Kamis, 15 April 2010

Apa Gunanya Perjanjian ACFTA Pasal 6 ?

Upaya melakukan renegosiasi 228 pos tarif ACFTA akhirnya gagal dilakukan sehingga 228 pos tarif tersebut tetap diimplementasikan. Keputusan itu tentu saja mengecewakan para pengusaha karena jauh-jauh hari pengusaha nasional yang bergerak di bidang industri sudah meminta agar pos tarif tersebut diperjuangkan untuk bisa ditunda.

Menteri Perindustrian MS Hidayat menyayangkan kegagalan renegosiasi tersebut, karena sesuai kesepakatan, seharusnya Indonesia tetap dapat memperjuangkan pos tarif yang dirugikan oleh perjanjian tersebut. “Renegosiasi itu hak kita. Pasal 6 (Protokol Kerja Sama ACFTA) menyebutkan, jika ada sektor yang merasa dirugikan berhak mengajukan renegosiasi ataupun modifikasi,” kata Hidayat.

Kepastian tentang gagalnya upaya renegosiasi tersebut dikemukakan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Selasa (6/4) yang menyatakan bahwa proses renegosiasi atau pembicaraan ulang 228 pos tarif ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) sudah final. Ke depan, peningkatan daya saing dan pengamanan pasar dalam negeri menjadi pekerjaan rumah bersama pemerintah dan dunia usaha.
Reaksi KADIN pun tidak berbeda, dan tetap meminta penundaan atas 228 pos tarif ACFTA dan mendesak pemerintah untuk tetap mengusahakan penundaan 228 pos tarif tersebut, selain berusaha meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Menurut Pjs Ketua KADIN, Adi P. Taher, penundaan pos tarif dan bantuan peningkatan daya saing yang dijanjikan China bukanlah opsi yang dapat dipilih salah satu. Penundaan 228 pos tarif itu wajib dan itu ada di pasal enam kerangka perjanjian ACFTA.
Sampai hari ini memang belum nampak reaksi lebih lanjut dari industri-industri yang selama ini disinyalir akan terkena dampak paling parah akibat diberlakukannya perjanjian ACFTA sejak awal tahun ini.
Munculnya Kekecewaan berbagai pihak dengan gagalnya upaya renegosiasi penundaan 228 pos tarif ACFTA, karena dampaknya diprediksi banyak pengamat memang akan sangat luas. Kalau selama ini diprediksi industri nasional yang akan terkena dampak negatif akibat perdagangan bebas ASEAN - China (ACFTA) gambarannya adalah industri-industri besar, ternyata dampak negatifnya juga mengancam industri kecil dan menengah. Hal ini dikemukakan oleh mantan Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro -Jakti.
Bahkan ditegaskan bahwa justru industri skala kecil dan menengah ini yang paling rentan dari banjirnya produk China. Sektor ini tidak tersentuh pihak asing sehingga sangat rentan terimbas FTA (Free Trade Area).
Keberhasilan China selama ini tidak terlepas dari investasi negara-negara maju ke negara tirai bambu tersebut. Jepang, negara-negara Eropa, dan lainnya gencar menanamkan modalnya di China setelah negara tersebut memasuki era keterbukaan.
Menurut Dorojatun, lebih dari separuh ekspor manufaktur China merupakan produk negara-negara maju tadi. Dengan adanya perdagangan bebas yang dimulai 1 Januari 2010, tidak terelakkan produk-produk asal negeri tirai bambu tersebut akan membanjiri Indonesia.
Satu hal yang menarik dari penjelasan Dorojatun adalah, kenyataan itu tidak berarti hancur bagi industri domestik, karena pengusaha Indonesia bisa melakukan konsolidasi dengan perusahan-perusahaan yang berinvestasi di China untuk meningkatkan daya saingnya.
Bahkan dikemukakan bahwa jika investasi di China sudah penuh, bukan mustahil penanaman modal asing dari negara-negara maju tersebut akan berpindah ke Indonesia. Syaratnya menurut Dorojatun, pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur di daerah. Tiga puluh dua persen APBN atau sekitar Rp310 triliun harus diarahkan untuk membangun infrastruktur sehingga bisa menopang sektor industri di daerah.
Namun demikian, hal itu tentu saja tidak mudah dan era perdagangan bebas tahun 2010 bagi industri nasional tetap akan merana, karena untuk sementara harus berjuang keras untuk bersaing melawan produk massal berharga murah yang selama ini datang dari China.
Menunggu investasi di China penuh dan negara-negara maju mengalihkan investasinya ke Indonesia, perlu waktu panjang dan selama itu pula industri nasional harus berjuang, bersaing melawan produk China.
Suka atau tidak suka, kondisi tersebut kini sudah di depan mata, padahal sejumlah industri nasional sudah menyatakan tidak sepenuhnya siap menghadapi situasi ini. Karena itulah, dampak dari pemberlakuan perjanjian ACFTA akan terasa berat karena upaya yang bisa dilakukan untuk bisa meningkatkan daya saingpun tidak banyak, karena sejumlah kendala yang ada mempersulit keadaan. Kita tertinggal dalam pengembangan teknologi, padahal kekuatan daya saing dari sejumlah produk yang ada saat ini ditentukan oleh teknologi yang digunakan.
Iklim usaha di dalam negeri pun tidak sepenuhnya mendukung, terutama masalah ekonomi biaya tinggi yang hingga kini masih juga dirasakan sejumlah pengusaha. Ditambah lagi dengan kendala infrastruktur yang cukup mengganggu, terutama energi listrik.
Lebih dari itu, faktanya di Indonesia, salah satu persoalan yang menghambat pemulihan ekonomi Indonesia adalah pembangunan infrastruktur yang sangat tertinggal di belakang kebutuhan yang semakin meningkat di semua sektor, baik di jalan darat, pelabuhan, lapangan terbang, pembangunan pembangkit listrik, dan yang paling parah adalah air minum.
Untuk mengatasi persoalan ACFTA, tentunya tidak sepantasnya kalau kita harus menunggu sampai investasi di China penuh dan berharap negara-negara maju mengalihkan investasinya ke Indonesia .
Tetapi sejak awal tahun ini pengusaha dan pemerintah harus bersama-sama mencari jalan keluar secepatnya.
Pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif sehingga investor tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena daya tariknya, bukan karena investasi di China sudah penuh.
Dukungan masyarakat pun sangat diperlukan untuk lebih mengutamakan produk dalam negeri kendati harga dan kualitas mungkin masih belum setara. Tetapi ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menyelamatkan industri nasional.
Dukungan seperti itu perlu kita berikan secara maksimal selama industri nasional sendiri belum mampu bersaing secara langsung dengan produk-produk massal berharga murah, yang diprediksi akan membanjiri pasar domestik berkaitan dengan perdagangan bebas ASEAN - China. Dan inilah pekerjaan rumah paling berat yang harus dilakukan bersama oleh Pemerintah dan dunia usaha untuk bisa meningkatkan daya saing, dan terutama untuk menjaga pasar dalam negeri.


Businessnews