Jumat, 23 April 2010

Hukum Memberi

Alkisah, seekor babi sedang bersungut-sungut dan komplain tentang hidupnya kepada seekor sapi. Dia jengkel karena manusia tidak pernah menghargai hidupnya. Bahkan, namanya sendiri sering kali dipakai untuk memaki.

"Bayangkan, aku dipotong. Lantas hampir semua tubuhku dimakan. Aku dijadikan sosis. Kakiku saja, ada yang mau memakannya," kata si babi dengan marahnya.

Namun, kenapa aku tidak pernah dihargai? lanjutnya. Bahkan, dianggap najis. Bandingkan aku dengan dirimu yang lebih dihargai. Di beberapa tempat kamu dianggap suci.

Si sapi, dengan penuh pengertian, menjawab omongan si babi itu, "Babi temanku. Mungkin perbedaannya adalah kamu memberikannya setelah kamu mati, tetapi aku memberikan semuanya kepada manusia, ketika aku masih hidup!"

Pembaca, kita melihat, banyak orang yang ingin disanjung dan dipuji. Namun, mereka sendiri ternyata pelit sekali untuk memberi. Akibatnya, apa yang terjadi? Mereka pun ternyata jarang dihargai.

Realitanya, ada sebuah aturan prinsip kekal yang disebut law of giving (hukum memberi), yaitu penghargaan yang kita terima berkorelasi positif dengan pemberian yang kita berikan seumur hidup kita.

Perhatikanlah orang-orang terbesar sepanjang sejarah. Para nabi dan orang suci yang mem­punyai umat yang banyak. Salah satu alasannya karena mereka banyak memberi selama hidupnya.

Bahkan, beberapa di antaranya sungguh mengorbankan dirinya, ada yang melakukan perjalanan begitu jauhnya dengan cara keluar dari comfort zone, ada yang menyangkal kehidupan begitu enak yang bisa mereka nikmati, demi orang lain.

Itulah sebabnya, mereka dikenang sepanjang masa. Sebenarnya, bukan hanya dalam hal spiritual, dalam hal kehidupan sehari-hari pun, kita mengenal orang yang dikenang, dihargai karena apa yang mereka beri sepanjang hidup mereka.

Di salah satu kampung teman saya, terdapat sebuah makam yang hingga sekarang masih dikunjungi. Konon, makam itu adalah makam seorang kaya yang paling murah hati.

Pada waktu banyak pengungsian terjadi karena suatu bencana. Si orang kaya ini menyediakan gudang dan rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat penampungan.

Dia pun mengeluarkan banyak uang demi para pengungsi. Dia tidak berhitung-hitung. Maka itu, ketika dia meninggal, bahkan lama setelah meninggal pun, banyak orang yang berdatangan dan menaruh hormat kepadanya.

Hukum memberi yang pertama, kurang lebih berbunyi "Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai". Maka, sebagai konsekuensinya, jika kita tidak pernah memberi kita pun tidak akan pernah menuai apa pun.

Ketika di SMP dulu, saya teringat seorang rekan saya yang sempat begitu iri ketika dia tidak pernah mendapatkan kartu ucapan ulang tahun atau kartu hari raya. Dia membandingkan dirinya dengan temannya.

Maka, kepadanya dia dinasihati. "Temannya yang lain yang sering mendapatkan kartu ucapan karena dia murah hati dan sering kali mengajari rekannya yang lain. Sementara, kamu sendiri sangat pelit berbagi ilmu" Tak heran, dia menjadi jarang diberi karena dia pun jarang memberi.

Hukum memberi yang kedua berbunyi, "Ketika kita memberi. Kita akan mendapatkan balasannya. Mungkin akan langsung kita terima, mungkin juga diterima dalam beberapa generasi yang akan datang, tetapi kemuliaan kita terletak pada ketidakinginan kita untuk mengharapkannya".

Bicara tentang hukum ini, pernahkah Anda baca kisah tentang seorang ibu yang mem­be­ri­kan sebotol susu kepada seorang anak kecil yang kelaparan. Kelak, ternyata ketika ibu ini su­dah tua, dan harus dioperasi, ternyata dia di­to­long oleh seorang dokter muda yang mem­bayari semua ongkos operasinya yang mahal.

Saat, si ibu ini mau membayar, si suster memberinya sebuah surat dari si dokter yang berbunyi, "Semua biaya obat ibu, sudah dibayar lunas dengan segelas susu". Ternyata, si dokter ini adalah bocah yang dulu pernah dibantunya dengan segelas susu.

Sama sekali tidak terbayangkan bahwa kelak si anak gembel yang ditolongnya akan menjadi seorang dokter terkemuka. Itulah nilai dari balasan yang kita terima. Sama sekali kita tidak pernah menduga, pemberian yang kita terima akan kembali dalam bentuk apa.

Namun, lebih baik kita tak mengharapkannya. Toh si ibu itu pun tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menerima balasan apa pun pada kemudian harinya. Justru apa yang diberikannya, ternyata kembali dalam bentuk suprised yang luar biasa.

Hukum memberi yang keempat berbunyi, "Nilai pemberian sebenarnya diukur dari dua hal yakni ketulusan serta nilai pemberian itu sendiri bagi diri kita sendiri". Ada seorang jutawan yang memberikan berjuta-juta uangnya untuk membantu.

Namun, nilai uang itu sebenarnya tak mencapai 1% dari kekayaannya. Maka, sebenarnya nilai pemberiannya itu tidak seberapa dibandingkan dengan seorang pengemis yang rela memberikan uangnya untuk membantu pengemis lain yang mendapat kecelakaan.

Padahal, dia sendiri membutuhkan uangnya. Namun, dia tahu rekannya yang kecelakaan lebih membutuhkan. Di sinilah nilai pemberian menjadi relatif. Pemberian pun diukur dari ketulusan hati orang yang memberikannya.

Bicara soal ini, saya teringat tatkala Bob Geldof dan Midge Ure, pada 1984 mengumpulkan dana melalui album lagu untuk anak-anak yang kelaparan di Ethiopia. Mereka akhirnya bisa mengumpulkan berjuta-juta poundsterling untuk usahanya.

Atas usahanya, Midge Ure dan Geldof pernah berujar, "Kami tidak punya keinginan apa-apa. Saya hanya tergerak mengoordinasi para artis untuk menyanyi. Seharusnya yang mendapatkan nama adalah para artis yang mau datang capai-capai untuk menyanyi.”

Kepada merekalah, lanjutnya, seharusnya kita berterima kasih. Mereka bisa saja memberikan uangnya, tetapi bukan itu yang terpenting. Namun, waktu dan pengorbanan mereka itulah yang paling berharga, yang mesti kita hargai!"

Kalimat Bob Geldof cukup beralasan, karena bahkan Boy George, si penyanyi yang sebenarnya masih kecapaian, rela datang terbang dengan Concorde dari New York hanya untuk terlibat dalam proyek sosial mereka.

Sulitnya melakukan

Berbicara mengenai keempat hukum memberi ini saya pun teringat dengan pepatah, "Mereka yang selalu memberi tanpa mengharapkan apa pun, adalah orang yang pantas mendapatkan cinta. Pada akhirnya, mereka pun akan mendapatkannya".

Kalimat ini sebenarnya diucapkan oleh Bunda Teresa dari Kolkata yang pernah mendapatkan Nobel atas usahanya menolong para miskin. Singkatnya, hukum ini berbicara mengenai filosofi memberi di mana kita justru menjadi orang yang layak menerima karena hidup kita banyak memberi.

Paradoksnya, semakin kita berusaha menahan, mengambil dan berusaha menjaga apapun apa yang kita miliki, maka kita akan lebih banyak kehilangan. Saya sendiri pernah membaca kisah seorang gelandangan yang begitu pelit dalam hidupnya, yang ketika digeledah setelah dia meninggal, ternyata dia punya uang beratus-ratus dolar yang tidak pernah digunakannya.

Pertanyaannya: apa yang kini dia bisa guna­kan dengan uangnya itu? Toh tahukah Anda apa yang akhirnya pemerintah lakukan dengan uang tersebut? Uang itu akhirnya diambil oleh ne­gara untuk membantu gelandangan seperti dirinya.

Akhirnya, tulisan tentang hukum memberi ini tampaknya lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Seperti dikatakan oleh seorang penulis spiritual, "Keinginan daging kita adalah menjadi serakah dan mengumpulkan. Jauh lebih mudah menghidupi logika mengumpulkan bagi kita sendiri daripada memberi bagi orang lain. Namun, mari kita berusaha menjadi berkat bagi orang lain karena hidup kita sebenarnya sudah menerima banyak berkat."


Oleh: Anthony Dio Martin