Rabu, 05 Desember 2012

JURANG FISKAL MASIH MENJADI FOKUS PERHATIAN

Pasar Uang Isu tentang jurang fiscal atau fiscal cliff di Amerika Serikat diperkirakan masih akan menjadi pusat perhatian pasar keuangan global. Saat ini pemerintahan Barack Obama dihadapkan pada upaya menyehatkan anggaran agar kelanjutan perekonomian AS dapat dijaga dengan baik. Jurang fiskal bertumpu pada dua aspek utama. Pertama, pemerintah AS akan memangkas anggaran rutin, terutama untuk pos pertahanan. Kedua, parallel dengan itu, pemerintah Obama akan menaikkan pajak bagi kelompok orang kaya di AS. Kelompok ini adalah mereka yang berpenghasilan di atas 250.000 dolar AS per tahun. Tercatat sebanyak 2% dari populasi penduduk AS termasuk ke dalam kelompok kaya tadi. Dengan mulusnya pembicaraan jurang fiscal yang kelak akan dijalankan di awal tahun 2013, maka prospek pemulihan ekonomi AS akan menjadi lebih jelas. Dampak positifnya akan menjalar ke sektor dunia usaha di AS. Sektor keuangan juga akan bergairah karena kepercayaan pasar meningkat. Permintaan property dan otomotif di AS akan melonjak. Pabrik-pabrik bekerja normal. Angka pengangguran menurun menuju level yang diharapkan, yakni 7%. Indeks manufaktur akan melampaui batas aman yang 50. Ujung-ujungnya, kegiatan ekonomi bergerak lebih dinamis. Negara-negara mitra dagang utama AS, khususnya Indonesia, akan kecipratan dampak positifnya, di mana mata uang rupiah akan mengalami keseimbangan baru. Permintaan ekspor dari AS juga akan melonjak. Aliran modal asing juga akan semakin deras. Ujung-ujungnya, ada harapan pemulihan ekonomi dunia juga akan terdorong. Tercatat kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antar bank Jakarta, Rabu lalu (28/11) ditutup melemah tipis 5 poin (0,051%) ke posisi Rp9.615/Rp9.620 dari posisi sebelumnya Rp9.610/Rp9.615. Pelemahan rupiah hari ini masih didominasi oleh memburuknya kekhawatiran pasar terhadap zona euro. Terutama setelah euforia atas keputusan bailout Yunani berakhir. Yunani memang telah mendapatkan kepastian akan pencairan dana bailout yang diperkirakan cair pada 13 Desember 2012. Tapi, perkembangan di Jerman terakhir justru mengisyaratkan akan adanya kendala saat Parlemen Jerman membahas skema bailout terakhir untuk Yunani. Karena itu, sepanjang perdagangan, rupiah mencapai level terlemahnya Rp9.620 setelah menguat ke leval Rp9.595 dari posisi pembukaan Rp9.600 per dolar AS. Ada beberapa Laporan, parlemen Jerman akan mengadakan voting bailout Yunani pada Jumat pekan lalu. Tapi, komentar terakhir dari salah satu anggota parlemen Jerman dari partai oposisi Steinbroejk menyatakan, bahwa proses voting kemungkinan akan ditunda. Sebab, parlemen Jerman masih membutuhkan waktu untuk membahas skema bailout yang disusun oleh menteri keuangan zona euro. Pasar mengkhawatirkan, Jerman mungkin tidak akan bisa melakukan apa yang telah disepakati pertemuan Euro Group kemarin dengan poin yang sangat banyak. Seharusnya waktu voting tersebut akan ditunda hingga semua informasi skema penyelamatan Yunani lengkap. Selain itu, kemungkinan transfer keuntungan dari obligasi Yunani yang diperoleh oleh European Central Bank (ECB) ke pemerintah Athena, dipermasalah Bank Sentral Jerman. The Deutsche Bundesbank mengklaim lebih berhak atas apa yang dilakukan terhadap laba yang diperoleh dari laba obligasi Yunani. Karena itu, transfer laba obligasi ke Yunani akan menjadi perselisihan di masa yang akan datang. Pada saat yang sama, rupiah juga mendapat tekanan negatif dari laporan inflasi Bank of England (BoE) yang cukup negatif. Sebab, Gubernur BoE masih mengutarakan kecemasan terhadap kontraksi ekonomi Inggris walaupun data Produk Domestik Bruto (PDB) terakhir menunjukkan masih tumbuh 1% untuk kuartal III-2012. Belum lagi, komentar dari salah satu petinggi The Fed yang menentang program perpanjangan Operation Twist yang berakhir pada Desember 2012. Selain itu, juga tentangan atas penambahan jumlah pembelian obligasi oleh The Fed yang berbasis KPR yang disebut quantitative easing (QE) ketiga (QE-3). Karena itu, secara umum sentimen pasar negatif bagi rupiah. Apalagi, data ekonomi yang dirilis AS cukup positif seperti Durrable Goods Order, Indeks Harga Rumah, Indeks Kepercayaan Konsumen, dan Indeks Manufaktur. Ini cukup menegaskan performa dolar AS terhadap mata uang lainnya sehingga menjadi tekanan negatif bagi rupiah. Alhasil, rupiah melemah tipis di tengah dolar AS yang stagnan terhadap mayoritas mata uang utama tapi menguat terhadap euro (mata uang gabungan negara-negara Eropa). Untuk minggu ini, dengan sentiment yang lebih baik, ada peluang rupiah menguat pada kisaran Rp 9.580-Rp 9.620 per dolar AS di tengah kinerja perekonomian Indonesia yang tetap terkendali dengan baik. Pasar Modal Harapan yang sama juga tercurah pada perkembangan kinerja Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang diharapkan mampu lolos dari lubang jarum. Setelah sempat menyelinap ke bawah batas psikologis 4.300, akhirnya IHSG ditutup di level 4.304,82. Berarti, pada Rabu lalu (28/11) indeks hanya melemah 32,69 poin (0,75%) dibanding dengan penutupan sebelumnya. Ini sungguh mengejutkan. Soalnya, longsor berat itu terjadi di saat Menteri Keuangan Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF) menyetujui dana talangan Yunani sebesar 44 miliar euro. Menurut Olli Rehn, Komisaris Ekonomi dan Moneter Uni Eropa, Yunani akan mendapatkan dana talangan itu pada 13 Desember 2012 ini. Tentu kabar baik ini akan membuat masa depan Yunani dan Eropa lebih baik. Namun itu saja belum cukup menghibur pelaku bursa. Para kreditur juga sepakat memotong suku bunga pinjaman dan memperpanjang utang jatuh tempo menjadi 10–15 tahun. Yang lebih menggembirakan lagi, Menteri Keuangan Uni Eropa juga menjanjikan bantuan menyelamatan 240 miliar euro. Dari jumlah tersebut, sampai saat ini Yunani telah menikmati bantuan menyelamatan 150 miliar euro. Seharusnya, menurut John Veter, kabar baik dari Yunani itu berdampak positif terhadap IHSG. Masalahnya, kenapa IHSG masih berat untuk menguat. Tetapi yang pasti, penurunan indeks juga terjadi di bursa Wall Street dan di sejumlah pasar modal dunia lainnya. Di bursa Wall Street, indeks Down Jones (DJIA) dan Nasdaq masing-masing sempat melemah 0,69% dan 0,30%. Tidak hanya di Amerika, penurunan harga juga dialami saham-saham di sejumlah bursa Asia. Indeks Hang Seng, misalnya, turun 0,62%. Pelemahan juga dialami oleh indeks Kospi (0,65%), Nikkei (1,22%) dan Straits Times (0,09%). Goyangan dari bursa dunia inilah yang diduga menjadi penyebab loyonya IHSG. Turunnya indeks di sejumlah bursa dunia tampaknya tak lepas dari sejumlah peristiwa yang bakal terjadi di Amerika. Minggu lalu, Ben Bernanke, Gubernur The Fed, menyampaikan berpidato soal solusi atas ancaman jurang fiskal (fiscal cliff) di Amerika. Selain itu, dalam waktu dekat juga akan keluar rilis tentang kepercayaan konsumen. Sambil menunggu kabar baik dari Amerika, para investor di sejumlah bursa melakukan aksi jual. Ada yang percaya, Bernanke akan mengumumkan stimulus quantitative easing jilid IV untuk mengatasi kelesuan ekonomi sebagai dampak kebijakan kenaikan pajak dan penghematan anggaran Presiden Barrack Obama. Tapi sebagian pasar menganggap Bernanke sebagai orang yang sangat disiplin dan hati-hati. Perbedaan pandangan itu tentu akan membawa konsekuensi masing-masing. Jika pidato Bernanke dan rilis kepercayaan konsumen Amerika positif, maka IHSG diperkirakan akan melesat. Jika sebaliknya, maka harga saham-saham akan semakin loyo. Soalnya, kebijakan fiscal cliff karya pemerintahan Obama bisa membuat Amerika masuk ke lembah resesi. Jika yakin Bernanke akan menurunkan quantitative easing IV, justru kinilah saatnya bagi investor untuk berbelanja. Sebab, indeks akan bergerak di kisaran 4.300–4.400 minggu ini. Memang bursa saham AS sempat bergerak turun pada perdagangan Rabu (28/11) lalu karena investor masih diliputi kekhawatiran sulitnya negosiasi dalam mengatasi tebing fiskal. Investor berbondong-bondong mengamankan posisi yang aman. Investor merespon pernyataan anggota parlemen tentang sedikitnya kemajuan negosiasi dalam menghindari tebing fiskal. AS terancam resesi dengan kenaikan pajak dan penghematan anggaran per 1 Januari 2013. Pasar juga menunggu data penjualan rumah untuk bulan Oktober. Para ekonom mengharapkan terjadi kenaikan seperti pada bulan September lalu. Pasar juga mencermati kabar dari The Fed yang akan merilis Beige Book tentang kondisi ekonomi regional. Rilis tersebut diharapkan akan mengalami pertumbuhan meskipun ada badai Sandy. Secara umum ancaman tebing fiskal tenah membebani bursa global. Bursa Eropa turun 0,4%. Bursa Asia diwarnai pelemahan seperti indeks Nikkei dan indeks Shanghai yang terus melanjutkan pelemahan. Indeks Nikkei terendah dalam tujuh bulan dan indeks Shanghai terendah dalam empat tahun. Kembali ke BEI, ternyata IHSG sudah naik sekitar 14,5% untuk periode year to date sampai dengan 26 November 2012 lalu. Dibandingkan bursa-bursa Asia lainnya, performa IHSG itu menempati posisi keempat terbaik. Namun, posisi ini turun dibandingkan awal tahun 2012. Di awal tahun 2012 lalu, bursa Indonesia masih menempati peringkat kedua. Saat ini, IHSG masih di bawah Thailand sebagai jawara bursa regional dengan kenaikan 28,5%. Sementara itu, bursa India melaju 20%; dan indeks Hongkong, Hangseng naik 18,6%. Dengan anggota bursa yang sudah mencapai 460 pada November ini, regulator bursa berharap kontribusi investor domestik akan meningkat. Dengan demikian, jika terjadi gejolak di pasar modal dan penarikan dana besar-besaran (redemption) global, IHSG memiliki kekuatan untuk tidak jatuh terlalu banyak dan tidak kolaps sehingga tidak menggoyangkan perekonomian. Otoritas bursa tidak terlalu mengharapkan investor domestik bisa mendominasi kepemilikan saham. Setidaknya selisih antara investor asing dan domestik tidak terlalu lebar. Secara sektoral, saham perbankan, consumer goods, konstruksi dan transportasi akan menjadi incaran pemodal sepanjang minggu ini. Kebijakan perbankan dan fiscal yang hati-hati juga menjadi katalis potensi penguatan IHSG pada kisaran 4.330-4.380 minggu ini. Business News