Kamis, 05 Maret 2009

Pesona Lau Kawar Yang Menggoda

Enggan pulang. Itulah yang terjadi pada para penganut kebebasan itu. Padahal, mereka seharusnya memikirkan masa depan mereka. Tapi, sepertinya mereka sudah betah dan (sekali lagi), mereka tetap enggan pulang.

Inilah yang terjadi di kawasan alam Danau Kawar. Jika bisa diumpamakan, kawasan ini layaknya daratan kecil yang diperuntukkan khusus bagi pecinta dan penikmat alam. Dan sepertinya tak sedikit yang terpesona, bahkan dan enggan pulang ke rumah setelah mengisi waktu dan menikmati pesonanya di sana.

Danau Lau Kawar - Karo

Barangkali, inilah yang dialami sebagian orang yang hadir mengisi lahan-lahan berumput hijau di kawasan pinggir Danau Lau Kawar yang memiliki kedalaman tertinggi mencapai 27 meter itu.
Ricky misalnya. “Jangan terlalu repot jika kehabisan logistik (makanan). Kalau soal makanan, di sini mudah didapat,” katanya. Tinggal bagaimana kita bergaul dengan penduduk setempat, paling tidak para pemilik ladang.
Ricky sudah lama “menghuni” di sana. Bahkan tidak ingat persis harinya ketika ia tiba di sana. “Kalau dihitung-hitung sudah hampir 2 bulan,” katanya.
Bagi Ricky, hidup dan survival di kawasan Danau Lau Kawar merupakan wujud dari kebebasan sekaligus wahana sosialisasi sesama manusia atau pecinta alam dan penikmat alam — kedua istilah ini memiliki arti berbeda baginya.
“Kalau bisa saya kategorikan, saya masuk dalam kategori pecinta alam bukan penikmat alam. Penikmat alam hanya menikmati alam. Pecinta alam, bukan hanya menikmati tapi juga berperan dalam kelestariannya,” jelasnya.
Kedua istilah ini tiba-tiba membuat Ricky kritis. Pasalnya, tak jarang ada oknum tak jelas menggunakan dalih penggunaan istilah pecinta alam dengan iming-iming penghijauan. Caranya dengan mengajukan proposal kepada pemerintah setempat dengan motif penghijauan, tapi hasil yang ditemui di lapangan sangat jauh dari apa yang diharapkan.
“Mereka kami juluki bandit proposal,” jelasnya lantang. “Sebab apa yang tertera dalam proposal sering melenceng dari apa diprogramkan dalam proposal. Misalnya, dalam proposal penghijauan itu dikatakan bahwa mereka akan menanam pohon sejumlah 15 ribu batang. Lah, hasilnya beda,” tambahnya.
Selain Ricky, ada juga Erwin (23 dan Anes (24). Erwin sendiri sudah hampir 1,5 bulan di sana. Ia sudah tiba sejak awal Januari dan hingga kini masih enggan untuk pulang. “Lebih enak di sini daripada di rumah (Medan),” kata mereka.
Hari-hari berlalu tak terasa. Di kala siang, ketika mentari datang menyengat, panas, kadang-kadang mereka pergi ke danau mencari ikan atau kepah untuk bekal nanti malam. Ada juga yang pergi ke puncak, bergabung dengan para petani, membantunya, dan pulang denga membawa aneka sayur-mayur: labu, kol, tomat, cabai. Tak ketinggalan ranting-ranting pohon untuk bakaran.
Di sore hari, sebagian dari mereka asyik bermain bola volley. Dan ketika senja tiba dan langit mulai gelap, perlahan-lahan tedengar alunan lagu dengan iringan gitar. Sambil memasak bahan makanan apa saja yang mereka dapat hari itu, masing-masing mulai membuka cerita. Hingga malam tiba, mereka benyanyi, bercanda, tertawa. Dan sepertinya mereka bahagia.
***
Desa Lau Kawar adalah desa kecil yang mayoritas mata pencaharian masyarakatnya bersumber dari pertanian sayur-sayuran dan buah. Untuk mencapai daerah itu, setidaknya harus melalui Brastagi atau Kabanjahe.
Sebelumnya, kami telah menempuh perjalanan, yang memakan waktu sekitar 3,5 jam. Jika bus melaju tanpa ngebut waktu tempuh dari Medan menuju Brastagi bisa memakan waktu 2 jam. Tapi, begitulah kebiasaanya bahwa ngebut itu wajar. Apalagi bagi bus-bus trayek Medan – Brastagi–Kabanjahe, yang rata-rata penumpangnya juga sudah terbiasa dengan kondisi itu.
Setelah tiba di Brastagi dan membeli persediaan bahan makanan secukupnya, kami pun melaju dengan bus kecil (Takasima) yang akan membawa kami ke Desa Lau Kawar. Perjalanan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Meski terasa melelahkan, tapi mata cukup terasa segar dengan pemandangan alam pedesaan. Sesekali terlihat Gunung Sinabung yag menyembul dari sudut-sudut desa.
Desa Lau Kawar, selain identik dengan panorama danaunya juga kaya ekosistem flora dan fauna. Diperkirakan di areal yang juga dikenal dengan kawasaan Hutan Wisata Deleng Lancuk (HWDL)itu terdapat flora jenis keliung (quercus), castanopsis dan jenis ficus.
Pada pingggiraan danau juga terdapat berbagai jenis anggrek pohon dengan bunga-bungaan yang indah. Adapun jenis fauna di antaranya, rusa rawa (cervus unicolor), owa (hylobates moloch), musang (paradoxumus hermaprodicus), kambing hutan (naemorhaedus sumatrensis) dan burung enggang (buceros).
Nama Deleng Lancuk diambil dari nama sebuah bukit. Kawasan HWDL berada didalam kawasan Hutan Sibayak II dengan luas 435 hektar. Termasuk Danau Lau Kawar telah ditunjuk menjadi taman wisata alam sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.08/Kpts/II/1989, 6 Februari 1989.

Sumber : DNA