Senin, 07 Februari 2011

APA ALASAN BANK INDONESIA MENAIKKAN BI RATE?

Ditengah teriakan para pengusaha, Bank Indonesia kelihatannya menyerah pada lobby-lobby asing yang sarat mencari keuntungan sesaat. Ketika kita membaca tulisan analis asing, mereka mengatakan kebijakan Bank Indonesia ketinggalan kereta dibanding dengan Bank Sentral regional dan internasional, istilahnya Bank Indonesia behind the curve dalam meng-antisipasi pergerakan inflasi. Itu sebabnya mereka dengan yakin meminta Bank Indonesia untuk menaikkan acuan tingkat bunga –BI Rate- sebesar 25 basis point.

Nyatanya memang Bank Indonesia melepas BI rate naik menjadi 6.75% hari Jum’at lalu, 4 Februari 2011. Pasar obligasi langsung bereaksi, obligasi tenor panjang naik harganya (imbal balik turun), dengan volume yang cukup besar. Sementara itu obligasi tenor pendek tidak banyak bergerak. Bisa jadi penurunan imbal balik obligasi tenor panjang merupakan ungkapan para pelaku pasar fixed income bahwa ekspektasi ekonomi jangka panjang menjadi lebih baik, risiko lebih kecil, sedangkan ekspektasi prospek ekonomi jangka pendek masih belum terpantau dan terukur.

Pasar saham bereaksi sebaliknya, disesi penutupan naik 0.44%. Pasal naiknya IHSG saat acuan tingkat bunga Bank Indonesia berubah naik merupakan cerminan naiknya ekspektasi pasar modal atas pendapatan para emiten di tahun 2011 ini, dalam jangka pendek, sekitar satu tahun kedepan.

Dua reaksi yang saling berlawanan ini bisa membuktikan bingungnya para investor atas kebijakan Bank Indonesia: sebetulnya positif bagi ekonomi Indonesia, atau malah negatif?

Dari sisi ekonomi riil, kenaikan bunga acuan ini akan meningkatkan biaya dari sisi modal. Pasalnya biaya bunga bakal naik, dan biasanya bank akan langsung menaikkan biaya bunga investasi dan modal kerja. Alhasil, akan ada kenaikan biaya modal secara instan. Ini yang tidak cocok dengan kenaikan IHSG, biaya naik mustinya menurunkan revenue, tetapi IHSG tetap begerak positif. Aneh bin ajaib.

Mungkin pasar berpikir akan ada arus modal asing masuk kedalam sistem ekonomi Indonesia karena imbal balik yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kalau investasi portfolio bisa saja, asing akan masuk membeli SUN karena imbal baliknya naik. Tetapi investasi portfolio ini tidak ada efek langsung terhadap perekonomian riil, karena pintu masuknya hanya ada dua. Pertama, uang pembelian SUN akan masuk ke penerbit SUN yaitu pemerintah (departemen keuangan) dan digunakan untuk membiayai APBN yang defisit. Padahal pencairan APBN terkenal sangat lelet.

Kedua, saat asing membeli SUN yang sudah beredar, kebanyakan mereka membeli dari sektor perbankan. Sehingga sektor perbankanlah, dari semua usaha riil, yang paling diuntungkan. Dua kali untung: dari kenaikan bunga pinjaman dan capital gain SUN. Padahal perbankan Indonesia sudah terkenal sangat susah meningkatkan pinjamannya ke sektor riil.

Pemerintah pun kelihatan gerah dengan keputusan Bank Indonesia. Menko Ekuin Hatta Radjasa tidak bisa menahan reaksi negatifnya: “Bank jangan latah menaikkan bunga kredit,” katanya setelah mendengar keputusan Bank Indonesia. Dia tambahkan: “”Bahkan kita kan justru inginnya bunga untuk dunia perbankan itu malah kita inginkan ada penurunan,” alasannya perbedaan bunga deposito dengan bunga kredit masih tinggi, sekitar 6%.

Kebijakan Bank Indonesia terakhir bisa jadi mencemarkan kredibilitasnya. Sebulan sebelumnya, di bulan Desember 2011, alasan utama tidak menaikkan tingkat bunga acuan adalah tidak berubahnya core inflation (inflasi komoditas yang harganya diatur pemerintah). Angka inflasi Janauri 2011 malah menunjukkan perbaikan core inflation, kok malah BI menaikkan bunga acuan, bukan sebaliknya? Aneh bin ajaib. Bank Indonesia seakan menelan ludah sendiri.

Memang kita masih meraba-raba alasan kebijakan Bank Indonesia minggu lalu itu. Bisa jadi biaya intervensi valas dirasakan terlalu berat, apalagi dengan gejala pergerakan dollar Amerika Serikat yang cenderung menguat karena adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Tanpa kenaikan BI rate, biaya intervensi semakin tinggi.

Padahal pergerakan inflasi bukan gejala moneter, masih berasal dari sisi produksi yang naik biayanya. Sehingga sesungguhnya kenaikan bunga acuan malah akan meningkatkan inflasi di dalam jangka pendek. Belum lagi ada halangan didepan, penghapusan cap tarif listrik dan efek psikologis pembatasan penjualan premium. Apalagi kalau cuaca alam kembali tidak bersahabat, merusak panen, harga pangan kembali naik.

Artinya, efek akhir dari naiknya BI rate malah meningkatkan inflasi, bukan sebaliknya. Bisa sia-sia pengorbanan petani kita karena pemerintah menghapus bea masuk komoditi pertanian. Petani jadi semakin susah, inflasi tetap saja naik.


Business News