Minggu, 20 Mei 2012

SULITNYA MENGURUS BBM

Selama berbulan-bulan jagad pemberitaan nasional didominasi oleh berita seputar bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pada awalnya persoalan yang mengemuka adalah apakah harga BBM bersubsidi harus dinaikkan atau tidak. Berbagai opsi dimunculkan. Pada akhirnya, sebagaimana kita ketahui, harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan. Sesudah itu muncul lagi persoalan baru terkait pembagian jatah BBM bersubsidi ke tiap-tiap daerah. Di sini kembali muncul persoalan. Para gubernur se-Kalimantan tidak puas dengan jatah BBM bersubsidi yang diputuskan otoritas pusat. Para gubernur itu pun mengancam menghentikan pengiriman hasil tambang dan migas ke luar pulau Kalimantan. Sejumlah pihak mengatakan bahwa ancaman para gubernur Kalimantan tersebut merupakan pertaruhan wibawa pemerintah pusat. Pendapat ini mungkin ada benarnya. Yang pasti, munculnya persoalan baru terkait BBM bersubsidi kembali menegaskan ketidakmampuan pemerintah beserta otoritasnya mengatur BBM bersubsidi tersebut. Terhadap tuntutan gubernur se-Kalimantan, pemerintah pusat menegaskan tidak akan memenuhi permintaan pemerintah daerah untuk menambah jatah BBM bersubsidi. Alasannya, pemenuhan permintaan dipastikan akan mengakibatkan jebolnya kuota jumlah BBM bersubsidi. Padahal, alokasi BBM bersubsidi dalam APBN-P 2012 telah dipatok 40 juta kiloliter. Angka inilah yang hingga kini tampaknya mati-matian dijaga pemerintah pusat. Lagi pula pemenuhan permintaan gubernur se-Kalimantan itu akan menjadi preseden bagi daerah lain untuk melakukan tindakan serupa. Tetapi, sembari mati-matian menjaga agar kuato 40 juta kiloliter tidak terlampau, pemerintah lagi-lagi meniupkan angin surga. Angin surga ini dihembuskan Menteri ESDM Jero Wacik. Dikatakan, pihaknya masih berjuang dengan DPR agar kuota BBM bersubsidi dapat ditambah dua hingga tiga juta kiloliter, sehingga kuota bisa mencapai angka 43 juta kiloliter. Yang menarik adalah bahwa wacana-wacana yang berputar-putar di sekitar BBM bersubsidi ditengarai banyak kalangan sebagai proyek pencitraan pemerintah dan Partai Demokrat. Spekulasi ini muncul tatkala angka kuota BBM bersubsidi dipermainkan. Mula-mula dipatok 40 juta kiloliter, lalu dimintakan kepada DPR agar ditambah dua hingga tiga kiloliter sehingga menjadi 43 juta kiloliter. Dan, ini yang mencurigakan, Menteri ESDM Jero Wacik menyebut pembicaraan dengan DPR soal penambahan kuota itu dibahasakan sebagai perjuangannya. Selengkapnya Jero Wacik mengatakan, “Ia berharap perjuangannya bisa membuahkan hasil”. Ini diucapkan ketika meresmikan Listrik Perdesaan di Kintamani, Bangli, Sabtu, 12 Mei lalu (www.mediaindonesia.com, 12/5/2012). Spekulasi ini tentu beralasan, sebab peme­rintah sebetulnya tahu persis berapa batas aman kebutuhan rakyat akan BBM bersubsidi tahun ini. Batas itu adalah 47 juta kiloliter. Maka, kalau pun penambahan kuota yang dimohonkan disetujui DPR, jumlah itu masih kurang. Sehingga dengan demikian, pemerintah akan kembali ke DPR untuk melakukan pembicaraaan agar kuota digenapkan 47 juta kiloliter. Tatkala langkah pemerintah merealisasikan konversi BBM ke BBG tampak begitu lamban, penambahan kuota BBM bersubsidi dipastikan akan terjadi, kecuali jika mau pertumbuhan ekonomi terganggu. Di sini, ada peluang bagi pemerintah dan partai berkuasa untuk mengklaim penambahan itu sebagai hasil perjuangan mereka. Satu hal yang mau dikatakan di sini adalah bahwa betapa negara ini begitu sulit mengurus keka­yaan alam yang melimpah. Kita berharap jangan sampai bangsa ini jadi mangsa dari apa yang disebut kutukan minyak (oil curse) karena negara tidak mampu mengurus BBM. Sejarah menyodorkan dua jenis re­ferensi terkait hal ini. Referensi buruk diperagakan beberapa negara Afrika yang terjerumus ke dalam pe­rang saudara berkepanjangan karena memperebutkan sumur minyak atau kekayaan tambang lainnya, se­perti berlian (resource curse). Referensi kedua adalah negara-negara yang berhasil memanfaatkan sumber daya untuk kemakmuran rakyat. BusinessNews