Kamis, 19 April 2012

TANTANGAN EKONOMI INDONESIA KE DEPAN

Setelah DPR sepakat menunda kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, kini ketidakpastian melanda perekonomian Indonesia. Maklum, pelaku usaha justru membutuhkan sebuah kepastian soal harga energi. Keputusan yang diambil oleh pemerintah harus pasti, tidak boleh menimbulkan multitafsir.

Soal harga BBM bersubsidi, pelaku usaha maunya naik atau tidak naik. Jangan digantung dengan embel-embel kepentingan politik lantas rumusan kebijakan energi diambangkan yang membuat pelaku usaha resah.

Faktanya, saat ini harga jual premium dan solar, yang tergolong BBM bersubsidi, yaitu Rp4.500 per liter, jauh lebih rendah daripada harga pokoknya. Alhasil pemerintah harus menambal kekurangan itu dengan mengambil uang (baca: subsidi) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Harga minyak dunia dan konsumsi dalam negeri yang semakin melonjak tinggi belakangan ini membuat subsidi untuk premium dan solar menjadi semakin besar. Sebelumnya, dalam menghitung APBN 2012, pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar USD90 per barel sebagai patokan. Belakangan asumsi ini diubah menjadi USD105 per barel.

Kenyataannya, selama Februari lalu rata-rata harga minyak mentah Indonesia saat ini sudah USD122,17 per barel. Sedangkan konsumsi solar dan premium juga meningkat cukup signifikan dari 35,8 juta kiloliter pada 2010 menjadi 38,5 juta kiloliter pada 2011 lalu. Akibatnya, subsidi untuk solar dan premium sepanjang 2012 akan melonjak dari Rp123,6 triliun menjadi Rp191,1 triliun.

Jika harga minyak dunia terus naik, subsidi akan menggelembung di luar kemampuan anggaran negara. Padahal, pengeluaran itu akan lebih bermanfaat jika dipakai untuk keperluan lain, misalnya, pembangunan jalan, jembatan, dermaga, kapal perintis, infrastruktur lain yang sangat diperlukan masyarakat atau untuk peningkatan pelayanan pendidikan.

Masyarakat yang kurang mampu akan menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Soalnya, masyarakat yang kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar terbesar. Harga jual solar dan premium yang terlalu rendah dibanding harga di luar negeri juga cenderung mendorong penyelundupan dan penyelewengan solar dan premium yang seharusnya diperuntukkan konsumen dalam negeri. Yang mendapat manfaat dari subsidi adalah para penyelundup dan penyeleweng.
Konsumsi BBM bersubsidi pada Maret 2012 melonjak lagi. Badan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menduga, lonjakan ini akibat ulah spekulan untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM bersubsidi.

BPH Migas mencatat, konsumsi BBM bersubsidi sepanjang Maret 2012 lalu mencapai 3,784 juta kiloliter. Rinciannya, premium 2,374 juta kiloliter, minyak tanah 104.000 kiloliter, dan solar sebesar 1,305 juta kiloliter. Praktis semua jenis BBM mengalami kenaikan dibanding bulan Januari dan Februari.

Sebagai perbandingan, total konsumsi BBM bersubsidi pad Februari lalu mencapai 3,413 juta kiloliter. Dengan rincian premium 2,125 juta kiloliter, minyak tanah 103.160 kiloliter, dan solar 1,184 juta kiloliter.

Sedangkan pada Januari 2012 lalu, total konsumsi BBM bersubsidi mencapai 3,537 juta kiloliter. Rinciannya, premium 2,222 juta kiloliter, minyak tanah 106.318 juta kiloliter, dan solar sebesar 1,208 juta kiloliter. Untuk catatan, alokasi BBM bersubsidi dalam APBN 2012 sebesar 37,5 juta kiloliter dan ada cadangan sebesar 2,5 juta kiloliter.

Lonjakan konsumsi BBM bersubsidi Maret lalu karena ulah spekulan di tengah merebaknya isu kenaikan harga BBM bersubsidi mulai 1 April. Dipastikan ada usaha masyarakat untuk membeli lebih dalam rangka berjaga-jaga, sehingga takut ada kelangkaan menjelang kenaikan harga dan sebagian lagi bisa juga ada aksi penimbunan untuk tujuan komersil. Namun, rencana kenaikan harga BBM batal mengacu kepada Pasal 7 Ayat 6A Undang-Undang APBN Perubahan 2012.

Yang pasti kenaikan harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 Ayat 6A Undang-Undang APBN Perubahan 2012 baru bisa diterapkan enam bulan setelah Presiden menandatangani menjadi undang-undang.

Sebelumnya, Sidang Paripurna DPR menyepakati Pasal 7 Ayat 6A UU RAPBN-P 2012 yang memberikan persyaratan soal kenaikan harga BBM bersubsidi, yakni kenaikan harga BBM dapat dilakukan jika terjadi peningkatan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) rata-rata 15% di atas asumsi APBN, USD105 per barel selama enam bulan berjalan.

Ini artinya harga BBM bisa naik jika harga rata-rata ICP mencapai USD120,75 dalam enam bulan. Jadi, soal naik atau tidaknya harga BBM nanti bergantung pada harga minyak mentah internasional. Jika enam bulan rata-rata selisihnya sudah mencapai 15%, maka harga BBM berpotensi naik.

Jika dalam enam bulan terakhir rata-rata ICP tidak mencapai 15%, harga BBM tidak naik. Padahal, kenaikan harga BBM hanya tinggal menunggu waktu karena harga ICP akhir-akhir ini sudah jauh di atas USD105 per barel AS. Untuk Maret lalu diproyeksikan USD128, dan bulan berikutnya mungkin tidak jauh berbeda.

Jika menggunakan ketentuan enam bulan terhitung dari bulan Januari, maka harga BBM mungkin bisa naik awal Juli nanti. Namun, prediksi itu bisa berubah jika ketegangan di Selat Hormuz mereda. Apalagi pemerintah memproyeksikan kenaikan harga BBM bisa terjadi pada Mei.

Selisih antara realisasi harga rata-rata ICP selama enam bulan terakhir dan asumsi yang akhirnya dipatok USD105 per barel pada APBN-P 2012 belum sampai angka 15%. Tetapi, jika ICP April naik menjadi USD130 per barel, mungkin saja angka 15% tercapai. Jika belanja APBN melampaui penerimaan, lantas terjadi defisit yang makin lebar, maka penambahan utang bisa menjadi solusi. Tentu ini bukan opsi yang mudah di tengah keretakan koalisi parpol pendukung pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah harus transparan menjelaskan kepada publik tentang penggunaan rincian utang dan penggunaannya serta pendapatan yang diperoleh dari rencana menaikkan harga BBM, meski APBN Perubahan 2012 telah disepakati DPR.
Bahkan, DPR tidak serius mempersoalkan ketika pemerintah berencana menambah utang baru lagi sekitar Rp50 triliun untuk menutup pelebaran target defisit, meski asumsinya dalam RAPBN Perubahan 2012 kala itu subsidi BBM akan dikurangi.

Seperti diketahui, beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam APBN 2012 mencapai 22,4% atau sebesar Rp322 triliun. Fakta ini menyebabkan anggaran negara setiap tahun jebol karena pembayaran utang yang sangat besar. Sementara itu, jumlah utang Indonesia sampai Maret 2012 sudah mendekati Rp2.000 triliun dan bakal menembus Rp2.300 triliun pada akhir tahun ini. Celakanya, pemerintah dinilai tidak transparan kepada rakyat, namun lebih terbuka pada kreditor internasional. Akibatnya, masalah di dalam negeri lebih cepat diketahui pihak luar. Ini artinya, perekonomian nasional sudah tergadaikan dan hanya tinggal menunggu waktu saja terjerembab dalam krisis utang yang dalam.

Untuk itu, banyak kalangan mendesak agar pemerintah berani melakukan moratorium pembayaran cicilan dan pokok utang. Jika tidak, pengelolaan anggaran setiap tahun akan terus bermasalah. Moratorium utang akan membuat APBN menjadi sehat. Selain itu, perekonomian rakyat akan membaik karena pemerintah punya dana cukup untuk pembiayaan infrastruktur.

Lebih dari itu, moratorium utang akan membuat daya beli masyarakat akan meningkat dan otomatis pendapatan masyarakat juga akan bertambah. Jika pendapatan masyarakat sudah tinggi, rakyat akan ikhlas menerima kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Contohnya adalah Singapura yang pendapatan rakyatnya tinggi sehingga tidak begitu bermasalah ketika harga BBM dinaikkkan. Kondisi serupa juga terjadi di negara-negara yang berpendapatan tinggi.

Masalah lain dalam RAPBNP 2012 adalah tambahan Rp100 triliun, namun belanja modal pemerintah hanya bertambah 16% atau Rp16 triliun. Pertanyaannya, buat apa sisanya itu? Terus, ke mana alokasinya? APBN 2012 sebesar Rp1.534 triliun diharapkan bisa mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan dengan parameter utama belanja pemerintah. Jika belanja naik Rp100 triliun, logikanya pertumbuhan ikut naik, bukan malah diturunkan dari 6,7% menjadi 6,5%.

Persoalan lain yang tak kalah berat adalah pemerintah harus terus mewaspadai kondisi fiskal nasional akibat pembatalan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Di mana, dalam UU APBN-P 2012 masih memiliki risiko fiskal yang cukup tinggi karena deviasi ditetapkan 6 bulan dengan rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) di atas USD105 per barel.

Perhitungan RAPBN-P 2012 yang diajukan sudah memasukkan unsur kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga BBM, khususnya premium, di Indonesia sebesar Rp4.500 per liter, sedangkan harga keekonomian sendiri mencapai Rp9.200 per liter. Jebolnya subsidi tersebut karena saat ini subsidi yang diberikan pemerintah masih belum tepat sasaran. Pasalnya, masih banyak masyarakat mampu yang menikmati subsidi tersebut. Apalagi, dengan kenaikan harga minyak dunia saat ini, maka berpotensi membengkakkan subsidi yang diberikan pemerintah.

Pada 2011 silam, dengan perbedaan harga BBM bersubsidi dengan keekonomian sebesar Rp3.000-Rp3.500 per liter dan volume penggunaan BBM bersubsidi mengalami peningkatan cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan realisasi volume BBM bersubsidi 38,6 juta kilo liter dan tahun 2011 sebesar 41,8 juta kilo liter melampaui pagu anggaran sebesar 40,4 juta kilo liter.

Risiko fiskal akibat perubahan harga ICP akan berpengaruh kepada belanja subsidi BBM dan bagi hasil daerah. Untuk 2012 setiap kenaikan harga rata-rata ICP sebesar USD1 per barel dari asumsi akan menambah defisit sebesar Rp54 miliar-Rp65 miliar.
Sebenarnya, postur APBN akan jauh lebih aman dengan tidak adanya kenaikan harga BBM bersubsidi, seperti yang di wacanakan pemerintah sendiri. Pasalnya, jika harga BBM bersubsidi naik, maka akan ada penghematan subsidi sebesar Rp41 triliun, namun di sisi lain pemerintah harus dibebani dengan dana kompensasi yang akan digelontorkan pemerintah sekitar Rp100 triliun.

Besarnya kompensasi itu jauh lebih besar dibanding subsidi diturunkan. Adapun, kompensasi yang harus dikeluarkan jika BBM naik antara lain untuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) untuk 18,5 juta rumah tangga, sekitar Rp25 triliun. Ini belum termasuk untuk subsidi listrik, cost recovery, tambahan beras untuk rakyat miskin (raskin), subsidi untuk orang miskin, dan sejumlah program lain yang menelan sekitar Rp100 triliun.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir hal tersebut, pemerintah perlu melakukan penghematan di pos-pos belanja yang dinilai boros. Salah satunya, untuk pos belanja barang yang mencapai 38% padahal pos tersebut dinikmati birokrasi bukan masyarakat, selain itu belanja pegawai naik 19,6%. Tingginya angka subsidi juga menimbulkan kecurigaan sejumlah kalangan karena langkah itu dinilai sebagai alat “kampanye terselubung” atau upaya pencitraan pemerintah saja.

Persoalan terakhir yang harus diwaspadai adalah potensi kenaikan inflasi. Meski pemerintah batal menaikkan harga BBM bersubsidi, namun laju inflasi diperkirakan tetap naik. Masalah pangan, baik dari segi distribusi maupun infrastruktur, ditengarai menjadi tantangan bagi upaya pemerintah mengerem inflasi.

Pembatalan kenaikan harga BBM bersubsidi tidak serta merta bisa menekan inflasi serendah realisasi tahun sebelumnya. Pasalnya, masih ada beberapa faktor yang bisa mengerek inflasi pada tahun ini hingga mencapai 5%. Sebetulnya, ekonomi Indonesia diuntungkan dengan faktor eksternal yang tidak terlalu kuat memengaruhi inflasi Indonesia.

Namun, yang paling menekan inflasi tahun ini adalah faktor pangan, baik distribusi maupun infrastrukturnya. Hal ini selalu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah setiap tahunnya. Bahkan saat ini, tekanan inflasi sudah mulai terjadi dengan adanya kenaikan harga barang-barang mendahului kenaikan harga BBM.

Jadi, inflasi rendah seperti tahun lalu sebesar 3,79% tidak mungkin bisa terulang kembali pada tahun ini. Bahkan, jika harga BBM tidak naik hingga akhir tahun, inflasi diperkirakan akan berada dikisaran 4,5-5%. Namun, jika harga BBM bersubsidi jadi naik karena harga minyak ICP rata-rata sebesar USD120, diproyeksikan inflasi mencapai 6% lebih.

Menarik mencermati proyeksi inflasi oleh pemerintah yang lebih rendah dari yang ditargetkan dalam asumsi makro pada APBN-P 2012 sebesar 6,8%. Pasalnya, pengaruh inflasi akibat adanya kenaikan harga BBM bersubsidi akan hilang, seiring dengan pembatasan rencana kenaikan harga BBM bulan Maret lalu.

Sebagai catatan akhir, pasca penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah harus mampu melakukan konsolidasi secara intensif melalui langkah-langkah konkrit dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Terkait tekanan inflasi, pemerintah harus fokus menjaga stabilitas harga bahan pokok dan harga jual produk lainnya di masyarakat. Dengan batalnya kenaikan harga BBM, seharusnya kenaikan bahan pokok dan produk lainnya tidak perlu terjadi. Hanya saja, diakui ketidakpastian soal kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu sempat memicu pengusaha menaikkan harga jual produk.

Sebenarnya pengusaha dapat memahami rencana kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter, tetapi dengan syarat pemerintah menggunakan dana kompensasinya untuk membangun infrastruktur dan memperhatikan nasib usaha kecil dan menengah yang terpukul karena terkena dampak kenaikan BBM itu.


Business News