Senin, 23 Maret 2009

Strategi Menghadapi Krisis Global

Ada pepatah yang mengatakan berharaplah pada yang terbaik, tetapi bersiaplah untuk yang terjelek (hope for the best, but prepare for the worst). Mengapa prepare for the worst karena kalau keadaan masih tidak menentu dan situasi kemudian temyata menjadi sangat buruk, kita tidak akan terkejut karena sudah siap menghadapinya Kalau keadaan ternyata baik-baik saja, maka tidak apa-apa karena kita justru akan menjadi lebih kuat lagi. Pepatah ini sekaligus memberikan landasan bagi suatu strategi yang kami namakan the winning strategy atau strategi yang memberikan kemenangan dalam menghadapi krisis. Memang benar keadaan kita sampai sekarang masih lebih baik dibandingkan dengan banyak negara huii Namun, ada banyak faktor yang menyebabkan keadaan itu bisa saja berubah. Jadi, daripada terus mendengung-dengungkan bahwa keadaan kita masih lebih baik, lalu puas diri (complacent), lebih baik kita tetap mengambil terobosan-terobosan penting dengan mengantisipasi seolah-olah keadaan sudah menjadi terjelek.

Jadi, lebih baik mengambil tindakan berdasarkan a crisis scenario without a crisis atau lebih tepat lagi berdasarkan a worst-case scenario daripada a best-case scenario. Ini sama sekali bukan bermaksud menumbuhkan pesimisme, tetapi justru membangun optimisme melalui tindakan nyata, bukan dengan bermimpi. Strategi ini biasanya dipakai oleh para teknokrat pada zaman Orde Baru untuk meyakinkan Presiden Soeharto supaya mau mengambil keputusan yang berani untuk mencegah krisis, paling sedikit meredakan dampak krisis walaupun krisis belum terjadi.

Tidak pandang bulu

Apakah keadaan Indonesia bisa menjadi lebih jelek dari sekarang dan apakah kita sudah siap untuk menghadapi keadaan yang terjelek? Di era globalisasi ini, krisis bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, tak memandang bulu. Ada macam-macam krisis, tergantung di mana dimulainya. Ada krisis mata uang, krisis perbankan/ keuangan, krisis utang pemerintah, krisis korporasi, dan krisis utang rumah tangga, tetapi untuk sederhananya kita kelompokkan saja ke dalam dua kelompok besar, yaitu krisis sektor keuangan dan krisis sektor riil.

Krisis 2008-2009 ternyata dimulai di sektor keuangan Amerika Serikat yang sangat memengaruhi sektor riil ("menimbulkan resesi"), tetapi kemudian menyebar lagi ke seluruh dunia melalui sektor keuangan dan sektor riil (resesi ekonomi). Ada negara yang kena dampak krisis AS melalui sektor keuangannya, ada yangmelalui sektor riilnya, dan ada yang melalui kedua-duanya. Dampak melalui sektor riil pun ada yang langsung dan ada yang tidak langsung.

Ada satu perbedaan pokok; kalau krisis terjadi melalui sektor keuangan, dampaknya biasanya sangat drastis dan cepat meluas, termasuk ke sektor riil. Melalui sektor riil biasanya dampaknya tidak serentak besar, tetapi bertahap sedikit demi sedikit dan meluas secara perlahan sehingga sektor keuangan pun pada ronde berikutnya akan terpengaruh karena terjadi kredit macet

Di AS, karena krisis dimulai di sektor keuangan, dampaknya drastis dan cepat meluas ke sektor riil. Eropa juga mengalami hal yang sama dengan AS karena banyak dipengaruhi melalui sektor keuangan, di mana lembaga keuangan mereka banyak memiliki derivatif dari AS.

Negara lain, terutama di Asia, sektor keuangannya tidak banyak dipengaruhi oleh krisis keuangan AS, tetapi mereka lebih merasakan dampaknya melalui sektor riil berupa menurunnya ekspor. Bagi negara yang ketergantungan ekspornya ke AS sangat besar, seperti Jepang, Singapura, dan Malaysia, dampak krisis AS terasa sangat besar pula terhadap ekspor dan pertumbuhan ekonomi mereka

Indonesia memang termasuk negara di mana dampak langsung terhadap sektor keuangan sangat minimal hanya sepanjang keluarnya modal jangka pendek sebesar 10 miliar dollar AS yang telah memengaruhi harga saham, kurs rupiah, dan cadangan devisa. Namun, dampaknya terhadap sektor riil baru dimulai sedikit demi sedikit Dampak langsung resesi ekonomi AS akan cepat tampak dari menurunnya ekspor kita ke AS. Akan tetapi, itu belum semuanya, masih ada dampak tidak langsung melalui penurunan ekspor kita ke negara-negara lain, terutama mereka yang sangat bergantung pada AS. Belum lagi dampak secara berantai pada sektor-sektor ekonomi lain di dalam negeri. Jadi, keadaan masih bisa menjadi lebih jelek, tetapi datangnya tidak serentak, melainkan gradual. The worst is yet to come.

Tetap akan terpuruk

Apakah Indonesia sudah siap menghadapi keadaan yang terjelek? Ada beberapa faktor yang menyebabkan kami menjadi ragu untuk mengatakan ya.

1. Di mana-mana, baik oleh pemerintah maupun pengamat, selalu ditekankan bahwa keadaan kita tidak sejelek negara lain, artinya kita hanya mengharapkan yang terbaik.

2. Paket stimulus dikeluarkan sangat terlambat dan sepertinya dengan setengah hati walaupun kita sudah punya dana Rp. 5O triliun dari surplus APBN 2008. Padahal, mengumumkannya secara terkoordinasi antara pemerintah, bank sentral, dan DPR secara cepat mempunyai dampak psikologis yang besar. Negara lain, termasuk Amerika, mengumumkan paketnya secara cepat dan terkoordinasi walaupun uangnya masih harus dicari.

3. Kenyataan bahwa pemerintah terus mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2009 dari 6 persen ke 5,5 persen kemudian 5 persen lalu 4,5 persen dan terakhir 4 persen menunjukkan bahwa dampak krisis dari AS bekerja secara perlahan di Indonesia, tetapi pemerintah dari awal tidak bersiap menghadapi yang terjelek. Ini berbahaya karena kalau keadaan mendadak menjadi sangat jelek, kita akan kewalahan.

4. Paketnya pun bukan saja too late, tetapi juga too little untuk menghadapi keadaan yang terjelek. Dari Rp 73,3 triliun paket stimulus (1.4 persen x PDB). Rp 50 triliun sebenarnya merupakan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan dari tahun lalu, tetapi diberi label baru sebagai stimulus. Jadi, stimulus murni hanya Rp 23,3 triliun (0.4 persen x PDB) itu pun hanya disediakan Rp 12,2 triliun untuk infrastruktur, padahal kebutuhannya ratusan triliun tiap tahun.

5. Pembangunan infrastruktur ini pun sudah sangat terlambat karena sudah bertahun-tahun dibicarakan. Akibatnya, bilamana kita masuk pasar sekarang untuk meminjam bagi pembangunan infrastruktur, biayanya akan sangat mahal karena dana di pasar sekarang sangat menipis, sedangkan yang butuh banyak sekali dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, di mana dananya banyak, sedangkan yang butuh sedikit

6.Satu hal lain lagi yang sangat penting yang sudah seharusnya ditangani secara cepat demi berhasilnya paket stimulus ini adalah lambannya pencairan/ penyerapan anggaran. Hal inilah yang menimbulkan surplus tahun 2008. Dalam paket stimulus, pengeluaran pemerintah memegang peranan penting. Jadi, tanpa langkah-langkah untuk mempercepat pencairan/ penyerapan anggaran, paket stimulus ini bisa mengalami nasib yang sama dengan APBN 2008, yaitu surplus, tetapi perekonomian tetap akan terpuruk.

Karena banyaknya jalan dan jembatan serta saluran irigasi dan pelabuhan yang rusak, masyarakat pasti merasa lebih senang kalau lalu lintas macet di mana-mana karena ada perbaikan jalan daripada macet karena banyak jalan yang rusak. Kita sudah di akhir Maret, tetapi belum tampak adanya perbaikan jalan/infrastruktur secara besar-besaran, padahal sudah ada uangnya.

Jadi, tampaknya kita belum bersiap untuk menghadapi keadaan yang terjelek. Namun, keadaan belum terlambat sekali bila pelaksanaan paket stimulus dipercepat dan bila perlu ditingkatkan lagi besaran stimulusnya, baik dalam bentuk tambahan pengeluaran untuk infrastruktur maupun keringanan pajak. Hanya dengan demikian Wta benar-benar akan lebih siap menghadapi keadaan yang terjelek.


ADRIANUS MOOY Mantan Gubernur Bank Indonesia
Sumber : Kompas