Senin, 23 Mei 2011

Ekonomi Makin Kencang Tapi Kian Timpang

Pembangunan ekonomi makin kencang namun makin timpang. Bagaimana mengatasinya? Namun masih ada solusinya bagi persoalan ini.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika melihat perekonomian secara umum terus bergerak dengan laju yang cukup kencang. Sayang, pemerataan dan keadilan sosial makin timpang.

Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi kisah manis yang membuat bangsa ini dianggap sebagai salah satu dari emerging markets (dulunya termasuk negara yang ajaib di kawasan Asia Timur). “Sayangnya, dalam soal pemerataan pendapatan (pembangunan), masalah yang terjadi tidak pernah mengalami perbaikan,bahkan akhir-akhir ini justru melaju ke arah yang memburuk. Ketimpangan kian tajam,” kata Ahmad Erani yang juga Direktur Eksekutif Indef, kemarin.

Menurutnya, pada 1999, Rasio Gini (mengukur ketimpangan pendapatan dari skala 0-1) masih cukup bagus, yakni 0,31. Setelah itu, Rasio Gini memburuk berturut-turut 0,32 (2002); 0,34 (2005); 0,35 (2006); 0,37 (2009); 0,36 (2008); dan 0,35 (2009). Pengukuran Rasio Gini ini masih menggunakan dasar pengeluaran, bukan pendapatan. Seandainya pengukuran Rasio Gini memakai dasar pendapatan, barangkali akan jauh lebih tinggi (timpang).

Pemburukan ketimpangan itu terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan misalnya pada 1999 pertumbuhan ekonomi 0,79%; 2002 (4,30%); 2005 (5,60%); 2006 (5,50%); 2007 (6,20%); 2008 (6,00%), 2009 (4,50% karena krisis ekonomi); dan 2010 (6,10%). Data tersebut dengan terang mengungkapkan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan ketimpangan.

Ketimpangan lain, ungkapnya, bisa dilihat dari disparitas antarsektor ekonomi. Dengan melihat rata-rata pertumbuhan sektor ekonomi (2004-2009), akan terlihat ketimpangan pertumbuhan sektor tradeable (riil) dan sektor non-tradeable. Pada periode itu sektor tradeable hanya tumbuh rata-rata 3,33%, sedangkan sektor nontradeable tumbuh 8,80%.

Secara lebih rinci, pertumbuhan rata-rata sektor tradeable dalam kurun waktu tersebut: sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (3,70%); pertambangan(2,38%); danindustripengolahan(3,92%). Sementara itu, pertumbuhan rata-rata sektor non-tradeable dalam kurun waktu tersebut: sektor listrik,gas,dan air bersih (9,42%); konstruksi (7,79%); perdagangan, hotel, dan restoran (6,33%); pengangkutan (14,62%); keuangan, real estat, dan jasa perusahaan (6,69%); serta jasa-jasa (6,08%).

Data tersebut memaklumatkan betapa makin terpinggirkannya sektor pertanian dan industri sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Padahal, sektor pertanian dan industri menjadi tulang punggung perekonomian nasional, khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja. Pada 2010 sektor pertanian tercatat menyerap 38,34% dan sektor industri menampung 12,77% tenaga kerja.

Ketimpangan itu bisa juga diperiksa dari sisi wilayah. Jamak dikatakan, pembangunan ekonomi di Indonesia sebetulnya hanya terjadi di Jawa dan Sumatera. Jika pernyataan itu dikonfirmasi dengan data, nyatanya tidaklah salah.

Secara nasional, Pulau Jawa dan Sumatera menguasai lebih dari 80% dari PDB Indonesia. Pada 2008 misalnya kontribusi Sumatera terhadap PDB sebesar 22,9%; Jawa 57,9%; Bali dan Nusa Tenggara 2,5%; Kalimantan 10,4%; Sulawesi 4,3%; dan Maluku dan Papua 2,0%. Jadi, pada 2008 Sumatera dan Jawa menyumbang 80,8%; namun pada 2010 meningkat menjadi 81,0%. Pada 2010, kontribusi Kalimantan bahkan merosot tinggal menjadi 9,1%.

Sebagai solusi, Ahmad Erani mengimbau pemerintah, ini saatnya pembangunan ekonomi di geser ke Indonesia Timur. Salah satu yang terpenting adalah infrastruktur seperti jalan,listrik,dan pelabuhan.

Program pengembangan koridor ekonomi dan konektivitas mesti diletakkan dalam konteks pergeseran wilayah pembangunan ekonomi ini. Terakhir,kelembagaan ekonomi merupakan bagian yang harus disentuh, tidak boleh dialpakan. Agar ketimpangan antara Indonesia barat dan timur dapat dikikis dan keadilan sosial bisa ditingkatkan.


Oleh: Herdi Sahrasad