Minggu, 15 April 2012

Meracik Energi Kebersamaan

Benarkah pendapat yang mengatakan bahwa menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sama-sama memiliki risiko. Seperti mulai tampak dan mengkhawatirkan, disparitas harga yang cukup lebar menyebabkan terjadinya migrasi pengguna pertamax ke premium yang dilakukan oleh pemilik kendaraan pribadi yang tergolong mewah.

Meskipun realitas ini ditanggapi sebagai hal biasa dan dianggap sebagai persoalan etika semata, namun jika migrasi itu berlangsung lama dan dilakukan banyak orang, maka realisasi BBM bersubsidi dipastikan melebihi kuota yang dipatok dalam APBN-P 2012 sebesar 40 juta kiloliter.

Dari sisi yuridis, pemerintah merespon pembatalan penaikan harga BBM bersubsidi dengan berencana menerbitkan aturan baru mengenai penghematan energi. Dalam konteks ini, sasaran utamanya adalah kalangan internal pemerintah. Tiga hari setelah DPR memutuskan menunda kenaikan harga BBM besubsidi, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan peme­rintah mewajibkan kendaraan dinas pemerintah untuk menggunakan BBM non-subsidi untuk menjaga agar realisasi BBM bersubsidi tidak melebihi kuota.

Selain itu, dikabarkan pula bahwa pemerintah juga akan melarang penjualan BBM bersubsidi oleh SPBU yang berdiri di tempat-tempat permukiman kaum elite. Intinya, pemerintah dipaksa dan terpaksa mendesakkan dilakukannnya penghematan konsumsi BBM bersubsidi dengan harapan realisasinya tidak melebihi kuota yang telah ditentukan. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan bahkan mengusulkan penggunaan kartu elektronik BBM (e-BBM) untuk mengontrol konsumsi BBM bersubsidi itu.

Kalau kita merifer kepada aturan yang ada, maka gerakan penghematan yang kini diupayakan dalam suasana panik itu bisa disebut terlambat didesakkan pemerintah. Pasalnya, payung hukum penghematan energi sebetulnya sudah ada sejak tahun 2008 dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2008.

Yang menarik adalah langkah konkret yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda. Seperti diberitakan, Pemkot Samarinda (Kalimantan Timur), me­ngeluarkan kebijakan larangan menggunakan BBM bersubsidi bagi kendaraan truk tambang dan kendaraan pribadi tertentu. Aturan ini dituangkan dalam Perwali No. 19/2012 yang berlaku mulai Senin, 2 April 2012. Sebagaimana dijelaskan oleh Wakil Wali Kota Samarinda Nusyirwan Ismail, aturan tersebut mengatur pelarangan pembelian solar bersubsidi bagi kendaraan truk tambang, termasuk kendaraan rekanan (subkontraktor) yang berkaitan dengan pertambangan dan kendaraan pribadi mewah memiliki nilai jual Rp400 juta (www.seputar-indonesia.com, 4/4/2012).

Penting ditekankan bahwa pembuatan aturan yang mengikat dalam rangka mewujudkan penghematan penggunaan BBM bersubsidi dan menjaga agar kuota tidak jebol merupakan langkah taktis yang memang harus segera diambil pemerintah. Tetapi bagaimanapun, langkah ini berpotensi dilanggar, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pengawasan. Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan langkah-langkah lain dengan tujuan yang sama.

Dalam konteks ini, mutlak dibutuhkan kebersamaan di antara seluruh warga bangsa. Pasalnya, naiknya harga minyak dunia telah menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Dalam kondisi demikian, selain dibutuhkan payung hukum untuk mendesakkan dilakukannya penghematan konsumsi BBM dan memastikan kuota BBM bersubsidi tidak terlampaui, dibutuhkan pula gerakan-gerakan etika yang bersifat imbauan, terutama kepada mereka yang disebut kelompok menengah ke atas. Di sini, kondisi eksternal, lebih-lebih internal, memaksa kita untuk kembali melihat negara sebagai satu-satunya wadah di dalam mana seluruh warga bangsa dituntut untuk bersama-sama meracik energi kebersamaan. Wujud racikan konkret dalam konteks ini adalah ketika kalangan yang mampu tidak melakukan migrasi dan menjadi pengguna BBM bersubsidi yang sejatinya diperuntukkan bagi kalangan tidak mampu.

Itulah poin yang bisa kita desakkan dalam posisi sebagai warga bangsa. Selebihnya, terkait pe­negakan hukum, sepenuhnya menjadi domain peme­rintah dan lembaga berwenang untuk memastikan efektivitasnya.


BusinessNews