Minggu, 25 Juli 2010

Budaya Menghukum

Limabelas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai?

Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"

"Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. "Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.

Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkan argumentasinya. "Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.


~RHENALD KASALI - Ketua Program MM UI~

Baca selengkapnya...

Jumat, 18 Juni 2010

Kata Hati

Peristiwa ini terjadi di Pintu Satu Senayan. Saat itu saya sedang mengendarai mobil. Sekitar dua puluh meter sebelum berbelok ke Jalan Pintu Satu Senayan, saya menyalakan lampu sinyal. Tetapi beberapa pengendara sepeda motor seakan tak perduli. Mereka tetap memaksa dan menerobos. Satu, dua, sepeda motor berhasil lolos. Tetapi sepeda motor ketiga gagal. Tabrakan tak terhindarkan.

Sepeda motor yang dikemudikan dengan kencang -- karena berharap bisa menerobos celah sempit yang tersisa – akhirnya membentur mobil saya dengan keras. Sang pengemudi terpental lalu terhempas di trotoar.

Saya menepi dan berhenti. Sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu menyuruh saya jalan terus. Menurut mereka pengendara motor itu yang salah. Sementara saya melihat pengendara sepeda motor bangkit dan dengan terpincang-pincang berusaha mendorong motornya ke pinggir jalan. Hati kecil saya memerintahkan saya untuk turun dari mobil.

Mulanya pengemudi sepeda motor tersebut menolak tawaran saya untuk diperiksa di Rumah Sakit Djakarta, yang jaraknya tak jauh dari lokasi tabrakan. Dia mengaku hanya butuh waktu sebentar guna memulihkan kondisi tubuhnya. Saya mendesak dan mengatakan akan menanggung biaya pengobatan termasuk kerusakan motornya. Akhirnya dia bersedia.

Setelah membawa pengemudi motor itu ke rumah sakit, meninggalkan uang untuk perbaikan motornya, dan meninggalkan kartu nama, barulah kami berpisah. Jika harus menghitung “kerugian” saya dalam peristiwa itu, bukan cuma karena mobil saya rusak, tetapi juga waktu yang terbuang dan peluang yang hilang karena hari itu saya batal presentasi.

Sebagai manusia biasa, ada waktunya saya merasa jengkel pada ulah pengendara sebagian pengendara sepeda motor di Jakarta. Banyak yang ugal-ugalan dan merasa merekalah “raja jalanan”. Mereka seakan tidak perduli pada keselamatan jiwa sendiri dan orang lain. Terlalu banyak pengalaman tidak menyenangkan berhadapan dengan pengendara sepeda motor yang seperti itu.

Suatu hari anak saya menelepon. Dia melaporkan mobilnya ditabrak pengendara sepeda motor. Mobil rusak cukup serius. Pengendara motor terluka dan motornya juga rusak. Saya lalu meminta anak saya segera membawa sang pengemudi sepeda motor ke rumah sakit. “Biayanya kamu yang bayar nanti uangnya ayah transfer ke atm-mu,” ujar saya. Anak saya protes. Menurut dia pengendara motor yang menabrak, mengapa dia yang harus menanggung akibatnya?

Selesai selesai membawa sang pengendara sepeda motor ke rumah sakit dan membayar semua biaya, anak saya menelepon lagi. Dia melaporkan semuanya sudah beres. “Sekarang kasih dia uang untuk perbaikan motornya,” ujar saya. Anak saya terperangah. Dia semakin tidak mengerti dengan “perintah” ayahnya tersebut. “Dia yang menabrak, mengapa kita yang harus mengganti? Kan mobilku juga rusak?” ujarnya keberatan.

Tidak mudah menentukan sikap dalam situasi seperti itu. Sebab selama ini saya mengajarkan kepada anak-anak saya untuk berani bersikap ketika membela kebenaran. Sebab kebenaran harus ditegakkan. Tetapi menghadapi situasi tabrakan seperti yang dialami anak saya, dan yang juga saya alami, hati saya mendua.

Istri saya sempat bertanya apakah keputusan saya tersebut bijaksana? Sebab dengan mengganti biaya pengobatan sekaligus mengganti kerusakan sepeda motor, bukankah merupakan pengakuan bersalah? Jika anak saya yakin dia tidak bersalah, mengapa saya seakan memaksa dia untuk mengaku bersalah? Bukankah hal ini melanggar prinsip yang saya ajarkan?

Persoalan lain, dengan keputusan saya itu, sang pengendara sepeda motor tidak akan belajar dari kesalahannya. Ujung-ujungnya dia tetap tidak akan berhati-hati karena berpikir akan ada yang mengganti biaya pengobatan dan kerusakan sepeda motornya.

Dalam banyak kejadian seperti itu, hati saya memang mendua. Antara akal dan hati berbeda. Akal saya mengatakan pengemudi sepeda motor yang ugal-ugalan seperti itu harus mendapat pelajaran. Tetapi hati saya tidak tega membayangkan beban yang harus dipikul sang pengendara sepeda motor tersebut.

Boleh jadi semua itu karena saya pernah mengalami trauma dalam urusan tabrakan lalu lintas. Sewaktu kecil, saat duduk di bangku kelas dua SD, saya pernah ditabrak mobil hingga terlempar masuk ke tempat sampah. Sang pengemudi melarikan diri. Tetapi untung di belakang mobil tersebut ada seorang anggota TNI AL yang melihat dan mengejar mobil tersebut.

Singkatnya, sang perwira Angkatan Laut itu berhasil “memaksa” pengemudi yang menabrak saya untuk membayar semua biaya perawatan kaki saya yang bengkak dan mengalami retak di bagian tempurung.

Tetapi, cuma sekali itu dia datang membawa obat-obatan. Setelah itu sang pengemudi menghilang tak pernah kembali. Tinggalah ibu saya yang harus menanggung beban karena harus meneruskan perawatan kaki saya. Padahal waktu itu kehidupan kami pas-pasan. Waktu itu sebagai orangtua tunggal, ibu harus membanting tulang untuk menghidupi kami sekeluarga dengan menjahit.

Pengalaman masa kecil itu rupanya terus membayang-bayangi kehidupan saya. Saya marah setiap mengingat kejadian itu. Marah pada pengemudi mobil yang menabrak saya dan meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja. Meninggalkan ibu saya yang harus menanggung beban pengobatan. Mungkin di alam bawah sadar, saya tidak ingin apa yang saya alami, terjadi pada orang lain.

Maka, ketika saya dihadapkan pada kasus tabrakan yang saya alami dan yang terjadi pada anak saya, persoalan salah dan benar bukan persoalan utama lagi. Saya tidak ingin akal mengalahkan hati saya. Jika harus memilih, saya memilih kata hati. Sebab saya tidak ingin apa yang saya alami ketika kecil dulu, terjadi pada orang lain.


Kick Andy

Baca selengkapnya...

Rabu, 16 Juni 2010

Harapan & Kewajaran

Alkisah, seorang Biksu muda ditugaskan mengurus sebuah vihara tua. Letaknya terpencil di puncak gunung. Biksu muda itu merasa sangat gembira. Ia memang sedang sangat bersemangat. Membangun kembali vihara yang sudah usang merupakan kesempatan baik untuk membuktikan bahwa ia mampu mengurus sesuatu dengan baik. Ia mencurahkan segenap usahanya sehingga vihara itu kelak akan menjadi vihara yang sempurna, sesuai dengan idealismenya.

Di vihara tersebut juga tinggal seorang biksu tua. Biksu itu sudah sangat tua sehingga ia tidak lagi mengajar, dan hanya melewatkan waktunya dengan meditasi dan hidup penuh ketenangan. Wajarlah biksu muda itu pun membantu mengurus segala keperluan biksu tua. Mempersiapkan makanan dan lain-lain.

Suatu hari, ada berita bahwa guru biksu muda itu akan berkunjung ke vihara tersebut, bersama teman-teman biksu muda itu dari vihara yang dulu ditempatinya. Tentu mereka semua akan datang meninjau, sampai sejauh mana keberhasilan biksu muda melaksanakan tugasnya.

Sejak pagi biksu muda sudah bersiap menyambut rombongan gurunya. Semua sudut dibersihkannya dengan baik dan rapi. Ia ingin membuktikan kepada guru dan teman-temannya, bahwa ia mampu melaksanakan tugasnya.

Malam sebelumnya angin bertiup kencang sekali. Halaman vihara penuh dengan tumpukan daun yang berserakan dari pohon besar yang ada di tengah taman. Biksu muda menyapu dengan giat dan penuh semangat. Semua daun dikumpulkan, dimasukkan ke dalam tempat sampah dan diangkut lalu dibuang. Seluruh kegiatannya diperhatikan dengan cermat oleh biksu tua dari teras kamarnya.

Setelah selesai bekerja keras dan membersihkan semua, biksu muda menengok ke arah biksu tua dan menanyakan komentarnya.

"Bagus, bagus!" kata biksu tua itu. "Hanya tinggal satu lagi yang harus dilakukan supaya benar-benar sempurna."

Biksu muda itu bingung. Rasanya ia telah melakukan semuanya dengan baik dan benar.

"Tuntun saya ke halaman. Nanti saya tunjukkan." lanjut biksu tua itu.

Dengan sedikit ragu dan tidak mengerti biksu muda itu menuntun biksu tua ke halaman. Namun ia juga sudah cukup lama mengenal biksu tua itu sehingga ia yakin ada sesuatu yang tidak terduga yang akan dialaminya.

Biksu tua itu langsung menuju pohon dan dengan segenap sisa tenaganya yang rapuh, mengoyang-goyangkan pohon. Daun-daun berjatuhan, kembali berserakan di setiap jengkal halaman.

Tidak ada waktu lagi untuk membersihkannya karena ternyata rombongan guru biksu muda itu sudah tepat tiba di gerbang vihara.

Biksu tua itu berkata dengan puas : "Nah, sekarang segalanya sempurna!"

Kita semua mempunyai persepsi sendiri tentang kesempurnaan. Kita membawa gagasan sendiri tentang apa yang "seharusnya". Kita menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengatur agar keadaan menjadi "sesuai" dengan keinginan kita.

Kita ingin mengatur segalanya. Keluarga, teman-teman, rekan sekerja, umat se-vihara. Kita mengira bahwa kalau semua sesuai dengan "harapan" kita, kita akan bahagia.
Gagasan kesempurnaan terus menerus menghadapkan kita dengan kenyataan kehidupan.

Gagasan itu, harus kita sadari, hanyalah gagasan. Sebuah konsep yang bukan hanya tidak selalu bisa diterapkan "sebagai mana mestinya" karena hidup nyatanya selalu berubah. Bahkan gagasan kita sendiri atas "kesempurnaan" itu pun mungkin berubah seiring bertambahnya usia kita.

Bahagia mulai dan berakhir dalam diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat memberikannya kepada kita, tidak ada yang dapat mengambilnya dari kita. Kalau kita bergantung pada suatu keadaan tertentu untuk bahagia, maka kita bisa kehilangan kebahagiaan itu.

Tidak perlu ngotot menciptakan suatu dunia yang segalanya sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai "seharusnya". Berdamailah dengan segala sesuatu apa adanya.

Daun jatuh dari pohon? Tidak masalah.

Melihat daun jatuh dan berharap jangan ada daun di taman, menimbulkan masalah.

Orang lain boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat kita, bukan masalah.

Ge-er merasa bahwa kita harus membuat mereka setuju, itu menyebabkan masalah.


~Higher Than Happiness~

Baca selengkapnya...

Minggu, 30 Mei 2010

Rahasia Ketangguhan Pemimpin

Baru-baru ini ada seorang Menteri yang dikenal berintegritas mundur dari Kabinet Indonesia Bersatu. Banyak yang mengaguminya sebagai pemimpin langka di negeri ini. Sebagian lain menyayangkan keputusan itu, meski sebagian lain memafhuminya, namun ada pula yang mencibirnya.

Tak apa. Keputusan seseorang tidak mungkin memuaskan semua pihak. Tugas utama pemimpin adalah mengambil keputusan yang disertai keyakinannya, selain ia juga mampu berkomunikasi dan membangun tim efektif. Sejarah yang akan menguji keputusan sang Menteri itu kelak.

Setelah mundur, sang Menteri mencurahkan isi hatinya pada sebuah forum seminar yang diliput media luas. Menurut media, alasan utama pengunduran dirinya lantaran ia merasa tidak diterima lagi oleh sistem dan lingkungan politik negeri ini.

Pendek kata, boleh jadi menurutnya sistem dan lingkungan politik negeri ini "buruk" atau ia merasa bila situasi di negeri ini bukan lagi "pertarungannya", melainkan tanggungjawab pemimpin yang lebih tinggi lagi, wallahu'alam.

Seandainya ada kesempatan menyampaikan saran, alangkah bijaknya bila beliau dapat menahan diri agar "suhu" politik mendingin, sebab hal yang baik bila disampaikan pada waktu yang tidak tepat, dapat menjadi bahan perdebatan yang belum tentu produktif.

Sungguhpun demikian, alangkah bijaknya pula bila kita dapat mengormati keputusan dan pandangannya itu. Rekam jejaknya yang berani mengambil keputusan dengan asumsi yang dipahaminya adalah kisah tentang contoh pengambilan keputusan pemimpin sejati pada situasi lingkungan finansial global yang tak dapat diduga.

Keputusannya untuk menyelamatkan sebuah bank kecil yang ditujukan untuk menghindari dampak buruk yang lebih besar, sehingga belakangan ekonomi negeri ini kini membaik memang menjadi bahan perdebatan apakah berdampak sistemik atau tidak.

Perdebatan itu entah sampai kapan akan berakhir. Para politisi dan ekonom pun berbeda pendapat, meskipun Perbanas dan para bankir membenarkan keputusan sang Menteri.

Saya tak bermaksud mengulas lebih jauh keputusan sang Menteri itu. Kisah ini mengingatkan saya pada kisah-kisah para pemimpin tangguh, yang mampu membuat perbedaan, tanpa bermaksud membuat perbandingan dengan sang Menteri. Rakyat lah yang akan menilai. Sebab mereka punya hati dan pikirannya sendiri.

Seorang teman berujar, ada kebebasan memilih untuk bersikap dan bertindak, ada pilihan atau keputusan sulit yang harus diambil, dan tentu saja ada risiko yang harus ditanggung setelahnya. Setiap orang bebas meletakkan dirinya dalam sejarah.

Para pakar kepemimpinan mengajak kita untuk tetap memiliki imaginasi yang baik meski boleh jadi kita hidup pada lingkungan buruk.

Imaginasi baik yang disertai ikhtiar dan disiplin untuk melakukan yang terbaik, disertai pada kayakinan pada pertolongan Sang Maha Kuasa adalah kunci sukses yang sering kita dengar tentang kisah para pemimpin besar.

Seseorang yang melakukan sesuatu yang disertai imaginasi kebaikan akan menjadikan dirinya sebagai pribadi yang menempatkan sistem atau lingkungan sekitar sebagai bagian dari pendukung misi hidupnya, "seburuk" apapun lingkungan itu.

Lingkungan yang "buruk" itu sejatinya adalah medan latihan penempaan lahirnya pemimpin yang lebih tangguh.

Kisah-kisah keberhasilan pemimpin tangguh sering melintasi sekat ruang dan waktu, bahkan agama dan keyakinan sekalipun. Sebagai contoh, kepemimpinan Muhammad Yunus menjadi inspirasi dimana-mana. Budi pekerti Bunda Teresa juga telah menjadi pelajaran tentang kekuatan niat baik dan dahsyatnya pelayanan. Demikian pula, Mahatma Gandhi dikagumi dimana-mana.

Konsep Ketuhanan yang berbeda dalam berbagai agama yang diyakini para penganutnya hendaknya tidak membatasi kita untuk berbagi pelajaran tentang rahasia keberhasilan kepemimpinan yang tangguh, bukan?

Sebagai seorang Muslim, tentu saya meyakini bila Sang Maha Kuasa senantiasa memberikan hamba-Nya untuk berkesempatan memilih dan mengubah keadaan yang dihadapinya. Dia Maha Tahu akan kemampuan makhluk paling sempurna ciptaan-Nya untuk dapat melakukan pilihan-pilihan terpuji di hadapan-Nya.

Ibarat sebuah pagelaran musik berkelas dunia, kreasi dan stamina manusia terpuji itu semakin kuat dalam dalam mengatur irama atau lagu yang diinginkannya.

Ia adalah manusia merdeka, lantaran sikap dan tindakannya tidak disandera oleh kondisi lingkungan sekitarnya.

Bagaikan seorang maestro, ia mampu mengkonfigurasikan kombinasi semua alat musik dan pemain-pemain yang tersedia menjadi persembahan yang tetap indah di hadapan siapapun yang mendengarkannya.

Tentunya, ia pun punya pilihan lain untuk menyerah atau berhenti memimpin pagelaran itu, lantaran sebagian alat musik dan kualifikasi pemain-pemainnya tidak seperti yang ia harapkan.

Namun, ia tidak melakukan hal itu, sebab ia yakin, situasi yang dihadapinya telah disediakan oleh sang pemilik hajat pagelaran musik, yang tahu kemampuan sang maestro itu.

Sahabatku yang baik, ilustrasi pagelaran musik itu adalah tentang kehidupan kita. Kehidupan yang kita hadapi adalah rangkaian situasi yang hadir di hadapan kita, meski boleh jadi kita sering tidak mengharapkannya.

Meski kita tidak punya kebebasan sepenuhnya memilih situasi yang dihadapi, bukankah kita punya kebebasan untuk merespon atau bersikap atas situasi yang kita hadapi itu, bukan?.

Sang Maha Kuasa lebih tahu kemampuan manusia ciptaan-Nya, bila memilih tindakan sebagai manusia terpuji.

Saat kita berdoa dengan sepenuh hati agar dijauhkan dari semua masalah, seringkali justru masalah datang, yang membuat kita makin tangguh lantaran kita mampu mengatasinya, bukan?

Kekuatan Keyakinan

Kekuatan keyakinan adalah harta tak ternilai yang kita miliki.

Mengapa bila kita yakin bisa melakukan sesuatu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, biasanya kemudahan dan berbagai "kebetulan" terjadi? Demikian sebaliknya, bukan?.

Secara sains, ahli fisika, Prof. Yohannes Surya, membuktikan hal itu. Berbagai keberhasilan para siswa-siswi Indonesia meraih juara Olimpiade Sains dan Matematika beberapa tahun ini dapat dijelaskan dari perspektif ilmu fisika.

Ketika impian membawa nama baik negeri, kesungguh-sungguhan, disiplin, pikiran positif dan totalitas bertemu, maka secara fisika, semua lingkungan serentak memberikan "kemudahan" dan menjadi energi besar yang mendukung keberhasilan proyek kemanusiaan itu. Ia menyebutnya sebagai gerakan Semesta Mendukung atau "Mestakung".

Dalam sebuah perbincangan dengan Prof. Yohannes Surya pada awal tahun 2008, saya memperoleh gambaran menarik bahwa persiapan, pengiriman dan pelaksanaan beberapa tim Olimpiade yang dipimpinnnya tidak difasilitasi oleh ketersediaan sumberdaya dan logistik yang melimpah.

Malah menurutnya, kesiapan sumberdaya dan logistik sering terpenuhi secara minimal pada saat-saat terakhir menjelang keberangkatan.

Prof. Yohannes Surya dan rekan-rekan selain menggalang dukungan Pemerintah, juga para sponsor dan dukungan perorangan yang peduli tentang kualitas dan prestasi anak bangsanya.

Menurutnya, memang tidak mudah melakukan ikhtiar itu, namun ia punya keyakinan kuat bila gerakan kebaikan ini akan sampai pada tujuannya. Selain terus memompa semangat diri dan timnya, ia juga terus mempompa semangat para siswa-siswinya.

Mereka semua memiliki kepribadian kuat sembari terus membangun jejaring dukungan.

Kisah keberhasilan Tim Olimpiade ini membuktikan bahwa manusia sejatinya memiliki kekuatan yang luar biasa bila ia memiliki kepribadian yang kuat yang dibangun atas imaginasinya tentang kebaikan pada masa depan, disiplin, ketekunan, prasangka positif dan senantiasa terbuka untuk terus mengasah kemampuan setiap hari.

Dengan kekuatan kepribadian itu, maka lingkungan buruk apapun, sekali lagi, adalah medan latihan dan penempaan diri.

Kisah luar biasa ini sesungguhnya adalah pengulangan atas berbagai sejarah masa lalu.

Ketangguhan Pemimpin Masa Lalu
Pada masa lalu banyak tokoh perubahan mampu mengubah keadaan buruk untuk menjadi karya yang menyejarah.

Sejarah keberhasilan negeri ini menjadi pelaku utama perlawanan negara-negara terjajah terhadap kolonialisme (1945-1955) juga membuktikan hal itu. Kita sering melupakannya.

Setelah Konperensi Asia-Afrika yang digagas Indonesia pada tahun 1955 di Bandung, makin banyak negara-negara terjajah memerdekakan diri. Konperensi itu telah menjadi inspirasi besar bagai bangsa-bangsa lain.

Seokarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Agus Salim dan para pendiri Republik lainnya adalah para manusia biasa yang memiliki kekuatan keyakinan dan tindakan-tindakan yang luar biasa.

Kekuatan kepribadian juga telah membuktikan dahsyatnya perlawanan Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dhien, Teuku Umar, Pattimura, Kyai Maja, Sultan Hasanudin, Maulana Yusuf dan para Pahlawan Nasional kita lainnya terhadap penjajah Belanda pada masa lalu, melalui kemampuannya menggalang dukungan Rakyat yang dipimpinnya.

Maukah kita belajar dari para pemimpin besar itu? Jangan lupakan sejarah, atau "jas merah" kata Seokarno pada tahun 1967.

Kisah paling fenomenal bagi saya adalah ketangguhan kepribadian seorang pribadi mempesona, Nabi Muhammad SAW. Kekuatan kepribadiannya mampu membekalinya untuk mengatasi berbagai situasi buruk yang dihadapinya pada empat belas abad silam.

Kekuatan kepribadian itu bahkan dipupuk sejak sebelum Beliau diangkat jadi Rasul pada usia 40 tahun.

Sejak muda, rekam jekaknya adalah manusia terpercaya, Al Amien. Siapapun yang berbisnis dengannya merasa mendapat pelayanan terbaik.

Keunikan sekaligus kelebihannya dalam berbisnis ialah ia senantisa menguraikan lengkap kelebihan dan kekurangan produk yang dibawanya, disertai kesantunannya dalam berbisnis.

Semua perilaku itu telah teruji telah menjadikannya sebagai manusia yang dikagumi (the most admired business person) oleh siapa saja pada masa itu.

Demikian mempesonanya, para investor yang berasal dari kaum Nasrani dan Yahudi justru memintanya untuk mengelola bisnis mereka.

Muhammad SAW sejak muda terus memupuk karakternya sebagai pribadi yang jujur (shidiq), amanah (mampu menjaga kepercayaan), fathonah (memiliki kompetensi unggul) dan tabligh (kuat bersilaturahmi).

Dengan bekal kepribadian yang kuat itu, Nabi Muhammad SAW mampu menghadapi berbagai lingkungan buruk yang dihadapainya.

Kisah perlakukan buruk warga Taif dan Suku Quraisy adalah latihan yang menempa pribadi Muhammad SAW yang justru semakin kuat dan pejal.

Sahabatku yang baik, sekali lagi, tulisan ini tidak untuk membandingkan kisah-kisah besar masa silam dengan saat ini. Namun, tak ada salahnya bukan kita belajar terus dari sejarah dan kisah masa silam ini agar dapat menjadi sumber kearifan bagi kita untuk menjadi para pemimpin tangguh, lantaran sejarah terus berulang?

Saya selalu ingat kata-kata bijak "nahkoda hebat selalu terlatih dari kemampuannya mengatasi berbagai badai yang ganas".

Komitmen untuk menegakkan kejujuran, keadilan, ketekunan, keberanian, membangun kompetensi, melakukan pelayanan terbaik, menjaga kepercayaan teman atau mitra, serta menjaga silaturahmi adalah nilai-nilai yang sejatinya dapat memperkuat kekuatan kepribadian kita sebagai manusia merdeka, bukan?

Sebab dengan bekal semua kekuatan itu, semua badai yang datang justru menjadi kesempatan untuk menempa kualitas kepemimpinan diri kita agar terus naik kelas, bukan? Wallahu'lam.

Ahmad Mukhlis Yusuf

Baca selengkapnya...

Sabtu, 29 Mei 2010

Mencoba Berpisah dari Sri Mulyani

Malam itu kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani.

Saya katakan "mencoba". Sebab sering kali, dan terutama malam ini, kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan "halo", tapi tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan "selamat berpisah".

Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti "berpisah".

Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke Washington, DC, untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu tak berarti ia akan berpisah dari kita di Tanah Air. Tentu saja ia akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita-bukan "kita" sebagai teman-temannya, melainkan "kita" sebagai bagian dari "Indonesia". Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa melupakan dia.

Lagi pula, "berpisah" mengandung kesedihan, sementara peristiwa ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. Satu hal yang bisa dimaklumi.

Sebab, sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik. Yang saya maksud dengan "premanisme" di sini tak jauh berbeda dengan ke-brutal-an yang kita saksikan di jalan-jalan-sebuah metode yang dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi.

Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.

Mula-mula gangguan terus-menerus, yang makin lama makin meningkat. Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase berikutnya adalah sebuah tawaran untuk "berdamai" kepada pihak yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang diganggu akan selanjutnya diproteksi.

Sudah tentu, antara sang pengganggu dan sang protektor (yang kadang-kadang bersikap manis dan santun) ada kerja sama. Bahkan bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para pengganggu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang dipertaruhkan-dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan didapat.

Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya posisi kekuasaan.

Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang harus diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politikus Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti-Sri Mulyani (dan Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang berisik dan agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan. Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil presiden.

Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah asset menjadi sebuah liability bagi pemerintahan SBY. Ia tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden, yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis energi karena direcoki terus-menerus.

Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah. Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan yang lebih besar setelah itu. Dan akhirnya kita menyaksikan, perecokan dan keberisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas tampak terjamin. Presiden lega.

Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Tapi tak kalah penting, ia meninggalkan jabatannya tanpa cacat. Bahkan seperti diucapkannya dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap "tak bisa didikte" hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan kehormatan dirinya.

Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan pelepasan yang rela dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi dan kagumi.

Tapi saya akan berbohong jika mengatakan perpisahan ini bebas dari rasa risau.

Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng, terguncang-harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih. Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.

Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum, dan media dalam demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli keputusan-bagian yang paling gawat dalam koreng atau kanker besar yang bernama "korupsi" itu?

Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap suci-yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui reformasi birokrasi, melalui pemberantasan korupsi. Semula kita punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan. Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih sekuat dulu.

Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun persoalannya, masih mampukah dia?

Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya bekerja. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah Menteri Keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan aparatnya-sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang mungkin baru akan selesai satu-dua generasi lagi.

Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan Menteri Keuangan yang tangguh ini.

Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya dianggap indispensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan sendirinya seorang yang lemah.

Tapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik yang bersih, Presiden SBY harus melipatgandakan ikhtiar. KPK yang kuat harus didukung dengan jelas, perlawanan terhadap Mafia Pengadilan harus lebih diefektifkan, polisi dan kejaksaan dibersihkan, dan tak kurang penting: legislasi dan regulasi yang tidak kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan yang korup.

Tapi mungkinkah hal itu dapat terlaksana sekarang?

Kini politikus Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh; mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi pemerintah.

Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politikus Senayan-terutama para pencari dan penadah suap-mencoba membuat KPK lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.

Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan kelompok bisnis tertentu-ketika Aburizal Bakrie, tokoh bisnis, politik, dan penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat kabinet dan DPR sekaligus.

Di depan kekuatan seperti itu, akan bisa tumbuh kesan kroniisme kembali lagi, seperti di zaman Orde Baru dulu. Di depan kroniisme, parang yang akan membabat korupsi akan tumpul.

Sesuatu yang serius akan terjadi jika pemerintahan SBY-Boediono gagal menjawab rasa keraguan yang saya sebut di atas. Yang akan terjadi adalah hilangnya sebuah momentum-yakni momentum gerakan nasional melawan korupsi. Pada hemat saya, gerakan ini adalah panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.

Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi. Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang tak habis-habis.

Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6 persen atau 7 persen. Tapi akan ada sesuatu yang mungkin tak bisa diperbaiki lagi-yakni terkikisnya "modal sosial", runtuhnya sikap saling percaya dalam masyarakat.

Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan sinisme-dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.

Sinisme ini racun-dan terkikisnya "modal sosial" akan membuat sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.

Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan.

Sejarah Indonesia menunjukkan, harapan adalah sesuatu yang sulit, tapi tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan optimisme yang pendek. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat terguncang.

Sementara itu, makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh; tapi kita merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah-dan dalam pengertian saya, sebuah amanah adalah tugas takdir dan sejarah. Dengan kata lain, kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia. Selama kita ada.

Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan penegasan komitmen itu. "Jangan berhenti mencintai Indonesia," itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat Kementerian Keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.

Kata-kata itu hidup, karena ia dihidupkan oleh perbuatan dan pengorbanan. Dan kita mendengarkannya. Maka pada titik ini baiklah kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam ini kita ucapkan "selamat jalan", kita sekaligus juga mengucapkan: "You shall return."


Goenawan Mohamad

Baca selengkapnya...

Kamis, 27 Mei 2010

Konferensi Agung Sangha Indonesia Detik Waisak 06.07.23 WIB

Detik Waisak 2554 BE/2010 akan diperingati oleh umat Buddha hari Jumat (28/5/2010) pada pukul 06.07.23 WIB. Umat Buddha dari Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) akan merayakannya di Candi Mendut, sedangkan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) akan merayakannya di Candi Borobudur.

Ribuan umat Buddha akan memadati dua lokasi tersebut. Di Candi Borobudur akan hadir pula sekitar 200 biksu asing dari berbagai negara, antara lain Thailand, Taiwan, China, Singapura, Inggris, dan Australia.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Provinsi Jawa Tengah David Hermanjaya mengatakan, khusus untuk Thailand, dari jumlah biksu yang sebelumnya direncanakan datang 150 orang, pada hari Waisak besok,hanya akan datang 30 orang. "Sekitar 120 biksu tidak dapat datang karena kondisi negara yang tidak memungkinkan dengan adanya kerusuhan politik," ujarnya.


Regina Rukmorini - Kompas

Baca selengkapnya...

Kembali pada "Karuna"

Peringatan dan perayaan Waisak 2554 tahun ini dirayakan umat Buddha Indonesia di tengah-tengah situasi bangsa yang dilanda berbagai persoalan politik, ekonomi, terorisme, dan permasalahan korupsi yang dilakukan oleh para oknum pemangku pemerintahan, mulai dari level bawah sampai atas yang melakukan perampokan dan perampasan harta rakyat.

Slogan pembangunan manusia seutuhnya tidak lebih dari sekadar pemanis bibir belaka. Padahal, sesungguhnya, apabila rusak moral dan akhlaknya, maka rusaklah bangsa ini.

Setiap tahun di bulan Waisak umat Buddha di seluruh penjuru dunia merayakan tiga peristiwa istimewa yang terjadi pada manusia agung Buddha Gau- tama. Tahun 623 sebelum Masehi di Taman Lumbini atau Rummindei, Sidharta lahir. Tahun 588 sebelum Masehi, Sidharta mencapai keterbangunan nurani secara paripurna, kemudian pada tahun 543 sebelum Masehi beliau wafat di hutan Sala milik suku Malla, Kusinara.

Peristiwa agung yang terjadi pada bulan Waisak tersebut merupakan sebuah rangkaian kehidupan yang penuh dengan totalitas dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.

Realisasi spiritualitas keterbangunan nurani Sidharta bukanlah suatu capaian yang berangkat dari ketakutan atau penolakan sepihak terhadap penderitaan pribadi ataupun yang bersifat kebetulan karena sudah dipilih dan ditakdirkan, melainkan berangkat dari observasi langsung terhadap realitas kehidupan diiringi kepedulian terhadap derita semua agregat kehidupan, yang kemudian diperjuangkan dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah.

Pola perjuangan Sidharta adalah dengan menggunakan seluruh potensi fisik dan mental dalam proporsi yang seimbang, bukan dengan membaca aksara-aksara suci yang terkodifikasi dalam kitab-kitab sehingga menghasilkan realisasi yang hidup, riil, dan berlaku universal.

Dalam tataran yang sederhana, keistimewaan kebangkitan nurani spiritual Sidharta yang kemudian disebut sebagai Buddha pada dasarnya merupakan suatu realisasi dengan mengikuti kata hati yang sama manusiawinya dengan yang kita miliki, kadang juga hati yang sama rapuhnya.

Konsistensi Sidharta dalam memilih, bersikap, bertindak dalam bingkai spiritualitas hati yang jernih dalam menghadapi setiap kondisi berbeda dengan kita yang cenderung mengabaikan suara nurani terutama ketika dihadapkan pada suasana untung-rugi, pujian-celaan, bahagia-menderita, dan berbagai kondisi dualisme hidup lainnya.

Merenungkan realisasi Sidharta tersebut, kebangkitan bukanlah monopoli milik-Nya dan juga bukan sesuatu yang di luar potensi manusia, tetapi dalam diri manusia terdapat potensi spiritual tersembunyi yang luar biasa (buddhata) sehingga yang harus kita lakukan adalah mengembangkan dan membuka kemungkinan-kemungkinannya.

Nurani dan spiritualitas Buddha memiliki keseimbangan dua sayap utama yang saling melengkapi, yakni karakter bijaksana (prajna) dan karakter kepedulian atau belas kasih (karuna). Kasih tanpa diiringi kebijaksanaan bukanlah kasih yang sesungguhnya, demikian juga kebijaksanaan tanpa kasih atau kepedulian hanyalah kebijaksanaan semu.

Mengembangkan keduanya secara sinergi adalah cara terbaik menghormati Buddha daripada sekadar merayakan peristiwa-peristiwa hidup-Nya dalam ingar-bingar upacara megah, tetapi minus pemahaman substansial.

Karakter bijak dan penuh kepedulian terhadap derita makhluk lain merupakan denyut nadi spiritualitas yang sesungguhnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dua karakter ini merupakan modal dasar untuk membentuk masyarakat, bangsa dan negara yang maju, harmonis, bermartabat.

Prestasi apa pun yang telah dimiliki masyarakat suatu bangsa akan mudah hancur jika dua karakter ini absen dari khazanah kehidupan berbangsa atau hanya sekadar didiskusikan dalam tataran idealisme akademis ataupun teologis.

Kurangnya kepedulian terhadap sesama adalah awal dari tindakan mementingkan diri sendiri, memakmurkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri dengan cara apa pun yang pada titik ekstremnya termanifestasikan dalam tindakan mencuri, korupsi, menggunakan wewenang secara salah sehingga dapat meluluhlantakkan derap langkah pembangunan bangsa.

Jika latihan spiritual kita semakin dalam, menekankan pada kebijaksanaan dan belas kasih, kita akan berkali-kali berjumpa dengan penderitaan makhluk hidup lain dan kita akan memiliki kemampuan untuk mengenalinya, menanggapinya, dan merasakan belas kasih mendalam, alih-alih perasaan apatis atau tak berdaya.

Di tengah berbagai masalah yang dihadapi, bangsa ini sebenarnya masih sangat banyak menyisakan harapan dan potensi besar untuk cerah, bangkit, dan tampil sebagai garda terdepan dalam kancah taman sari pergaulan internasional.

Memang tidak ada satu atau dua formula utama yang dapat dijadikan sebagai solusi tunggal, yang diperlukan adalah jalinan ikatan tulus bagi setiap anak bangsa untuk membantu membangkitkannya.

Seiring dengan momentum Waisak ini, umat Buddha Indonesia seyogianya membantu memberikan kontribusi positif bagi upaya bersama membangkitkan kemajuan bangsa dan negara melalui internalisasi nilai-nilai spiritualitas dasar kebuddhaan, yakni kepedulian (karuna) dan kejernihan atau kebijaksanaan (prajna) dalam bingkai keindonesiaan.

Kesadaran berkontribusi adalah kunci bagi tumbuhnya kreativitas hidup untuk terus berkarya bagi bangsa sebagaimana dipesankan Buddha, manusia yang tak mau berkarya dan berkontribusi dalam menjalani kehidupannya adalah ciri nyata kemunduran derajat manusia.


Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum Sangha Agung Indonesia, Pembina Majelis Buddhayana Indonesia

Baca selengkapnya...

Jumat, 07 Mei 2010

Belajar Kungfu

Pada suatu ketika, ada seorang pemuda menemui seorang guru Kungfu. Guru tersebut kemudian menanyakan tujuan kedatangan pemuda itu. Dengan sopan pemuda itu menjawab, “Saya ingin belajar Kungfu, menjadi murid Guru.”

“Kelak, saya ingin menjadi guru Kungfu yang hebat dan disegani di negeri ini,” lanjut pemuda itu.
“Bagus. Keinginanmu cukup bagus,” puji sang guru.
Kemudian pemuda itu memberanikan diri untuk bertanya, “Maaf Guru, kalau boleh saya bertanya. Berapa lamakah waktu yang akan saya butuhkan untuk menjadi seorang guru kungfu yang paling hebat di negeri ini?”.
“Sekurang-kurangnya 10 tahun,” jawab sang guru singkat.
“Sepuluh tahun? Bukankah itu terlalu lama, Guru? Bagaimana jika saya melipatgandakan usaha saya? Berapa lama waktu yang akan saya butuhkan?” tanya sang pemuda gelisah.
Sang guru tidak segera menjawab. Ia menatap pemuda itu. Lalu dengan dengan tegas berkata, “Dua puluh tahun!”

Pemuda itu terhenyak oleh jawaban sang guru. “Lalu, kalau saya berlatih siang malam dan tidak istirahat, berapa lama waktu yang dibutuhkan?” desak pemuda itu.
Dengan cepat dan singkat, sang guru menjawab, “Tiga puluh tahun!”
Ia ingin bertanya sekali lagi, berharap jawaban sang guru kali ini dapat memuaskan hatinya.
“Kenapa saya lebih rajin, waktu yang dibutuhkan lebih lama ?” tanya pemuda sangat ingin tahu.
“Jika suatu pekerjaan dikerjakan dengan terburu-buru, maka pekerjaan itu tidak akan pernah dapat diselesaikan dengan baik. Sama, jika kamu terburu-buru ingin menguasai jurus-jurus kungfu yang hebat lalu menjadi guru kungfu yang luar biasa, maka kamu juga tidak akan pernah mencapai semua itu. Sangat masuk akal bukan?” jelas sang guru.

Pesan :
Suatu prestasi atau hasil yang istimewa memerlukan proses yang tidak selalu mudah dan cepat. Vincent Van Gogh menjelaskan, “Pencapaian yang hebat bukan dilakukan dengan dorongan kuat semata-mata, tetapi adalah gabungan seri langkah-langkah yang kecil.” Proses mencapai semua itu bukan hanya memerlukan upaya yang keras, diperlukan pula standar sikap, kompetensi, keimanan, serta visi sesuai dengan hasil yang diinginkan.
Bila ingin mendapatkan hasil yang lebih baik, maka kualitas sikap, kompetensi, keimanan kuat, serta visi juga harus jauh lebih baik. Hasil yang lebih besar harus didahului oleh peningkatan kualitas kelima faktor seperti yang disebutkan tadi. Artinya, sejalan dengan proses itu sendiri, kualitas sikap, kompetensi, keimanan, serta visi akan mengikuti standar hasil yang ingin dicapai.
Semakin tinggi kesabaran dan komitmen untuk mengikuti setiap tahap prosesnya, maka hasil yang diperoleh juga akan semakin istimewa. “Dari pengamatan riwayat tokoh-tokoh sukses di dunia ini, kita mendapatkan bahwa mereka mengalami ujian dan tantangan yang besar baru bisa berhasil. Sebelum sebuah tugas yang berat diberikan, kita akan selalu diuji dengan berbagai cara,” terang Dr. Napoleon Hill. Maka ciptakan impian sekaligus melengkapinya dengan komitmen dan kesabaran mengikuti prosesnya, untuk sekedar memastikan Andapun bisa mencapai prestasi yang teristimewa.

Baca selengkapnya...

Sri Mulyani dan Estetika

Boleh-boleh saja salah satu pentolan total football Johan Cruyff - selain Rinus Michels dan Frank Rijkaard - sejak era 1970-an mengerek panji estetika sepak bola, bahwa sepak bola intipatinya adalah chaos yang dikejar, diperebutkan, dikuasai dan dikontrol agar berbuah gol.

Keadaan chaos dijauhi manusia, karena manusia tidak ingin didekap alunan musik berirama dan serba teratur.

Di mata punggawa Belanda, chaos dihadapi, kalau perlu diciptakan, sebab dengan begitu chaos bisa dikuasai dan dikontrol.

Publik penggila bola pun berdecak kagum seraya berkata, "inilah sepak bola buah karya rasionalitas".

Semuanya diabdikan kepada Yang Indah dengan huruf besar. Boleh dibilang sepak bola Belanda menggarap realita lapangan yang chaotic dengan menyuguhkan ritme permainan dengan mengedepankan fantasi yang mengobarkan rasa keindahan.

Yang Indah, artinya mau bertanya mengenai apa yang dinamai dan dialami sebagai yang indah. Inilah yang disebut sebagai estetika sepak bola. Dan Sri Mulyani Indrawati menerapkan tiga rumus dasar estetika.

Bagi Mbak Ani - sapaan akrab Sri Mulyani - keindahan adalah tata harmoni dalam segala sesuatu yang terukur, merujuk kepada filsuf Plato dan Thomas Aquinas.

Kedua, keindahan merupakan kontemplasi dari Sang Indah dengan huruf besar yang mengacu kepada filsuf Plato, Plotinos dan Agustinus.

Ketiga, keindahan ditemukan dalam pengalaman manusia dengan mengarah kepada pendapat Aristoteles dan Thomas Aquinas.

Setelah menjalankan kontemplasi dalam hitungan hari demi hari, menyikapi sorot kasus bailout Bank Century bertubi-tubi, bahkan disebut-sebut sebagai pejabat yang bertanggungjawab atas kebijakan itu, Sri Mulyani memilih melakoni tata harmoni dalam menjalankan laga kehidupan.

Ia memerankan estetika sepak bola dengan mengusung Yang Indah, karena ia memahami untuk memaknai "yang chaotic".

Lihat saja penampilannya yang boleh dibilang indah ketika memasuki lift saat tiba di Kantor Kementrian Keuangan, Jakarta, Rabu (5/8).

Mengenakan busana lengan panjang dan rok selutut, ia melipat kedua tangannya dan meletakannya di badan.

Bahasa tubuh ekpresif yang ingin mengatakan hukum besi dari estetika bahwa seni bukanlah semata benda, tetapi kata.

Ya, estetika adalah kata, karena itu nilai adalah sesuatu yang bersifat subyektif, terpulang kepada manusia yang menilainya.

Ketika estetika dibaca oleh Sri Mulyani, maka setiap orang, setiap kelompok, setiap masyarakat memiliki nilai-nilainya sendiri yang disebut sebagai seni.

Puncak dari makna estetika itu, Bank Dunia memberi pernyataan bahwa ia ditunjuk menjadi Direktur Pelaksana Grup Bank Dunia mulai 1 Juni 2010.

Bagaimana tidak bermakna estetis dan bernuansa ekspresif? Paling tidak ada dua momen yang membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh ingin mengurai segala peristiwa yang chaotic seputar kasus Century.

Pada 30 November 2009, ia berinisiatif memberikan keterangan kepada KPK terkait kasus Bank Century di Kantor Kementrian Keuangan.

Pada 11 Desember 2009, untuk kali kedua ia berinisiatif memberikan keterangan kepada KPK di Kantor Kementrian Keuangan.

Yang indah justru diucapkannya, sehari sesudah heboh pengunduran dirinya sebagai Menteri Keuangan.

"Nanti akan ada lebih 70 negara di bawah saya. Saya akan tetap bangga dan senang, Indonesia sebagai contoh reformasi (birokrasi), jadi (dapat) menunjukkan pada negara berkembang, bahwa reformasi bukan kasus di text book, itu realitas dan terjadi di negara kita ini, Indonesia," katanya dalam sambutan di Kanwil Ditjen Perbendaharaan, Jakarta, Kamis.

Yang juga indah dinyatakan oleh Presiden Bank Dunia Robert Zoellick.

"Ia menteri keuangan yang baik dengan pengetahuan mendalam mengenai isu-isu pembangunan dan peran Bank Dunia," kata bos Bank Dunia itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengungkapkan Yang Indah dengan menyetujui pengunduran diri Menkeu Sri Mulyani.

"Terhadap ini semua, saya harus menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa sesungguhnya kita kehilangan salah satu menteri terbaik, menteri keuangan, karena harus berpindah tempat berada dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, kemudian bertugas atau mengabdi di Bank Dunia," kata presiden.

Sisi estetika dari pernyataan-pernyataan itu merujuk kepada Yang indah dari laga kehidupan: ya, kita harus hidup tanpa utopia lagi.

Tinggalkan segala utopia tentang segala kesempurnaan. Kaum utopis sebaiknya bercermin, impian mereka berakhir dengan kepedihan dan kesuraman. Utopia tidak dapat membuat manusia berkembang.

Sri Mulyani paham betul bahwa utopia berakhir sia-sia, absurd. Yang oke, ia meramu estetika dan total footbal sebagai bagaimana membela dan mempertahankan lini belakang, dan mencoba menarik kemenangan dengan melakukan serangan balik ke jantung pertahanan lawan.

Estetika bola, baginya, ialah melahirkan keteraturan (self organization), yang justru menjadi label dari sepak bola Belanda dengan total football-nya.

Mbak Ani "belajar" dari Michels bahwa serangan dalam laga bola dibangun dari lini belakang. Mbak Ani juga berguru dari Cruyff bahwa serangan perlu diekstremkan dengan dikerahkan dari segala lini.

Post scriptum, berangkat dari heboh seputar Mbak Ani, utopia boleh tiada, tetapi rasanya utopia tidak boleh mati dalam sepak bola.

Sesungguhnya, chaos masih dapat dikontrol menjadi keteraturan, organisasi diri dan keindahan.

Sri Mulyani Indrawati, begitu namanya. Di mata estetika, ia mendekonstruksi seni. Seni bukan semata meniru alam (mimesis), tetapi menciptakan kualitasnya sendiri.

Dan politik adalah seni.


A.A. Ariwibowo

Baca selengkapnya...

Kamis, 06 Mei 2010

Rahasia Kebahagiaan

Rahasia kebahagiaan adalah memusatkan perhatian pada kebaikan dalam diri orang lain. Sebab, hidup bagaikan lukisan : Untuk melihat keindahan lukisan yang terbaik sekalipun, lihatlah di bawah sinar yang terang, bukan di tempat yang tertutup dan gelap sama halnya sebuah gudang.

Rahasia kebahagiaan adalah tidak menghindari kesulitan. Dengan memanjat bukit, bukan meluncurinya, kaki seseorang tumbuh menjadi kuat.

Rahasia kebahagiaan adalah melakukan segala sesuatu bagi orang lain. Air yang tak mengalir tidak berkembang. Namun, air yang mengalir dengan bebas selalu segar dan jernih.

Rahasia kebahagiaan adalah belajar dari orang lain, dan bukan mencoba mengajari mereka. Semakin Anda menunjukkan seberapa banyak Anda tahu, semakin orang lain akan mencoba menemukan kekurangan dalam pengetahuan Anda. Mengapa bebek disebut "bodoh"? Karena terlalu banyak bercuap-cuap.

Rahasia kebahagiaan adalah kebaikan hati : memandang orang lain sebagai anggota keluarga besar Anda. Sebab, setiap ciptaan adalah milik Anda. Kita semua adalah ciptaan Tuhan yang satu.

Rahasia kebahagiaan adalah tertawa bersama orang lain, sebagai sahabat, dan bukan menertawakan mereka, sebagai hakim.

Rahasia kebahagiaan adalah tidak sombong. Bila Anda menganggap mereka penting, Anda akan memiliki sahabat ke manapun Anda pergi. Ingatlah bahwa musang yang paling besar akan mengeluarkan bau yang paling menyengat.

Kebahagiaan datang kepada mereka yang memberikan cintanya secara bebas, yang tidak meminta orang lain mencintai mereka terlebih dahulu. Bermurah hatilah seperti mentari yang memancarkan sinarnya tanpa terlebih dahulu bertanya apakah orang- orang patut menerima kehangatannya.

Kebahagiaan berarti menerima apapun yang datang, dan selalu mengatakan kepada diri sendiri "Aku bebas dalam diriku".

Kebahagiaan berarti membuat orang lain bahagia. Padang rumput yang penuh bunga membutuhkan pohon-pohon di sekelilingnya, bukan bangunan- bangunan beton yang kaku. Kelilingilah padang hidup Anda dengan kebahagiaan.

Kebahagiaan berasal dari menerima orang lain sebagaimana adanya; nyatanya menginginkan mereka bukan sebagaimana adanya. Betapa akan membosankan hidup ini jika setiap orang sama. Bukankah taman pun akan tampak janggal bila semua bunganya berwarna ungu?

Rahasia kebahagiaan adalah menjaga agar hati Anda terbuka bagi orang lain, dan bagi pengalaman- pengalaman hidup. Hati laksana pintu sebuah rumah. Cahaya matahari hanya dapat masuk bilamana pintu rumah itu terbuka lebar.

Rahasia kebahagiaan adalah memahami bahwa persahabatan jauh lebih berharga daripada barang; lebih berharga daripada mengurusi urusan sendiri; lebih berharga daripada bersikukuh pada kebenaran dalam perkara-perkara yang tidak prinsipiil.

Renungkan setiap rahasia yang ada di dalamnya. Rasakan apa yang dikatakannya.

"Tak ada kesenangan yang lebih besar dari pada membantu seseorang membuat perbedaan positif dalam kehidupan orang tersebut." ~ Mary Rose McGeady ~

Baca selengkapnya...

Selasa, 04 Mei 2010

BANGUNLAH JEMBATAN JANGAN TEMBOK

Alkisah ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka terjebak ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah kali pertama mereka bertengkar demikian hebatnya. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan. Saling meminjamkan peralatan pertanian. Dan bahu membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerjasama yang akrab itu kini retak.

Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki.

Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.

Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk pintu rumah sang kakak.

Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu.

Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan,? kata pria itu dengan ramah..

Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan.?

Oh ya !? jawab sang kakak.

Saya punya sebuah pekerjaan untukmu.?

Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah adikku.

Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan bulldozer lalu mengalirkan Airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang Memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, Tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku Sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya. Kata tukang kayu, Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan.

Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat tuan merasa senang.?

Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai Kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu.

Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru Saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya.

Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertanian nya dengan ladang pertanian adiknya.

Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi.

Dari seberang sana , terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki Jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar.

Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini.. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku? kata sang adik pada kakak nya. Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi.

Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu, pinta sang kakak.

Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini,? kata tukang kayu, tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan.?


Sadarkah kita bahwa ;

Kita dilahirkan dengan dua mata di depan, karena seharusnya kita melihat yang ada di depan?

Kita lahir dengan dua telinga, satu kiri dan satu di kanan sehingga kita dapat mendengar dari dua sisi dan dua arah. Menangkap pujian maupun kritikan, dan mendengar mana yang salah dan mana yang benar.

Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di kepala, sehingga bagaimanapun miskinnya kita, kita tetap kaya. Karena tak seorang pun dapat mencuri isi otak kita. Yang lebih berharga dari segala permata yang ada.

Kita dilahirkan dengan dua mata, dua telinga, namun cukup dengan satu mulut.

Karena mulut tadi adalah senjata yang tajam, yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh. Lebih baik sedikit bicara, tapi banyak mendengar dan melihat.

Kita dilahirkan dengan satu hati, yang mengingatkan kita. Untuk menghargai dan memberikan cinta kasih dari dalam lubuk hati.

Belajar untuk mencintai dan menikmati untuk dicintai, tetapi jangan pernah mengharapkan orang lain mencintai anda dengan cara dan sebanyak yang sudah anda berikan.

Berikanlah cinta tanpa mengharapkan balasan, maka anda akan menemukan bahwa hidup ini terasa menjadi lebih indah.

Baca selengkapnya...

Sabtu, 24 April 2010

Sumber Kalsium untuk Jaga Kekuatan Tulang Anda

Agar kepadatan tulang Anda tetap terjaga, konsumsilah susu dan makanan yang mengandung kalsium.

Saat bayi, orangtua rajin memberikan kita susu. Tapi mengapa beranjak dewasa, kita semakin malas minum susu? Padahal, kalsium punya banyak manfaat untuk tulang dan gigi Anda.

Susu penambah kepadatan massa tulang telah menjadi bagian dari gaya hidup, berikut berbagai aktivitas untuk menjaga kesehatan tulang. Salah satu fokus perhatian adalah pada massa tulang yang semakin berkurang akibat penambahan usia.

Selain pada susu, kepadatan massa tulang juga turut didukung banyak hal. Kalsium terkandung pula di dalam susu, ikan teri, sup tulang, dan sayuran hijau seperti bayam dan kacang-kacangan. Agar kepadatan tulang Anda tetap terjaga, konsumsilah susu dan makanan yang mengandung kalsium.

Kemudian, agar kalsium yang berasal dari susu dan makanan dapat diserap sempurna, diperlukan vitamin D. Sumber vitamin D, antara lain sinar matahari pagi (antara pukul 06.00-09.00 WIB) dan sore (setelah pukul 16.00 WIB), ikan salmon, sarden, kuning telur, hati, susu, keju, dan produk olahan susu lainnya.

Cara lain untuk memperkuat dan menambah kepadatan massa tulang adalah berolahraga. Ada begitu banyak pilihan jenis olahraga yang bisa Anda coba, misalnya bersepeda, berenang, jogging, berjalan kaki, atau naik-turun tangga.

Gaya hidup sehat juga sangat memengaruhi kekuatan dan kepadatan massa tulang. Mulai dari sekarang berhentilah merokok, mengurangi intensitas minum kopi, alKohol, teh, dan cola. Minuman-minuman semacam itu bisa menghambat penyerapan kalsium. Sebaliknya, konsumsilah makanan bergizi yang memenuhi 4 sehat 5 sempurna.


Okezone

Baca selengkapnya...

Jumat, 23 April 2010

Hukum Memberi

Alkisah, seekor babi sedang bersungut-sungut dan komplain tentang hidupnya kepada seekor sapi. Dia jengkel karena manusia tidak pernah menghargai hidupnya. Bahkan, namanya sendiri sering kali dipakai untuk memaki.

"Bayangkan, aku dipotong. Lantas hampir semua tubuhku dimakan. Aku dijadikan sosis. Kakiku saja, ada yang mau memakannya," kata si babi dengan marahnya.

Namun, kenapa aku tidak pernah dihargai? lanjutnya. Bahkan, dianggap najis. Bandingkan aku dengan dirimu yang lebih dihargai. Di beberapa tempat kamu dianggap suci.

Si sapi, dengan penuh pengertian, menjawab omongan si babi itu, "Babi temanku. Mungkin perbedaannya adalah kamu memberikannya setelah kamu mati, tetapi aku memberikan semuanya kepada manusia, ketika aku masih hidup!"

Pembaca, kita melihat, banyak orang yang ingin disanjung dan dipuji. Namun, mereka sendiri ternyata pelit sekali untuk memberi. Akibatnya, apa yang terjadi? Mereka pun ternyata jarang dihargai.

Realitanya, ada sebuah aturan prinsip kekal yang disebut law of giving (hukum memberi), yaitu penghargaan yang kita terima berkorelasi positif dengan pemberian yang kita berikan seumur hidup kita.

Perhatikanlah orang-orang terbesar sepanjang sejarah. Para nabi dan orang suci yang mem­punyai umat yang banyak. Salah satu alasannya karena mereka banyak memberi selama hidupnya.

Bahkan, beberapa di antaranya sungguh mengorbankan dirinya, ada yang melakukan perjalanan begitu jauhnya dengan cara keluar dari comfort zone, ada yang menyangkal kehidupan begitu enak yang bisa mereka nikmati, demi orang lain.

Itulah sebabnya, mereka dikenang sepanjang masa. Sebenarnya, bukan hanya dalam hal spiritual, dalam hal kehidupan sehari-hari pun, kita mengenal orang yang dikenang, dihargai karena apa yang mereka beri sepanjang hidup mereka.

Di salah satu kampung teman saya, terdapat sebuah makam yang hingga sekarang masih dikunjungi. Konon, makam itu adalah makam seorang kaya yang paling murah hati.

Pada waktu banyak pengungsian terjadi karena suatu bencana. Si orang kaya ini menyediakan gudang dan rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat penampungan.

Dia pun mengeluarkan banyak uang demi para pengungsi. Dia tidak berhitung-hitung. Maka itu, ketika dia meninggal, bahkan lama setelah meninggal pun, banyak orang yang berdatangan dan menaruh hormat kepadanya.

Hukum memberi yang pertama, kurang lebih berbunyi "Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai". Maka, sebagai konsekuensinya, jika kita tidak pernah memberi kita pun tidak akan pernah menuai apa pun.

Ketika di SMP dulu, saya teringat seorang rekan saya yang sempat begitu iri ketika dia tidak pernah mendapatkan kartu ucapan ulang tahun atau kartu hari raya. Dia membandingkan dirinya dengan temannya.

Maka, kepadanya dia dinasihati. "Temannya yang lain yang sering mendapatkan kartu ucapan karena dia murah hati dan sering kali mengajari rekannya yang lain. Sementara, kamu sendiri sangat pelit berbagi ilmu" Tak heran, dia menjadi jarang diberi karena dia pun jarang memberi.

Hukum memberi yang kedua berbunyi, "Ketika kita memberi. Kita akan mendapatkan balasannya. Mungkin akan langsung kita terima, mungkin juga diterima dalam beberapa generasi yang akan datang, tetapi kemuliaan kita terletak pada ketidakinginan kita untuk mengharapkannya".

Bicara tentang hukum ini, pernahkah Anda baca kisah tentang seorang ibu yang mem­be­ri­kan sebotol susu kepada seorang anak kecil yang kelaparan. Kelak, ternyata ketika ibu ini su­dah tua, dan harus dioperasi, ternyata dia di­to­long oleh seorang dokter muda yang mem­bayari semua ongkos operasinya yang mahal.

Saat, si ibu ini mau membayar, si suster memberinya sebuah surat dari si dokter yang berbunyi, "Semua biaya obat ibu, sudah dibayar lunas dengan segelas susu". Ternyata, si dokter ini adalah bocah yang dulu pernah dibantunya dengan segelas susu.

Sama sekali tidak terbayangkan bahwa kelak si anak gembel yang ditolongnya akan menjadi seorang dokter terkemuka. Itulah nilai dari balasan yang kita terima. Sama sekali kita tidak pernah menduga, pemberian yang kita terima akan kembali dalam bentuk apa.

Namun, lebih baik kita tak mengharapkannya. Toh si ibu itu pun tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menerima balasan apa pun pada kemudian harinya. Justru apa yang diberikannya, ternyata kembali dalam bentuk suprised yang luar biasa.

Hukum memberi yang keempat berbunyi, "Nilai pemberian sebenarnya diukur dari dua hal yakni ketulusan serta nilai pemberian itu sendiri bagi diri kita sendiri". Ada seorang jutawan yang memberikan berjuta-juta uangnya untuk membantu.

Namun, nilai uang itu sebenarnya tak mencapai 1% dari kekayaannya. Maka, sebenarnya nilai pemberiannya itu tidak seberapa dibandingkan dengan seorang pengemis yang rela memberikan uangnya untuk membantu pengemis lain yang mendapat kecelakaan.

Padahal, dia sendiri membutuhkan uangnya. Namun, dia tahu rekannya yang kecelakaan lebih membutuhkan. Di sinilah nilai pemberian menjadi relatif. Pemberian pun diukur dari ketulusan hati orang yang memberikannya.

Bicara soal ini, saya teringat tatkala Bob Geldof dan Midge Ure, pada 1984 mengumpulkan dana melalui album lagu untuk anak-anak yang kelaparan di Ethiopia. Mereka akhirnya bisa mengumpulkan berjuta-juta poundsterling untuk usahanya.

Atas usahanya, Midge Ure dan Geldof pernah berujar, "Kami tidak punya keinginan apa-apa. Saya hanya tergerak mengoordinasi para artis untuk menyanyi. Seharusnya yang mendapatkan nama adalah para artis yang mau datang capai-capai untuk menyanyi.”

Kepada merekalah, lanjutnya, seharusnya kita berterima kasih. Mereka bisa saja memberikan uangnya, tetapi bukan itu yang terpenting. Namun, waktu dan pengorbanan mereka itulah yang paling berharga, yang mesti kita hargai!"

Kalimat Bob Geldof cukup beralasan, karena bahkan Boy George, si penyanyi yang sebenarnya masih kecapaian, rela datang terbang dengan Concorde dari New York hanya untuk terlibat dalam proyek sosial mereka.

Sulitnya melakukan

Berbicara mengenai keempat hukum memberi ini saya pun teringat dengan pepatah, "Mereka yang selalu memberi tanpa mengharapkan apa pun, adalah orang yang pantas mendapatkan cinta. Pada akhirnya, mereka pun akan mendapatkannya".

Kalimat ini sebenarnya diucapkan oleh Bunda Teresa dari Kolkata yang pernah mendapatkan Nobel atas usahanya menolong para miskin. Singkatnya, hukum ini berbicara mengenai filosofi memberi di mana kita justru menjadi orang yang layak menerima karena hidup kita banyak memberi.

Paradoksnya, semakin kita berusaha menahan, mengambil dan berusaha menjaga apapun apa yang kita miliki, maka kita akan lebih banyak kehilangan. Saya sendiri pernah membaca kisah seorang gelandangan yang begitu pelit dalam hidupnya, yang ketika digeledah setelah dia meninggal, ternyata dia punya uang beratus-ratus dolar yang tidak pernah digunakannya.

Pertanyaannya: apa yang kini dia bisa guna­kan dengan uangnya itu? Toh tahukah Anda apa yang akhirnya pemerintah lakukan dengan uang tersebut? Uang itu akhirnya diambil oleh ne­gara untuk membantu gelandangan seperti dirinya.

Akhirnya, tulisan tentang hukum memberi ini tampaknya lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Seperti dikatakan oleh seorang penulis spiritual, "Keinginan daging kita adalah menjadi serakah dan mengumpulkan. Jauh lebih mudah menghidupi logika mengumpulkan bagi kita sendiri daripada memberi bagi orang lain. Namun, mari kita berusaha menjadi berkat bagi orang lain karena hidup kita sebenarnya sudah menerima banyak berkat."


Oleh: Anthony Dio Martin

Baca selengkapnya...

Kamis, 22 April 2010

Seven Habits of Highly Effective People

From Dependence to Interdependence

Our character is a composite of our habits. Changing habits is hard, but can be done by tremendous commitment.

A (good) habit can be defined as the intersection of knowledge, skill and desire. Change is a cycle of being and seeing (visualization).

Our objective is to move progressively on a maturity continuum from dependence to independence to interdependence. Although independence is the current paradigm of our society, we can accomplish much more by cooperation and specialization. However, we must achieve independence before we can choose interdependence.


Habits 1, 2 and 3 (Be Proactive, Begin With The End In Mind, Put First Things First) deal with self mastery. They are the "private victories" required for character growth. Private victories precede public victories.

Habits 4, 5 and 6 are the more personality-oriented "public victories" of Teamwork, Cooperation and Communication.

Habit 7 is the habit of Renewal, creating an upward spiral of growth.

Effectiveness lies in balancing our Production (P) with building Production Capacity (PC).

Organizationally, the PC principle is to always treat your employees as you want them to treat your best customers. We must understand that the best contributions of our employees - their hearts and minds - are as volunteers, because they want to.

This process of growth will be evolutionary, but the net effect will be revolutionary.

Personality vs. Character Ethics

There have been two dominant theories of achieving success in the literature of the past 200 years, the personality ethic and the character ethic. The personality ethic has been in the forefront since World War I. Previously, the character ethic was dominant.

According to the character ethic, it is most important to focus on integrating the principles of effective living into one's character. This may be a long-term process, but working on the character, including an effective view of the world, is getting at the root from which behavior flows and so is fundamental. The character ethic sees individual development as a long-term process bearing results according to the law of the harvest.

According to the personality ethic, there are skills and techniques one may learn and a public image, personality and attitudes one may develop that result in success. The problem is, eventually we may be discovered as insincere and shallow. These ideas may be helpful when they flow naturally from a good character and the right motives, but they are secondary.

A paradigm is a model, theory or explanation of something else. It is the "lens" of our preconceived notions through which we view the world. If our paradigm is not close to reality, our attitudes, behaviors and responses will not be effective or appropriate. We will be as lost as a person trying to function in Chicago with a map of New York. We can only accomplish quantum improvement in our lives if we accomplish a paradigm shift resulting in a more accurate and effective view of the world. Some paradigm shifts may be fast (a blinding flash of the obvious), some are more slow (a change in character).

The Seven Habits is a principle-centered paradigm. Principles are guidelines for human conduct that are proven to have enduring, permanent value -- they are fundamental

Habit 1 : Be Proactive - Personal Vision

In our society, we have accepted 3 deterministic explanations of human limitations: genetic determinism, psychic determinism and environmental determinism.
On closer examination, we discover that between stimulus and response, man has the freedom to choose. We don't have to function on "auto pilot".

Proactivity means that, as human beings, we are responsible for our own lives. Our behavior is a function of our decisions, not our conditions. We can subordinate feelings to values. We have the initiative and the responsibility to make things happen.

Our most difficult experiences become the crucibles forging our character and developing our inner powers.

There are three central values in life: the experiential (that which happens to us), the creative (that which we bring into existence), and the attitudinal (our response to difficult circumstances). What matters most is how we respond to what we experience in life.

Taking the initiative means recognizing our responsibility to make things happen. Use your R(esourcefulness) and I(nitiative).

Proactivity is grounded in facing reality but also understanding we have the power to choose a positive response to our circumstances.

Organizations of every kind can be proactive by combining the creativity and resourcefulness of proactive individuals to create a proactive culture within the organization.

We need to understand how we focus our time and energy to be effective. The things we are concerned about could be described as our "Circle of Concern". There are things we can really do something about, that can be described as our "Circle of Influence". When we focus our time and energy in our Circle of Concern, but outside our Circle of Influence, we are not being effective. However, we find that being proactive helps us to expand our Circle of Influence. (Work on things you can do something about.)

Reactive people focus their efforts on the Circle of Concern, over things they can't control. Their negative energy causes their Circle of Influence to shrink.

Our problems fall in three areas: Direct Control (problems involving our own behavior), Indirect Control (problems involving other people's behavior), or No Control (problems we can do nothing about). Direct Control problems are solved through the private victories of Habits 1, 2 and 3. Indirect Control problems are solved through methods of influence, the public victories of Habits 4, 5, and 6. No Control problems are best dealt with through attitude.

The Circle of Concern is filled with the "have" statements. The Circle of Influence is indicated by "be" statements. Anytime we think the problem is "out there," that thought is the problem.
While we are free to choose our actions, the consequences of our actions are governed by natural law. Sometimes we make choices with negative consequences, called mistakes. We can't recall or undo past mistakes. The proactive approach to a mistake is to acknowledge it instantly, correct and learn from it. Success is the far side of failure.

At the heart of our Circle of Influence is our ability to make and keep commitments and promises. Our integrity in keeping commitments and the ability to make commitments are the clearest manifestations of proactivity.

Habit 2 : Begin With The End In Mind - Personal Leadership

When we begin with the end in mind, we have a personal direction to guide our daily activities, without which we will accomplish little toward our own goals. Beginning with the end in mind is part of the process of personal leadership, taking control of our own lives.

All things are created twice. We create them first in our minds, and then we work to bring them into physical existence. By taking control of our own first creation, we can write or re-write our own scripts, thus taking some control and responsibility for the outcome. We write or re-write our scripts using our imagination and conscience.

There are three major aspects of our personal and business management. First is leadership - what do I/we want to accomplish? Second is management - how can I best accomplish it? Third is productivity - doing it. According to Peter Drucker and Warren Bennis, "Management is doing things right; Leadership is doing the right things."

A starting point in beginning with the end in mind is to develop a personal mission statement, philosophy or credo. It will help you focus on what you want to be (character), do (contributions and achievements) and on the values and principles upon which your being and doing are based. The personal mission statement gives us a changeless core from which we can deal with external change.

Viktor Frankel developed a philosophy called "Logotherapy". Logotherapy helps an individual detect his unique meaning or mission in life by reexamining his personal vision and values to assure they are based on principles and reality.
We must reexamine the center of our life. Our center is the source of our security, guidance, wisdom and power. Making people or things outside ourselves important places ourselves at the mercy of mood swings, inconsistent behavior and uncontrollable changes of fortune. Being self-centered is too limiting - people develop poor mental health in isolation.

By centering our lives on correct principles, we create a stable, solid foundation for the development of our life support factors and embrace and encompass the truly important areas of our lives. Successful relationships, achievement and financial security will radiate from the principle center.

The principles we base our lives on should be deep, fundamental truths, classic truths, or generic common denominators. They will become tightly interwoven themes running with exactness, consistency, beauty and strength through the fabric of our lives.

In developing your personal mission statement, you can use your creative ability to imagine life milestones such as birthdays, anniversaries, retirement and funerals. What accomplishments would you like to celebrate? Visualize them in rich detail.

You can make your mission statement balanced and easier to work with by breaking it down into the specific role areas of your life and the goals you want to accomplish in each area.

If you find your actions aren't congruent with your mission statement, you can create affirmations to improve. An affirmation should have five ingredients: it should be personal, positive, present tense, visual and emotional.

You can also use visualization techniques.

Affirmation and visualization are both self programming techniques that should be used in harmony with correct principles.

Mission statements can also be made for families, service groups and organizations of all kinds. A family mission statement is an expression of its true foundation, its shared vision and values. Organizational mission statements should be developed by everyone in the organization. If there is no involvement in the process, there will be no commitment to the statement. The reward system must compliment and strengthen the stated value systems.

An organization may have an all-encompassing mission statement, and each location, or even each team, may have their own. However, they should all dovetail with each other.

If the mission statements of your family and organization dovetail with your personal mission statement, and you use those statements to keep your end in mind, you will accomplish your goals more quickly and easily.

Habit 3 : Put First Things First - Principles of Personal Management

Habit 1 - I am the Programmer.
Habit 2 - Write the Program.
Habit 3 - Execute the Program.
Habit 3 is Personal Management, the exercise of independent will to create a life congruent with your values, goals and mission. The fourth human endowment, Independent Will, is the ability to make decisions and choices and act upon them. Integrity is our ability to make and keep commitments to ourselves. Management involves developing the specific application of the ideas. We should lead from the right brain (creatively) and manage from the left brain (analytically).

In order to subordinate your feelings, impulses and moods to your values, you must have a burning "YES!" inside, making it possible to say "No" to other things. The "Yes" is our purpose, passion, clear sense of direction and value.

Time management is an essential skill for personal management. The essence of time management is to organize and execute around priorities. Methods of time management have developed in these stages: 1) notes and checklists - recognizing multiple demands on our time; 2) calendars and appointment books - scheduling events and activities; 3) prioritizing, clarifying values - integrating our daily planning with goal setting (The downside of this approach is increasing efficiency can reduce the spontaneity and relationships of life.); 4) managing ourselves rather than managing time - focusing in preserving and enhancing relationships and accomplishing results, thus maintaining the P/PC balance (production versus building production capacity).

A matrix can be made of the characteristics of activities, classifying them as urgent or not urgent, important or not important. List the activities screaming for action as "Urgent." List the activities contributing to your mission, value or high-priority goals as "Important."

Quadrant I activities are urgent and important - called problems or crises. Focusing on Quadrant I results in it getting bigger and bigger until it dominates you.
Quadrant III activities are urgent and not important, and often misclassified as Quadrant I.
Quadrant IV is the escape Quadrant - activities that are not urgent and not important.
Effective people stay out of Quadrants III and IV because they aren't important. They shrink
Quadrant I down to size by spending more time in Quadrant II.
Quadrant II activities are important, but not urgent. Working on this Quadrant is the heart of personal time management. These are PC activities.
Quadrant II activities are high impact - activities that when done regularly would make a tremendous difference in your life. (Including implementing the Seven Habits.)
Initially, the time for Quadrant II activities must come from Quadrants III and IV. Quadrant I can't be ignored, but should eventually shrink with attention to Quadrant II.
1) Prioritize 2) Organize Around Priorities 3) Discipline yourself
Self discipline isn't enough. Without a principle center and a personal mission statement we don't have the necessary foundation to sustain our efforts.
Covey has developed a Quadrant II organizer meeting six criteria:
1. Coherence - integrates roles, goals, and priorities.
2. Balance - keeps various roles before you so they're not neglected.
3. Quadrant II Focus - Weekly - the key is not to prioritize what's in your schedule, but to schedule your priorities.
4. A People Dimension - think of efficiency when dealing with things, but effectiveness when dealing with people. The first person to consider in terms of effectiveness is yourself. Schedules are subordinated to people.
5. Flexibility - the organizer is your servant, not your master
6. Portability
There are four key activities in Quadrant II organizing, focusing on what you want to accomplish for the next 7 days: 1) Identify Roles 2) Select Goals - two or three items to accomplish for each role for the next week, including some of your longer term goals and personal mission statement 3) Scheduling/Delegating - including the freedom and flexibility to handle unanticipated events and the ability to be spontaneous 4) Daily Adapting - each day respond to unanticipated events, relationships and experiences in a meaningful way.
Here are five advantages of this organizer: 1) It's principle-centered - it enables you to see your time in the context of what's important and what's effective. 2) It's conscience directed - it enables you to organize your life around your deepest values. 3) It defines your unique mission, including values and long-term goals. 4) It helps you balance your life by identifying roles. 5) It gives greater perspective through weekly organizing.
The practical thread is a primary focus on relationships and a secondary focus on time, because people are more important than things.
The second critical skill for personal management is delegation. Effectively delegating to others is perhaps the single most powerful high-leverage activity there is. Delegation enables you to devote your energies to high level activities in addition to enabling personal growth for individuals and organizations. Using delegation enables the manager to leverage the results of their efforts as compared to functioning as a "producer."
There are two types of delegation: Gofer Delegation and Supervision of Efforts (Stewardship). Using Gofer Delegation requires dictating not only what to do, but how to do it. The supervisor then must function as a "boss," micromanaging the progress of the "subordinate." The supervisor thus loses a lot of the leveraging benefits of delegation because of the demands on his time for follow up. An adversarial relationship may also develop between the supervisor and subordinate.

More effective managers use Stewardship Delegation, which focuses on results instead of methods. People are able to choose the method to achieve the results. It takes more time up front, but has greater benefits.
Stewardship Delegation depends on trust, but it takes time and patience. The people may need training and development to acquire the competence to rise to the level of that trust.
Stewardship Delegation requires a clear, up-front mutual understanding of and commitment to expectations in five areas:
1. Desired Results - Have the person see it, describe it, make a quality statement of what the results will look like and by when they will be accomplished.
2. Guidelines - Identify the parameters within which the individual should operate, and what potential "failure paths" might be. Keep the responsibility for results with the person delegated to.
3. Resources - Identify the resources available to accomplish the required results.
4. Accountability - Set standards of performance to be used in evaluating the results and specific times when reporting and evaluation will take place.
5. Consequences - Specify what will happen as a result of the evaluation, including psychic or financial rewards and penalties.
Using Stewardship Delegation, we are developing a goose (to produce golden eggs) based on internal commitment. We must avoid Gofer Delegation to get the golden egg or we kill the goose - the worker reverts to the gofer's credo: "Just tell me what to do and I'll do it."
This approach is a new paradigm of delegation. The steward becomes his own boss governed by his own conscience, including the commitment to agreed-upon desired results. It also releases his creative energies toward doing whatever is necessary in harmony with correct principles to achieve those desired results.
Immature people can handle fewer results and need more guidelines and more accountability interviews. Mature people can handle more challenging desired results with fewer guidelines and accountability interviews.
Habit 4 : Think Win-Win

Win/Win is one of six total philosophies of human interaction.
1. Win/Win - People can seek mutual benefit in all human interactions. Principle-based behavior.
2. Win/Lose - The competitive paradigm: if I win, you lose. The leadership style is authoritarian. In relationships, if both people aren't winning, both are losing.
3. Lose/Win - The "Doormat" paradigm. The individual seeks strength from popularity based on acceptance. The leadership style is permissiveness. Living this paradigm can result in psychosomatic illness from repressed resentment.
4. Lose/Lose - When people become obsessed with making the other person lose, even at their own expense. This is the philosophy of adversarial conflict, war, or of highly dependent persons. (If nobody wins, being a loser isn't so bad.)
5. Win - Focusing solely on getting what one wants, regardless of the needs of others.
6. Win/Win or No Deal - If we can't find a mutually beneficial solution, we agree to disagree agreeably - no deal. This approach is most realistic at the beginning of a business relationship or enterprise. In a continuing relationship, it's no longer an option.
The most appropriate model depends on the situation. When relationships are paramount, Win/Win is the only viable alternative. In a competitive situation where building a relationship isn't important, Win/Lose may be appropriate. There are five dimensions of the Win/Win model: Character, Relationships, Agreements, Supportive Systems and Processes.
1. Character is the foundation of Win/Win. There must be integrity in order to establish trust in the relationship and to define a win in terms of personal values. A key trait is the abundance mentality that there is plenty for everybody (v. the Scarcity Mentality). The abundance mentality flows from a deep inner sense of personal worth and security.
2. Relationships are the focus on Win/Win. Whatever the orientation of the person you are dealing with (Win/Lose, etc.), the relationship is the key to turning the situation around. When there is a relationship of trust and emotional bank account balances are high, there is a much greater probability of a successful, productive interaction. Negative energy focused on differences in personality or position is eliminated; positive, cooperative energy focused on understanding and resolving issues is built.
3. Performance agreements or partnership agreements give definition and direction to Win/Win,. They shift the paradigm of production from vertical (Superior - Subordinate) to horizontal (Partnership/Team). The agreement should include elements to create a standard by which people can measure their own success.

Defined results (not methods) - what is to be done and when.
1. Guidelines - the parameters within which the results should be accomplished
2. Resources - human, financial, technical or organizational support available to accomplish the results.
3. Accountability - the standards of performance and time(s) of evaluation.
4. Consequences - what will happen as a result of the evaluation.
The agreement may be written by the employee to the manager to confirm the understanding.
Developing Win/Win performance agreements is the central activity of management, enabling employers to manage themselves within the framework of the agreement. Then the manager can initiate action and resolve obstacles so employees can do their jobs.
There are four kinds of consequences that management or parents can control - Financial, Psychic, Opportunity and Responsibility. In addition to personal consequences, the organizational consequences of behaviors should be identified.
4. The Reward System is a key element in the Win/Win model. Talking Win/Win but rewarding Win/Lose results in negating the Win/Win paradigm. If the outstanding performance of a few is rewarded, the other team members will be losers. Instead, develop individual achievable goals and team objectives to be rewarded.
Competition has its place against market competitors, last year's performance, or another location or individual where cooperation and interdependence aren't required, but cooperation in the workplace is as important to free enterprise as competition in the marketplace. The spirit of Win/Win cannot survive in an environment of competition or contests. All of the company's systems should be based on the principle of Win/Win. The Compensation system of the managers should be based on the productivity and development of their people. Reward both P (production) and PC (building production capacity).

5. The Win/Win process has four steps.
1. See the problem from the other point of view, in terms of the needs and concerns of the other party.
2. Identify the key issues and concerns (not positions) involved.
3. Determine what results would make a fully acceptable solution.
4. Identify new options to achieve those results.
You can only achieve Win/Win solutions with Win/Win procedures. Win/Win is not a personality technique. It's a total paradigm of human interaction.
Habit 5 : Seek First to Understand Then to be Understood
We often prescribe before making a proper diagnosis when communicating. We should first take the time to deeply understand the problems presented to us.
The real key to influence is example - your actual conduct. Your private performance must square with your public performance.
Unless people trust you and believe you understand them, they will be too angry, defensive, guilty or afraid to be influenced. Skills of empathic listening must be built on a character that inspires openness and trust and high emotional bank accounts.

Empathic Listening
People tend to filter the information they receive through their own paradigms, reading their autobiography into other people's lives, or projecting their own home movies onto other people's behavior.
When another person is speaking, we usually "listen" at one of four levels: ignoring, pretending, selective listening, or attentive listening. We should be using the fifth, highest form of listening - empathic listening.

Active or reflective listening is skill-based and often insults the speaker.
Empathic listening is listening with intent to understand the other person's frame of reference and feelings. You must listen with your ears, your eyes and your heart.

Empathic listening is a tremendous deposit into the emotional bank account. It's deeply therapeutic and healing because it gives a person "psychological air."
Next to physical survival, the greatest need of a human being is psychological survival - to be understood, to be affirmed, to be validated, and to be appreciated.
Empathic listening is risky. It takes a great deal of security to go into a deep listening experience because you open yourself up to being influenced. You become vulnerable. In order to have influence, you must be influenced.
Diagnose Before You Prescribe
It can be dangerous to prescribe without an accurate diagnosis.
An effective salesperson seeks to understand the needs, concerns and situation of the customer.
An amateur sells products, the professional sells solutions.
This is a common denominator principle with its greatest power in interpersonal relationships.
Four Autobiographical Responses

Evaluate - Agree to disagree.
Probe - Ask questions from your own frame of reference.
Advise - Give counsel based on your own experience.
Interpret - Explain motives and behavior based on your own motives and behavior.
These behaviors are controlling and invasive. They may also be logical, and the language of logic is different from the language of sentiment and emotion.
You will never be able to truly step inside another person and see the world as he sees it until you develop the pure desire, the strength of personal character, and the positive emotional bank account as well as the empathic listening skills to do so.
The skills involve four developmental stages:
1. The least effective is to mimic content, which is taught in active or reflective listening - repeating what the person said back to him or her.
2. To rephrase the content is more effective, but still limited to the verbal communication. It's putting the persons' meaning in your own words. This is a "logical" approach.
3. To reflect feeling involves the right brain, emotional level.
4. To rephrase the content and reflect the feeling includes both the second and third, attempting to understand both sides of his communication and give psychological air.
All the well-meaning advice in the world won't amount to a hill of beans if we're not addressing the real problem. And we'll never get to the real problem if we can't see the world from another point of view.
By seeking first to understand, we can turn a transactional opportunity into a transformational opportunity. We can get on the same side of the table looking at the problem instead of staying on opposite sides staring at each other.
Emotional statements require empathic, logical-emotional responses.
Children will open up to their parents if they feel their parents will love them unconditionally and will be faithful to them afterwards, never ridiculing them.
Sometimes talking isn't necessary to empathize; the words may get in the way.
Empathic listening takes time, but not as much time as backing up and correcting misunderstandings, including living with problems and the results of not giving the people you care about psychological air.
Understanding and Perception
By understanding the other person, we can learn their paradigms through which they view the world and their needs. Then we can try to resolve our differences to work together.
Then Seek to be Understood
Knowing how to be understood is as important as seeking to understand in reaching Win/Win solutions, and requires courage.
The Greek philosophy of Ethos, Pathos, and Logos gives the sequence for effective communication. Ethos is your personal creditability. Pathos is the empathic side. Logos is the reasoning side. Most people go straight to the logical side without first establishing their character and building the relationship.
Describe the alternative they favor better than they can themselves. Then explain the logic behind your request.
When you can present your own ideas clearly, specifically, visually and most importantly contextually - in the context of a deep understanding of their paradigms and concerns - you significantly increase the creditability of your ideas.
One on One
Habit 5 is powerful because it focuses on your circle of influence. It's an inside out approach. You are focusing on building your understanding. You become influenceable, which is the key to influencing others. As you appreciate people more, they will appreciate you more.
Opportunities to practice this habit proactively occur every day with your co-workers, customers, friends, and family.
When we really deeply understand each other, we open the door to creative solutions and third alternatives. Our differences are no longer stumbling blocks to communication and progress. Instead they become the stepping stones to synergy.
Habit 6 : Synergize - Principles of Creative Cooperation
The exercise of the other habits prepares us for synergy.
Synergy means the whole is greater than the sum of its parts. The relationship which the parts have to each other is a part in and of itself - the most empowering, unifying and exciting part.
The essence of synergy is to value differences - to respect them, to build on strengths, and to compensate for weaknesses. The way to achieve synergy is through the creative process, which is terrifying, because you never know where the creative process will lead you.
Synergistic Communication
Synergistic communication is opening your mind and heart to new possibilities. It may seem like you are casting aside "beginning with the end in mind," but you are actually fulfilling it by clarifying your goals and discovering better ones.
Almost all creative endeavors are somewhat unpredictable, and unless people have a high tolerance for ambiguity and get their security from integrity and inner values, they find it unpleasant to be involved in highly creative enterprises.

By taking the time to really build a team, creating a high emotional bank account, the group can become very closely knit. The respect among members can become so high that if there is a disagreement, there can be a genuine effort to understand.
High trust leads to high cooperation and communication. The progression of communication is defensive (win or lose/win), to respectful (compromise), to synergistic (win/win). Synergistic communication must be achieved to develop creative possibilities, including better solutions than original proposals. If synergy isn't achieved, even the effort will usually result in a better compromise.
Synergy in the Classroom
A synergistic class progresses from a safe environment to brainstorming. The spirit of evaluation is subordinated to the spirit of creativity, imagining and intellectual networking. Then the entire class is transformed with the excitement of a new direction. This is not a flight of fancy, but of substance.
Other times a class may approach synergy, but descends into chaos. Synergy requires the right chemistry and emotional maturity in the group to develop.
Synergy in Business
Excitement can replace respectful exchanges and ego battles. But a particular synergistic experience can seldom be recreated. Rather, new experiences should be sought.
By synergistically creating a mission statement, it becomes engraved in the hearts and minds of the participants.
Fishing for the Third Alternative
The "middle" way may not be compromise, but a third alternative, like the apex of a triangle.
By mutually seeking to understand and be understood, the participants pool their desires. They work together on the same side to create a third alternative to meet everyone's needs.
Instead of a transaction, this is a transformation. Each participant gets what they really want, and they build their relationship in the process.
Negative Synergy
The usual win/lose approach results in expending negative synergy. It's like trying to drive down the road with one foot on the gas and the other on the brake. Instead of taking their foot off the brake, most people give it more gas. They apply more pressure to strengthen their position, creating more resistance. In contrast, a cooperative approach enables accomplishment.
The problem is that highly dependent people are trying to succeed in an interdependent reality. They may talk win/win technique, but they want to manipulate others. These insecure people need to mold others to their way of thinking.
The key to interpersonal synergy is intrapersonal synergy - synergy within ourselves helps us achieve synergy with others. The heart of intrapersonal synergy is the first three habits, which give the internal security sufficient to handle the risks of being open and therefore vulnerable. In addition, by learning to use the left brain, logic, with the right brain, emotion, we develop psychic synergy that is suited to reality, which is logical and emotional.
Valuing the Differences
The essence of synergy is to value the mental, emotional, and psychological differences between people. The key to valuing these differences is to realize that all people see the world, not as it is, but as they are.
The person who is truly effective has the humility and reverence to recognize his own perceptual limitations and to appreciate the rich resources available through interaction with the hearts and minds of other human beings.
That two people can disagree and both be right is not logical, it's psychological. And it's very real. We see the same thing, but interpret it differently because of our conditioning. Unless we value the differences in our perceptions and understand that life is not always a dichotomous either/or, that there are almost always third alternatives, we will never be able to transcend the limits of our conditioning.
If two people have the same opinion, one is unnecessary. So when I become aware of the difference in our perceptions, I say "Good! Help me see what you see." By doing that, I not only increase my awareness, but I also affirm you. I give you psychological air. I create an environment for synergy.
Force Field Analysis
According to Kurt Lewin, a sociologist, the current level of performance or being is a state of equilibrium between the driving forces encouraging upward movement and restraining forces discouraging it.
Driving forces are positive, personable, and conscious. Restraining forces are negative, emotional, unconscious, and social/psychological. Both forces must be considered in dealing with change.
Increasing driving forces may bring temporary results. Eventually, restraining forces act like a spring to throw the level back down.
To produce synergy, the concepts of win/win, mutual understanding and seeking synergy are used to work directly on the restraining forces. Involving people in the problem, so they understand it, makes it their problem. They tend to become an important part of the solution. As a result, shared goals are created, enabling the whole enterprise to move upward.
The legal process should be a last, not first, resort because it polarizes the parties, making synergy practically impossible.
All Nature is Synergistic
Ecology, the interrelationship of things, describes the synergism in nature. In the relationship creative powers are maximized. The Seven Habits are also interrelated and are most powerful when used together.
Synergy is the crowning achievement of the previous habits. It is effectiveness in an interdependent reality.
A lot of synergy is in your circle of influence. You can value both your own analytical and creative sides. You can sidestep negative energy and look for the good in others. You can courageously express your ideas in interdependent situations. You can value the differences in others when you see only two alternatives, yours and the "wrong" one. You can seek a synergistic third alternative.
Habit Seven : Sharpen the Saw - Principles of Balanced Self-Renewal
Suppose you came upon someone in the woods working to saw down a tree. They are exhausted from working for hours. You suggest they take a break to sharpen the saw. They might reply, "I didn't have time to sharpen the saw, I'm busy sawing!"
Habit 7 is taking the time to sharpen the saw. By renewing the four dimensions of your nature - physical, spiritual, mental and social/emotional, you can work more quickly and effortlessly. To do this, we must be proactive. This is a Quadrant II (important, not urgent) activity that must be acted on. It's at the center of our Circle of Influence, so we must do it for ourselves.
The Physical Dimension.
The physical dimension involves caring for your physical body - eating the right food, getting enough rest and relaxation, and exercising on a regular basis.
If we don't have a regular exercise program, eventually we will develop health problems. A good program builds your body's endurance, flexibility and strength. A new program should be started gradually, in harmony with the latest research findings.
The greatest benefit of taking care of yourself is development of your Habit 1 "muscles" of proactivity.
The Spiritual Dimension.
The spiritual dimension is your center, your commitment to your value system. It draws upon the sources that inspire and uplift you and tie you to timeless truths of humanity.
A doctor suggested that Covey try a four step prescription at three-hour intervals at his favorite place as a child. Listen carefully, try reaching back, examine your motives, and write your worries in the sand.
When we take time to draw on the leadership center of our lives, what life is ultimately all about, it spreads like an umbrella over everything else. This is why a personal mission statement is important.
The Mental Dimension.
It's important keep your mind sharp by reading, writing, organizing and planning. Read broadly and expose yourself to great minds.
Television is the great obstacle to mental renewal. Most of the programming is a waste of time.
Every day we should commit at least one hour to renewal in the first three dimensions: physical, mental, and spiritual. This practice is a "Daily Private Victory."
The Social/Emotional Dimension.
The physical, spiritual, and mental dimensions are closely related to Habits 1, 2 and 3: personal vision, leadership and management. The social/emotional dimension focuses on Habits 4, 5 and 6: the principles of personal leadership, empathetic communication and creative cooperation.
Our emotional life is primarily developed out of and manifested in our relationships with others. Renewing our social/emotional dimension requires focus and exercise in our interaction with others.
Success in Habits 4, 5 and 6 is not primarily a matter of intellect, but emotion; it's highly related to our sense of personal security. Intrinsic security comes from within, from accurate paradigms and correct principles deep in our own mind and heart. It comes from living a life of integrity, in which our daily habits reflect our deepest values.
There is also intrinsic security that comes as a result of effective interdependent living and from service, from helping other people in a meaningful way. Each day, we can serve another person by making deposits of unconditional love.

Scripting Others.
Most people are living in a reactive mode based on the social mirror. Their scripts are based on the opinions, prescriptions, and paradigms of the people surrounding them. As interdependent people, we recognize our role as part of that social mirror.
We can affirm the proactive nature of others by treating them as responsible people. We can help support them as principle-centered, value-based, interdependent, worthwhile individuals.
In the story of the mix up of the "bright" and "slow" students, the teachers of a group of "slow" children erroneously classified as "bright" said, "For some reason, our methods weren't working, so we had to change our methods." The IQ scores of the students dramatically improved. Apparent learning disability was really teacher inflexibility.
Goethe taught, "Treat a man as he is and he will remain as he is. Treat a man as he can and should be and he will become as he can and should be."
Balance in Renewal.
Self renewal must include balanced renewal in all four dimensions--physical, spiritual, mental and social/emotional. Neglecting any one area negatively impacts the rest.
The same concept also applies to organizations. The process of continuous improvement is the hallmark of the Total Quality movement and a key to man's economic ascendancy.
Synergy in Renewal.
The things you do to sharpen the saw in any one dimension have a positive impact in the other dimensions, because they are so highly interrelated.
The Daily Private Victory, a minimum of one hour a day to renew the personal dimensions, is the key to the development of the Seven Habits and is completely within your circle of influence. It's also the foundation for the Daily Public Victory. It's the source of the intrinsic security you need to sharpen the saw in the social/emotional dimension.
The Upward Spiral.
Renewal is the principle and process that empowers us to move on an upward spiral of growth and change, of continuous improvement.
Education of the conscience is vital to the truly proactive, highly effective leader. Conscience is the endowment that senses our congruence or disparity with correct principles and lifts us towards them. Training and educating the conscience requires regular feasting on inspiring literature, thinking noble thoughts, and living in harmony with its small voice.
Dag Hammarskjold, past Secretary-General of the United Nations, said, "He who wants to keep his garden tidy doesn't reserve a plot for weeds." The law of the harvest governs, we will always reap what we sow--no more, no less.
Moving along the upward spiral requires us to learn, commit and do on increasingly higher planes.
Conclusion - Inside Out Again
There is a gap between stimulus and response, and the key to both our growth and happiness is how we use that space. Do we respond to situations positively, proactively? Are we taking control of our own lives?
Meditating on this idea led Covey to start deep communication with his wife, including more and more discussion of their inner worlds. It was a time of inner discovery.
They developed two ground rules. First, "no probing," just empathize. Probing was too invasive. The second was when it hurt too much, quit for the day.
The most difficult and most fruitful part of this communication came when the vulnerability of each person was touched. They discovered a new sense of reverence for each other. They discovered that even seemingly truthful things often have roots in deep emotional experiences. To deal with the superficial trivia without seeing the deeper, more tender issues is to trample on the sacred ground of another's heart.
The ability to use wisely the gap between stimulus and response, to exercise the four unique endowments of our human nature, empowers us from the inside out. (The four endowments are self-awareness, imagination, conscience, and independent will. See the summary of Habit 1 - Be Proactive.)
By understanding the role of scripting, we understand the transcendent power in a strong intergenerational family. An effectively interdependent family of children, parents, grandparents, aunts, uncles, and cousins can be a powerful force in helping people have a sense of who they are, where they came from and what they stand for.
"There are only two lasting bequests we can give our children. One is roots, the other wings." - Anonymous.

We should make a personal goal of becoming a "transition person," a person who changes the scripts transferred to the next generation from negative to positive by being proactive. This should be part of our personal mission statement. A tendency that has run through a family for generations can stop with one person.

Anwar Sadat, the former President of Egypt, was a powerful transition person for peace in the Middle East. Sadat said, "He who cannot change the very fabric of his thought will never be able to change reality, and will never, therefore, make any progress."
Real change comes from the inside out. Amiel said, "Only these truths... which have become ourselves... are really our life... So long as we are able to distinguish any space whatever between truth and us we remain outside it. To become divine is then the aim of life.... It is no longer outside us, now in a sense even in us, but we are it, and it is we."
To achieve unity with ourselves, our loved ones, our friends, and our working associates, is the highest, best, and most delicious fruit of the Seven Habits.
Building a character of total integrity and living the life of love and service that creates such unity isn't easy, but it's plausible. If we start with the daily private victory and work from the inside out, results will surely come.


Written by : Stephen R. Covey

Baca selengkapnya...