Senin, 29 Oktober 2012

Membangun Lobi Tidak Sekadar Makan Siang

Suatu hari sebelas tahun silam, seorang pria berusia 36 tahun yang baru selesai studi doktor hukum duduk di sebuah lobi hotel bintang lima. Melintas usahawan Sofjan Wanandi. Sofjan pernah kenal pemuda itu saat berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat, sehingga ia menyapa akrab pemuda tersebut. Keduanya lantas terlibat dalam percakapan. Derai tawa acap terdengar di antara mereka. Si pemuda lantas pamit karena hendak ke dokter. Dia juga akan melanjutkan pengobatannya ke Malaysia. Spontan Sofjan menyatakan ingin menemani pemuda tadi ke Malaysia. Dan itu benar dilakukannya. Ia tidak sekadar menemani anak muda itu, tetapi menunggui sampai sehat dan kembali ke Jakarta. Sampai hari ini, pemuda tersebut tidak bisa mengerti mengapa ia diperlakukan sangat baik oleh Sofjan. Padahal, ketika itu dia ”bukan siapa-siapa”. Ia hanya bekerja membantu sebuah firma hukum. Tetapi seperti ungkapan, untung dan malang siapa yang tahu, anak muda ini rupanya cemerlang. Ia menjadi pejabat negara dan bahkan menjadi menteri. Keduanya kini menjadi sahabat dekat, tetapi Sofjan tidak pernah memanfaatkan posisi anak muda tadi. Dalam peta politik dan ekonomi Indonesia, Sofjan memang terkenal pandai bergaul dan setia kawan. Kemampuan lobinya merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Temannya tersebar di lima benua. Apa yang ia lakukan terhadap anak muda itu tidak sekadar menunjukkan kualitas setia kawan yang tinggi, tetapi juga betapa tajam penciuman Sofjan terhadap seseorang yang potensial. Keengganan Sofjan ”memanfaatkan jasa” yang pernah ia lakukan justru menunjukkan kualitas lobi yang hebat. Ia bukan pelobi murahan. Beberapa kali menghadiri jamuan makan malam di beberapa kota di Amerika Serikat, di antaranya Washington DC, New York, dan Chicago, nama Sofjan sungguh wangi. Belasan orang yang ditemui langsung bertanya, ”Oh, apakah Anda kenal Sofjan Wanandi? Salam saya untuknya,” ujar Ketua Kamar Dagang Amerika Serikar Tom Donohoe. Ada sejumlah anak muda dan kaum senior di negeri ini yang ahli lobi, bahkan sekualitas Sofjan. Mereka memiliki jaringan lobi dan bisnis yang mencengangkan. Mereka adalah orang-orang yang sangat sabar membangun relasi. Kuat menahan keinginan, pandai menyembunyikan perasaan yang bergolak, dan bisa tetap tersenyum ramah kendati disindir. Membangun lobi harus dengan kesabaran yang tidak lumrah karena ia harus sangat toleran, memahami orang lain. Membangun lobi pun tidak boleh kampungan, misalnya memuji berlebihan atau menyalah-nyalahkan orang lain demi menyenangkan orang yang dilobi. Pelobi yang baik selalu bicara terukur. Boleh memuji, tetapi dengan bahasa yang cerdas. Sebagian di antara usahawan dan politisi Indonesia kerap terkesan kurang sabar. Acapkali tanpa disadari mereka melobi dengan gaya dagang sapi. Lobi juga kerap disederhanakan dengan makan siang atau makan malam bersama saja. Padahal, makan siang atau makan malam hanya satu dari begitu banyak kriteria lobi. Kalau sudah begini, bukan lobi lagi namanya, tetapi membangun kesulitan. Kita sadar bahwa salah satu esensi lobi adalah mengalah, jauh lebih banyak memberi daripada diberi, atau bergaul dengan menekankan seni. Melobi, baik dalam bisnis maupun politik, memang membutuhkan seni tersendiri. Seni itu tidak mudah diajarkan sebab banyak mengandalkan watak yang halus, berbudi pekerti baik, suka mengalah. Kalau lobi atas seseorang sudah mengakar dalam, pelobi akan dengan mudah ”memasukkan” keinginannya. Para usahawan Indonesia patut belajar membangun lobi yang hebat. Jaringan kian luas, bisnis akan lancar. Bintang Anda semakin cemerlang dengan lobi yang dahsyat. Abun Sanda