Jumat, 20 Agustus 2010

Politik RAPBN 2011: Infrastruktur Untuk Siapa

Pada 16 Agustus 2010, acara ritual pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 berlangsung lancar. Seperti biasa pula pemerintah menyampaikan beberapa asumsi dasar penyusunan RAPBN tersebut.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam RAPBN 2011 adalah pertumbuhan ekonomi 6,3 persen naik dari 5,8 persen (2010), laju inflasi 5,3 persen, suku bunga SBI 6,5 persen, nilai tukar Rp 9.300, harga minyak 80 dolar AS per barel dan lifting minyak 970 ribu per barel.

Dengan asumsi ini, diharapkan dana RAPBN 2011 bisa mendorong tercapainya 10 sasaran strategis, yaitu makin tingginya pertumbuhan ekonomi nasional, menurunnya angka pengangguran dan kemiskinan, terciptanya lapangan kerja, pendapatan per kapita yang makin meningkat, dan stabilitas ekonomi makin terjaga.

Selain itu, pembiayaan dalam negeri yang semakin kuat, meningkatnya ketahanan pangan, air dan energi, meningkatnya daya saing ekononomi nasional.

Bagaimana dengan alokasi sektoral? Ternyata Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mendapatkan jatah terbesar yakni Rp 56,5 triliun, Kementerian Pendidikan Nasional Rp 50,3 triliun, Kementerian Pertahanan Rp 45,2 triliun, dan Kementerian Agama Rp 31 triliun, serta Polri Rp 28,3 triliun.

Dengan besarnya alokasi dana untuk PU, Ada beberapa catatan terhadap RAPBN 2011 tersebut.

Dilihat dari alokasi sektoral, pemerintah masih menempatkan infrastruktur sebagai hal terpenting. Ini wajar mengingat infrastruktur merupakan prasyarat pokok dalam pembangunan ekonomi.

Hampir semua sektor ekonomi membutuhkan infrastruktur yang tangguh. Namun demikian, persoalannya adalah bagaimana proporsi pengembangan infrastruktur di Jawa atau luar Jawa.

Ini soal yang serius karena selama ini infrastruktur Jawa terus digenjot, sedangkan luar Jawa harus menunggu momentum khusus, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON).

Manado memilih momentum World Ocean Conference (WOC) dan Ambon memilih Sail Banda 2010 untuk mendongkrak pembangunan infrastruktur secara cepat.

Dengan adanya momentum besar tersebut, maka dana pusat akan tersedot untuk membangun infrastruktur daerah. Bagi daerah-daerah yang tidak punya momentum, maka sulit untuk mendapatkan jatah serupa. Apakah pembangunan infrastruktur akan seterusnya berbasis momentum tanpa desain besar untuk pemerataan Jawa-Luar Jawa? Apakah pola pengembangan infrastruktur dengan dana sebesar itu akan tetap seperti itu?

Dalam kondisi ini pada akhirnya kreativitas kepala daerah lah yang menentukan. Akan tetapi pola pembangunan mestinya sistematik dan terencana, serta tidak sporadik seperti saat ini yang amat tergantung pada kekuatan kepala daerah untuk merebut alokasi tersebut.

Yang perlu dipertanyakan adalah pembangunan infrastruktur untuk mendongkrak sektor mana? Ini juga butuh keputusan politik yang tepat.

Selama ini, pemerintah terus menebar gagasan pembangunan yang berspektrum luas. Fokus pembangunan ekonomi terbelah ke banyak sektor.

Ini berbeda sekali dengan bagaimana Orde Baru yang menempatkan sektor pertanian sebagai fokus sehingga inipun berimplikasi pada alokasi dana dan alokasi infrastruktur.

Irigasi dibangun dimana-mana. Jalan di sentra-sentra pertanian dibangun. Saat ini sebenarnya pemerintah sudah menyadari betapa krisis pangan sudah di depan mata, sehingga dalam 10 sasaran strategis tercantum ketahanan pangan. Namun apakah pemerintah benar-benar akan fokus pada sektor ini? Krisis pangan yang di depan mata tak hanya di subsektor tanaman pangan, tetapi juga peternakan dan perikanan.

Bayangkan saja, ada kekhawatiran ahli peternakan bahwa Idhul Adha 2010 ini kita akan kekurangan domba sehingga harus impor. Impor ikan juga terus meningkat. Ikan kembung harus diimpor dari Pakistan. Ikan patin mulai berdatangan dari Vietnam. Begitu pula ikan teri. Jangan-jangan sebentar lagi ikan lele akan diimpor dari Vietnam.

Ketika menempatkan sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan sebagai fokus pembangunan, maka mau tak mau pengembangan infrastruktur harus menunjang upaya itu. Itulah yang selama ini absen dalam cerita pembangunan, meski pemerintah sudah mencanangkan RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan).

Karena itulah penguatan infrastruktur pedesaan menjadi penting. Pengalaman Korea Selatan ketika mengawali pembangunan ekonominya juga dengan Gerakan Saemaul Undong yang berarti pembangunan desa. Langkah pertamanya adalah membangun infrastruktur pedesaan.

Dengan kuatnya infrastruktur pedesaan, maka hal itu akan mendorong peningkatan peran sektor pertanian dan pedesaan yang pada gilirannya bisa meningkatkan daya beli masyarakat desa.

Daya beli ini menjadi penting ketika industrialisasi digencarkan. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian para anggota legislatif, sehingga mereka menggagas adanya dana aspirasi yang sebagian besar arahnya pada pengembangan infrastruktur pedesaan.

Terkait dengan infrastruktur untuk sektor-sektor berbasis pada sumberdaya alam dan pedesaan tersebut, mari kita ambil contoh. Kementrian Kelautan dan Perikanan dinaikkan anggarannya hingga hampir 50 persen.

Presiden pun secara tegas menyatakan bahwa sektor perikanan dan kelautan diarahkan untuk pengembangan minapolitan. Dengan minapolitan produksi akan digenjot hingga naik 353 persen pada 2015.

Bila minapolitan bertumpu pada perikanan budidaya, tentu saja perlu perbaikan irigasi untuk menunjang pertambakan. Begitu pula industri pengolahan yang sangat butuh air bersih, pasokan listrik, dan prasarana jalan yang baik.

Minapolitan akan menjadi tak berarti tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Nah, disinilah interaksi politik antara menteri pertanian, menteri kelautan dan perikanan serta menteri kehutanan dengan menteri PU sangat menentukan.

Tak mungkin menteri PU serta merta menyadari pentingnya menunjang kementerian-kementrian tersebut karena belum tentu memiliki visi yang sama.

Karena itulah, menteri-menteri itu sudah saatnya membagi visinya dengan menteri PU, sehingga terdapat sinergitas.

Selain isu pemerataan infrastruktur Jawa-Luar Jawa, sektor ini juga sering dituding sebagai salah satu sumber praktek korupsi. Ada juga yang berdalih bahwa ibarat pipa air, maka pipa yang dilewati air pasti basah tapi tidak bocor. Namun kini publik makin cerdas dengan cukup melihat kualitas pekerjaan pembangunan prasarana jalan.

Kualitas jalan akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan. Di Bogor, umur jalan tidak lagi tahunan tetapi hanya bulanan. Pembangunan jalan memang yang relatif sulit dilihat kebocorannya dibandingkan dengan bangunan gedung.

Berbagai hipotesis kaitan antara penyedia jasa konstruksi dengan pembiayaan pilkada akhirnya muncul juga. Hal ini didasarkan pada dugaan bahwa sektor konstruksi adalah sektor yang memang seksi secara politik, di samping sektor finansial dan sektor berbasis pada eksploitasi dan ekstraksi sumberdaya alam.

Dengan ketiga poin di atas, kita berharap pembangunan 2011 bisa lebih baik lagi: meningkatnya pemerataan dan keseimbangan Jawa-Luar Jawa, meningkatnya infrastruktur untuk sektor-sektor pedesaan, serta proses pembangunan infrastruktur yang bersih. Dengan itulah pembangunan ekonomi bisa kita nikmati tanpa prasangka-prasangka diantara kita.


Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB tinggal di Bogor