Jumat, 06 Agustus 2010

Orang yang Tepat

Pemimpin baru membawa atau membentuk tim kerja yang baru. Galibnya begitu. Sebab salah satu tugas awal seorang pemimpin adalah melakukan perekrutan untuk memastikan bahwa posisi-posisi penting ditempati oleh orang yang tepat. Mengisi posisi-posisi penting secara serampangan bisa berakibat fatal. Risiko untuk berhasil perlu diperbesar dengan memastikan posisi-posisi penting diisi oleh orang yang tepat.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono memilih berpasangan dengan Jusuf Kalla dalam pemilihan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Republik Indonesia secara langsung tahun 2004 silam, tidak banyak yang optimis bahwa mereka akan menang. Namun, makin dekat dengan waktu pemilihan umum, popularitas mereka makin mantap, dan akhirnya mereka benar-benar memenangkan pemilihan umum yang bersejarah itu.

Lalu, ketika pemilihan langsung Capres dan Cawapres Republik Indonesia periode 2009-2014 akan berlangsung, banyak pihak menjagokan duet incumbent SBY-JK yang dinilai cukup ideal untuk dipertahankan. Ternyata, dengan modal suara Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilihan umum legislatif, SBY punya pendirian tersendiri dan memilih untuk menggandeng Boediono sebagai Cawapres. Berbagai spekulasi kembali merebak, tetapi masyarakat luas agaknya memang masih pro-SBY.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana dengan formasi anggota kabinet pemerintah periode 2009-2014? Akankah SBY-Boediono berani memberikan porsi cukup besar kepada kaum teknokrat dan profesional untuk mengisi kursi departemen strategis? Akankah posisi menteri yang memimpin departemen teknis diserahkan kepada orang-orang partai pendukungnya? Apapun pilihan SBY-Boediono, stabilitas dan instabilitas pemerintahannya akan juga ditentukan oleh penempatan orang-orang didalam kabinet tersebut.

Dalam konteks mikro, para pemimpin perusahaannya juga mengalami hal yang senada seirama. Jika pemilik perusahaan berganti, maka boleh jadi sebuah tim eksekutif baru perlu segera dibentuk menggantikan yang lama. Dan jika pemimpin baru menawarkan visi perubahan untuk meningkatkan kinerja perusahaan, maka umumnya ia akan memastikan lebih dulu bahwa posisi-posisi strategis dipegang oleh orang-orang yang sejalan dengan dirinya.

Terkadang, untuk menyelamatkan muka sejumlah orang, struktur organisasi diubah untuk memberikan tempat kepada orang-orang baru, tanpa harus menyingkirkan orang-orang lama; setidaknya untuk sementara waktu.

Selanjutnya, jika orang-orang sudah direkrut dan ditempatkan, bagaimana seorang pemimpin dapat tahu bahwa ia telah memilih orang yang tepat untuk tiap posisi strategis? Indikator apa saja yang bisa dipergunakan untuk menjawab soal ”tepat dan tidak tepat” ini?

Tidak ada jawaban yang definitif dan mutlak. Namun, studi Jim Collins, dalam karya terbarunya bertajuk How The Mighty Fall: And Why Some Companies Never Give In (2009), mungkin dapat dijadikan rujukan awal.

Menurut Collins, yang sebelumnya kondang sebagai pengarang buku Good to Great: Why Some Companies Make the Leap….and Others Don’t (2001), sedikitnya ada enam sifat penting yang menunjukkan bahwa suatu posisi penting sudah ditempati oleh “orang yang tepat”.

Pertama, orang yang tepat cocok dengan nilai-nilai inti perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang hebat membangun budaya dimana mereka yang tidak memiliki nilai-nilai institusi yang sama dikelilingi antibodi dan ditolak seperti virus. Orang bertanya: Bagaimana caranya agar orang memiliki nilai inti yang sama?” Jawabnya: rekrut orang yang sudah memiliki kecenderungan ke arah itu—dan pertahankan mereka.

Kedua, orang yang tepat tidak perlu diatur dengan ketat. Ketika Anda merasa perlu mengatur seseorang dengan ketat, Anda mungkin telah melakukan kesalahan rekrutmen. Anda tak perlu menghabiskan banyak waktu ”memotivasi” dan ”mengatur” orang yang tepat. Dalam diri mereka sudah tertanam konsep bahwa mereka akan mati-matian produktif, termotivasi sendiri, mampu mendisiplin diri, dan sangat terpacu untuk unggul dibanding yang lain.

Ketiga, orang tepat mengerti bahwa mereka tidak punya ”pekerjaan”—tapi tanggung jawab. Mereka paham perbedaan antara daftar tugas dan tanggung jawab mereka yang sesungguhnya. Orang yang tepat bisa berkata, ”Saya satu-satunya orang yang memanggul tanggung jawab final untuk …”.

Keempat, orang yang tepat memenuhi komitmen mereka. Dalam sebuah kultur disiplin, orang menganggap komitmen sebagai sesuatu yang sakral—mereka melakukan apa yang mereka katakan akan mereka lakukan, tanpa mengeluh. Sama halnya, ini berarti mereka sangat berhati-hati dalam mengatakan apa yang akan mereka lakukan, berhati-hari untuk tidak pernah over-committed atau menjanjikan sesuatu yang tidak bisa mereka penuhi.

Kelima, orang yang tepat antusias dengan perusahaan dan pekerjaan perusahaan. Mereka menunjukkan intensitas antusiasme yang luar biasa.

Keenam, orang yang tepat menunjukkan kematangan jendela-dan-cermin. Ketika sesuatu berjalan lancar, orang yang tepat menunjuk keluar jendela, memuji faktor-faktor selain diri sendiri. Mereka menyoroti pihak-pihak lain yang memberikan kontribusi. Namun, ketika segala sesuatu berjalan tidak sebagaimana mestinya, mereka tidak menyalahkan situasi dan orang lain. Mereka memandang ke cermin dan berkata, ”Saya yang bertanggung jawab”.

Jika para pemimpin dan eksekutif puncak organisasi belum memiliki perangkat yang lebih baik untuk mengukur tepat tidaknya orang-orang yang ditempatkannya pada posisi penting, maka keenam sifat penting yang diusulkan Collins bisa dipergunakan untuk sementara. Namun lebih dari itu, para pengamat dan konstituen pemimpin tertentu dapat menggunakan hal yang sama untuk memberikan penilaian apakah pemimpin mereka (kita) sudah menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi-posisi strategis. Semoga.


~ ANDRIAS
HAREFA ~