Senin, 03 Oktober 2011

Senandung Pertumbuhan Berkualitas

Frasa “pertumbuhan berkualitas”, menjadi begitu populer di era pemerintahaan SBY. Secara sederhana, berkualitas tidaknya pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari banyak-tidaknya lapangan pekerjaan baru yang diciptakannya. Di sini ada sebuah harapan bahwa semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi, mestinya semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang tercipta. Ujung dari harapan itu tidak lain adalah berkurangnya angka pengangguran dan angka kemiskinan.

Ikhwal pertumbuhan berkualitas kini kembali mendapat sorotan. Di tengah upaya pemerintah untuk mendorong terciptanya pertumbuhan berkualitas dimaksud, muncul tanggapan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa dikatakan berkualitas. Mengapa? Me­reka yang mengatakan demikian berpendapat bahwa pertumbuhan berkualitas belum sepenuhnya tercipta karena pertumbuhan itu sendiri lebih banyak dimotori oleh konsumsi rumah-tangga.
Selain itu, yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang seringkali dibanggakan pemerintah layak dikritik lantaran rendahnya penyerapan tenaga kerja. Dengan kemampuan menyerap tenaga kerja yang rendah, pertumbuhan ekonomi cenderung diikuti pertambahan angka pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan itu sendiri lalu hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya saja (elitis). Demikian argumen yang mengemuka di balik tudingan pertumbuhan tidak berkualitas itu.

Tetapi, apa benar pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita coba kaitkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan angkatan kerja, dan penyerapan angkatan/tenaga kerja itu. Pada Februari 2011, jumlah angkatan kerja yang merupakan tenaga kerja aktif secara ekonomi sebesar 119,4 juta orang, naik sekitar 3,4 juta orang dibanding Februari 2010. Sementara yang bekerja sebesar 111,3 juta. Artinya, 8,1 juta orang tidak bekerja alias menganggur. Dengan pertumbuhan PDB/ekonomi sebesar 6,1 persen itu, hanya 475 ribu angkatan kerja yang dapat diserapnya, padahal angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan berjumlah 3,4 juta orang.
Selain itu, data BPS juga menunjukkan, pada Februari 2011, 34,24 persen pekerja bekerja di sektor formal, sisanya 65,76 persen di sektor informal. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum berhasil mewujudkan dirinya sebagai pencipta la­pangan pekerjaan, sehingga sebagian besar angkatan kerja harus menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kalau kita berbicara tentang perekonomian warga di kota-kota besar, dapat dikatakan bahwa ting­ginya angkatan kerja yang bekerja di sektor informal mencerminkan banyaknya warga kota yang bekerja sebagai pedagang asongan atau PKL. Mereka ini rawan mengalami pemberangusan atau penggusuran yang dilakukan oleh pemda setempat.

Data BPS lainnya juga menunjukkan, dari 111, 3 juta orang yang bekerja tersebut, 38,16 per­sen bekerja di sektor pertanian, 20,88 persen di sektor perdagangan, 15,30 persen di sektor jasa kemasyarakatan. Maka, tiada cara lain selain membenahi sektor manufaktur dan pertanian jika angka ­pengangguran dan kemiskinan mau ditekan secara signifikan untuk mewujudkan pertumbuhan berkualitas dimaksud. Bersamaan dengan itu, harus pula didorong agar kewirausahaan tumbuh secara signifikan. Dukungan itu dapat dilakukan dengan memberikan berbagai insentif.

Seperti dikemukakan di atas, angkatan kerja bertambah 3,4 juta orang dalam setahun (Februari 2010-Februari 2011). Kalau diasumsikan setiap pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan 400 ribu lapangan pekerjaan baru, maka diperlukan angka pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi untuk dapat menampung angkatan kerja tersebut. Itu artinya, pertumbuhan ekonomi yang hanya bergerak pada kisaran 6-7 persen tidak akan menciptakan daya serap sesuai tuntutan pertumbuhan angkatan kerja. Maka tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa hanya dengan pertumbuhan ekonomi dua-digit persoalan pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi.

Bagaimanapun, tidak bisa disangkal bahwa pemerintah dan seluruh jajarannya terus bekerja dan bekerja. Tetapi mesti pula ditegaskan bahwa ka­langan yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas ada benarnya.


BusinessNews