mau memuntahkan cairan lewat mulutnya. Para tetangganya sudah tak tahan mencium bebauan luar biasa itu sehingga bersepakat meminta pihak polisi pamongpraja membersihkan rumah si lelaki tua. Para petugas polisi membuka paksa pintu rumah, meski tak sampai merusaknya; dan membersihkan keseluruhan ruangan. Mereka menemukan tas-tas kecil penuh berisi uang, terhampar dan bertumpuk di hampir semua bentang ruang: uang yang dikumpulkan si lelaki tua selama bertahun-tahun.

Polisi pamongpraja menghitung jumlah uang, dan berkesimpulan bahwa sesungguhnya lelaki tua itu seorang jutawan. Para tetangga pun menanti di luar rumah untuk menunggu salah satu polisi pamongpraja menyampaikan kabar baik kepada si lelaki tua. Tatkala tiba di rumah pada sore harinya, salah seorang polisi pamongpraja menemui si lelaki tua dan menyampaikan bahwa ia tak perlu lagi meminta-minta, karena ia ternyata seorang yang kaya raya, seorang jutawan!

Si lelaki tua tak berkata sepatah kata pun. Ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Pada pagi harinya ia bangun sebagaimana biasa, pergi ke arah jalan raya, berjalan menyusuri trotoar, dan berakhir di sudut jalan masuk Stasiun Gambir; melanjutkan kebiasaannya: meminta-minta sedekah. Ia tak punya rencana besar, impian, atau apa pun yang ia anggap penting bagi hidupnya. Ia hanya berfokus pada tindakan yang ia kerjakan dengan senang, dengan seluruh komitmennya.

Agenda Terbengkalai
Terinspirasi dari cerita di atas, dapatkah Anda merumuskan, betapa penting pekerjaan yang Anda lakukan? Apa yang krusial di sini ialah pemaknaan Anda tentang personal sense of commitment (PSC), terlepas apa kata orang, atau sejauh mana PSC Anda sesuai dengan pernyataan resmi misi perusahaan/kantor di mana Anda bekerja.

Sekurangnya di dalam PSC terkandung tiga pemicu. Pertama, PSC membuat saya dan Anda menghayati secara nyata kehidupan kerja dari hari ke hari. Kedua, PSC membangun makna dan arah (sense of purpose) dari apa yang sedang saya dan Anda kerjakan. Dan, ketiga, PSC membawa saya dan Anda menuju ke pusat kepedulian dan menemukan “commitment statement” atas karya kerja saya dan Anda.
Terlepas pula dari orang menganggap Anda sekarang sosok macam apa, pertanyaan yang lebih penting adalah pertanyaan, “Saya pikir sekarang saya berada di mana?” Mungkin Anda berusia 25, atau 35, atau bahkan 50 tahun? Bisa saja Anda merasa tidak sedang menjalani pekerjaan yang Anda inginkan…atau tidak tinggal di tempat yang Anda aspirasikan. Boleh jadi Anda belum menuliskan novel yang pernah terlintas ingin Anda tuliskan? Belum sempat mendatangi tempat-tempat yang Anda mimpikan semasa kanak-kanak? Kesehatan Anda tak sebaik yang Anda harapkan? Lantas tercecer di mana mimpi-mimpi Anda itu?

Bukankah pertanyaan-pertanyaan itu yang sering menyengat kesadaran kita? Saya pun sama merasa tersengat oleh pertanyaan-pertanyaan senada begitu membaca suatu hasil survei lima tahun lalu yang melaporkan, di antara para mahasiswa pascasarjana yang sedang menempuh program doktoral di Universitas Harvard, 5% saja yang menuliskan pernyataan tujuan di catatan pribadi. Dan, dari yang melakukan tindakan ini 90% mencapai yang mereka citakan. Kisah lain, di saat usianya menginjak 71, Michelangelo ditunjuk sebagai chief architect Katedral St. Peters di Roma. George Bernard Shaw menulis “Farfetched Fables” di usia 93. Picasso masih melukis di usia 90. Pak Ciputra, sejauh saya baca, memulai membangun kerajaan bisnisnya di usia 57. Jadi, saya yakin, kapan pun, di mana pun, dan bagaimana pun situasi kita, “it’s NEVER TOO LATE FOR STARTING”; asalkan kita punya PSC yang berangkat dari kekinian kita.

PSC dan Kendali Diri
PSC, sejauh saya ketahui dari berbagai penelitian psikologi (Ainslie dan Haslam 1992; Baumeister dan Vohs 2003; O’Donoghue dan Rabin 1999, 2003; Prelec dan Bodner, 2003), berkait erat dengan derajat pengendalian diri yang bervariasi antarpribadi seturut pertimbangan rasional tentang konsekuensi yang kita antipasikan. Kita sering men-set alarm clock dengan maksud agar bangun lebih pagi –hal yang mencerminkan preferensi kita untuk segera berhenti dari kelelapan tidur kita. Sesaat setelah alarm clock berhenti bunyi, kita sering secara spontan memencet tombol snooze, me-reset alarm, atau malahan mematikannya sama sekali, yang merefleksikan preferensi kita yang bertentangan dengan rencana awal. Dalam perkara lain kita sering mencanangkan namun sekaligus menganulir rencana lantaran kelemahan kita yang bersumber pada kendali diri.

Para peneliti dari berbagai disiplin —ilmu politik, ekonomi, dan psikologi— meneliti ikhwal kendali diri tersebut. Selain bervariasi antarpribadi seturut pertimbangan rasional tentang konsekuensi yang diantisipasikan bakal terjadi, kendali diri merupakan ajang pertempuran yang bersifat multiple selves (Elster 1979; Winston 1980; Schelling 1984), di mana terdapat satu diri yang berwawasan jauh ke depan sebagai pembuat keputusan versus diri-diri lain yang menjadi penikmat hasil masa depan. Di sana terjadi konflik perencanaan antarwaktu, yakni antara “sang perencana di malam hari” dan “pelaksana di pagi hari”. Perencana men-set alarm, dan pelaksana me-reset-nya pada pagi harinya. Jika perencana dan pelaksana sepakat seia dalam kata dan tindakan antarwaktu, maka terjadilah yang dinamakan “komitmen”. “Komit” berarti mengikatkan diri sejak pikiran, kata, hingga tindakan dengan konsekuensi yang sudah terbayangkan dan siap diambil risikonya sejak direncanakan.

Jika PCS ini raib dari diri kita, segalanya menjadi tak terukur, termasuk klaim tentang kegagalan dan keberhasilan kita. Salah satu bukti, hasil survei NBRI (National Business Research Institute, Inc.) tentang Employee Engagement berhasil memetakan, PSC berkorelasi dengan pengembangan karier, iklim organisasi, efektivitas komunikasi, besaran kompensasi, budaya organisasi, kepuasan kerja, keseimbangan hidup, dan morale kerja.

Itulah efek dari cerita Pak Djono sebelum memulai pelajaran menggambar yang saya coba maknai secara lebih kini. Cerita itu tidak saja membuat saya dan teman-teman menggambar secara lebih hidup, tetapi juga memperoleh gambaran tentang hidup, hidup dalam komitmen sekaligus komitmen menjalani hidup. Semoga.


Edy Suhardono