Sabtu, 13 November 2010

MENCARI SOSOK PEMIMPIN BANGSA

Indonesia mendambakan sosok pemimpin bangsa. “Nobility or rank has its obligations” (Kemuliaan atau jabatan mengandung kewajiban) kata Duce de Levis dalam : Maxims and Reflections. Amerika Serikat dalam sejarah kepresidenannya mencatat sejumlah tokoh yang bukan sekedar presiden formal, tetapi adalah sosok pemimpin bangsa, di antaranya: George Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, dan John F. Kennedy. India punya Jawaharlal Nehru, Mesir punya Gamal Abdel Nasser, Lybia punya Moamer Ghadafi, Cuba punya Fidel Castro Singapura punya Lee Kuan Yew, Malaysia punya Mahathir Muhammad, dan Indonesia punya Soekarno (?)

Soekarno adalah seorang pemimpin visioner, konseptual, dan seorang orator handal walaupun sangat disayangkan pidatonya terlalu “merah” lebih merah dan Mao Tse Tung (Mao Ze Dong), dan disayangkan pula Sukarno gagal dalam manajemen ekonomi, sehingga inflasi meroket 600 persen di tahun 1965.

Soeharto, walaupun sisi gelap : otoriter dan KKN, adalah tokoh yang disegani. Di Malaysia, Soeharto sangat disegani karena Soeharto bersama Adam Malik adalah tokoh yang memerintahkan gerakan “ganyang” nya Soekarno. Mungkin itu sebabnya Mahatir sangat bersahabat dengan Soeharto. Soekarno adalah seorang pemimpin hampir sama dengan Moamer Ghadafi, Mahathir tidak seperti Soekarno, tetapi berkat sepak terjangnya pernah dijuluki “Soekarno kecil”. Yang jelas, di era Soeharto Malaysia tidak berani macam-macam terhadap Indonesia.

Sosok pemimpin bangsa adalah tokoh yang, ketika harkat dan martabat bangsa terancam, tampil kedepan untuk membelanya, bukan tokoh yang sungkem kepada pihak luar yang congkak dan melecehkan. Memang bisa difahami bahwa sekarang agresivitas bukan zamannya lagi, era dekolonisasi telah lewat, namun bukankah prinsip tidak selalu harus ditingkatkan dengan arogansi ? Diplomasi bisa menjadi senjata ampuh. Mengutip ucapan Isaac Goldberg: “Diplomacy is to say the nastiest thing in the nicest way” (Diplomasi adalah cara untuk mengungkapkan yang paling keji dengan cara sehalus mungkin). Maka dengan bahasa santun pun sebenarnya Indonesia dapat memainkan kartunya tanpa mengorbankan prinsip. Misalnya dalam konflik dengan Malaysia; sebenarnya isu TKI bisa dibalikkan dari titik kelemahan menjadi kekuatan dengan mengatakan: “TKI memberi kontribusi besar bagi pembangunan di Malaysia, pembangunan di Malaysia tidak bisa jalan tanpa partisipasi TKI, jadi dalam hal ini sebenarnya Indonesia dan Malaysia saling membutuhkan, Indonesia bukan dalam posisi sebagai pengemis.” Uang logam bersisi dua, seorang diplomat ulung harus bisa membalikkannya sewaktu-waktu.

Sosok pemimpin adalah tokoh yang tidak mau menerima tamu-tamu asing yang tidak setara dengan kedudukan presiden misalnya presiden direktur Carrefour. Seharusnya untuk tamu seperti ini cukup dilayani oleh Menteri Perdagangan saja.

Sosok pemimpin adalah tokoh yang menjual aset-aset Negara secara cerdik dan strategis, tidak dengan cara “obral besar” tanpa memperhitungkan harkat dan kedaulatan bangsa. “Tugas terberat seorang pemimpin bukanlah melakukan apa yang harus dilakukan tetapi mengetahui apa yang harus dilakukan” Kata Lyndon B. Johnson dalam pidato State of the Union.

Sosok pemimpin bangsa adalah tokoh yang menutup aib bangsa dengan tidak mengekspose kemiskinan secara berlebihan, dengan membiarkan rakyat berdesakan antri beras diliput oleh media massa dan disebarluaskan ke seluruh dunia.

Sosok pemimpin bangsa adalah tokoh yang memberi rasa aman bagi rakyatnya serta mampu menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan generasi muda.

Dan yang tidak kalah pentingnya, sosok pemimpin bangsa adalah insan Amanah yang mampu menjamin kepastian penegakan hukum dengan menjadikan negaranya neraka (bukan surga) bagi para koruptor dan penjahat lainnya.

Seorang pemimpin bangsa adalah sosok yang tidak mengecewakan orang-orang yang memilihnya dalam Pemilu serta mampu memacu kinerja bukan hanya di seratus hari pertama masa pemerintahannya tetapi konsisten berkarya hingga hari terakhir masa jabatannya.

Tampilnya seorang tokoh pemimpin bangsa yang bukan sekedar presiden-formal adalah kondisi sine qua non saat ini terutama ketika di bidang politik NKRI mengalami ancaman disintegrasi dan kaum separatis dan di bidang ekonomi ada tantangan globalisasi yang nyata.


Business News