Jumat, 02 April 2010

Menyelami Bali Dalam Diri

Setiap kali terbang ke Bali, pemandangan yang sulit dihindari di pesawat adalah banyaknya penumpang dengan rambut berwarna coklat. Kerap terjadi, penumpang dengan rambut coklat lebih banyak dibandingkan dengan yang berwarna hitam. Tidak sedikit diantara mereka yang sudah datang ke Bali berkali-kali. Didorong rasa ingin tahu, ada yang bertanya pada salah seorang wisatawan yang datang berulang-ulang. Dan jawabannya agak mengejutkan, setiap kali dia datang ke Bali, seperti selalu menemukan the hidden treasures of Bali. Bagian-bagian kekayaan Bali yang tersembunyi, itulah yang kerap ditemukan wisatawan ini setiap kali datang dan datang lagi.

Dipancing oleh komentar seperti ini, kalau orang luar yang datang ke Bali, dan setiap kali datang menemukan bagian-bagian lain dari Bali yang tersembunyi, adakah kita orang Bali juga menemukan the hidden treasures of Bali? Ada seorang sahabat yang menemukan pengandaian berguna dalam hal ini. Mendalami kehidupan (baca : menyelami Bali) mirip dengan mengupas bawang merah. Semakin dikupas, semakin putih warnanya. Tambah dikupas tambah putih lagi. Setelah dikupas semuanya, tidak ada yang tersisa terkecuali air mata yang meleleh. Pertanyaannya kemudian, banyakkah di antara orang Bali yang “mengupas” Bali, menemukan wajahnya yang semakin putih dari hari ke hari, dan pada akhirnya meneteskan air mata?

Pulau Persembahan

Dalam sebuah perjalanan, ketika sang hidup mulai menunjukkan bimbingan-bimbingan makna, ada sahabat yang bergumam kecil: “Bali dalam bahasa Pali artinya persembahan”. Ada yang kaget di dalam sini. Terutama karena tidak ditanya, sahabat ini bertutur terus tanpa bisa dihentikan. Padahal, yang bersangkutan bukan orang Bali, tidak tinggal di Bali.

Bagi kita di Bali, setiap hari kita melihat persembahan. Ada peneliti Belanda yang mengunjungi Bali di tahun 1920-an. Menurut peneliti ini, orang Bali ketika itu tidak mengenal istilah kesenian sebagai pertunjukan komersial. Semua gerak kehidupan (dari bertani sampai menari), dilakukan sebagai serangkaian persembahan. Bila boleh jujur, inilah ”silsilah spiritual” orang Bali yang meletakkan semuanya sebagai persembahan.

Wilayah-wilayah persembahan

Pemahaman dan pendalaman seseorang tentang sebuah wilayah, memang amat ditentukan oleh seberapa tekun yang bersangkutan datang memahami wilayah tersebut. Sebut saja seorang sahabat yang bertahun-tahun pekerjaannya hanya melihat peta kota London. Tentu saja kedalaman pemahamannya berbeda dengan seseorang yang belum pernah melihat peta London, namun puluhan tahun sudah tinggal menetap di sana. Hal yang sama juga terjadi dalam wilayah-wilayah persembahan.

Mempelajari peta (baca: mempelajari sastra) tentu saja baik dan berguna. Namun, hanya dengan memandanginya, manusia hanya memahami serangkaian wilayah secara amat terbatas. Berangkat, berjalan, lihat dan pahami, itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh setiap manusia yang mau memahami serangkaian wilayah.

Hal yang sama juga terjadi dengan wilayah-wilayah persembahan. Belajar tentang asal usul serta pilosopi persembahan tentu baik, tetapi hanya yang melakoninya penuh kedalaman sekaligus keheningan yang bisa tergetar di wilayah-wilayah persembahan.

Sebagaimana wilayah lain dalam kehidupan, wilayah-wilayah persembahan juga ditandai oleh sejumlah keluhan. Tidak sedikit sahabat yang mengeluh mahal. Bahkan ada segelintir orang yang berpikir pindah agama karena mahalnya ongkos menjadi orang Bali. Bagi pencinta keheningan dan kejernihan, pengertian sebagai peta memang bukan syarat mutlak dari dimulainya perjalanan. Kerap terjadi, penekun keheningan dan kejernihan aman serta nyaman berjalan bahkan tatkala tidak tahu. Melakukan persembahan, itu dan hanya itu. Sering tidak bernama, tidak bersuara, tidak ada tangan manusia yang mencatat. Namun, toh itu dilakukan terus menerus.

Ada memang yang memberi sebutan bodoh akan hal ini. Ketika ditanya, kenapa persembahannya seperti ini dan seperti itu, sebagian pencinta keheningan malah bertanya balik: apa semuanya harus dimengerti? Sebagian di antara yang sedikit itu bernama Eugen Herrigel. Dalam Zen in the art of archery, ia menulis: let’s stop talking and go on practicing. Mari berhenti berdebat, lakukan persembahan terus menerus. Mengutip pendapat guru Takuan, Herrigel juga menulis: perfection in the art of swordsmanship is reached when the heart is troubled by no more thought of I and You – no more thought even of life and death. All is emptiness. Kesempurnaan, menurut Takuan, dicapai ketika batin tidak lagi diganggu oleh pikiran tentang saya dan Anda. Bahkan hidup mati pun sudah tidak dipikirkan lagi. Semuanya hanya hening, sepi, sunyi.

Eugen Herrigel belajar Zen di Jepang. Takuan juga seorang guru pedang dari Jepang. Dan kita di Bali tentu saja punya guru-guru yang tidak kalah mengagumkannya. Bedanya, sedikit dari karya-karya guru kita terdahulu yang ditulis serta disebarkan ke seluruh dunia. Sastranya, sebagian bisa ditelusuri melalui nama-nama yang diberikan pada tempat-tempat suci yang berumur tua dan lama. Di sebuah kawasan di Kintamani Bangli, di mana alam memberi tanda-tanda dalam bentuk 11 gunung dan 11 patirtan (sumber air suci), tetua di sana memberi nama salah satu Pura dengan nama Pura Puseh Meneng. Seperti sedang berbisik: diam, tenang, hening, sepi. Dalam diam (meneng) seseorang sedang berjalan di wilayah-wilayah persembahan.

Di desa Tajun Bali Utara, di bagian teratas batas desa yang berisi sumber air yang tidak pernah habis, tetua memberi nama Pura dengan Pura Mengening. Ini lebih jelas lagi, tidak ada yang lain kecuali: hening! Sebagian mantra upacara orang Bali mulai dengan kalimat bhur bvah svah (alam bawah, tengah dan atas) sebagai sebuah tatanan kosmik yang menyatu rapi dalam diam dan hening.

Ini memberi inspirasi, persembahan memiliki beberapa wajah. 0rang kebanyakan melakukan sembah raga. Kerja bakti, ngayah di Pura, mejejahitan adalah sebagian contoh sembah raga. Dalam tingkatan persembahan ini, manusia kebanyakan menggunakan badannya untuk menyembah. Berikutnya sembah rasa. Di tingkatan ini, badan bukan satu-satunya alat melakukan persembahan. Menyayangi semua mahluk, tidak menyakiti. Intinya banyak memberi. Bukan karena mau dipuji. Tetapi karena melalui rasa semuanya terhubung dalam sebuah jejaring yang rapi. Bila menyayangi akan disayangi. Jika menyakiti akan disakiti. Dan di jalan rasa ini, banyak yang meneteskan air mata. Bukan karena sedih, melainkan karena jiwa mulai rindu pulang. Tingkatan ketiga adalah sembah rahasia. Ini banyak dilakukan oleh orang-orang Tantra. Makanya dalam Tantra ada guru hidup, guru buku suci, guru simbolik dan guru rahasia di dalam diri. Itu sebabnya salah satu arti Tantra adalah rahasia. Dalam bahasa tetua Bali: meneng, hening, sunyi, sepi, suwung, kolok.

Bila ada sahabat yang berjalan perlahan dalam diam dan hening di wilayah-wilayah persembahan, sekaligus menyatu rapi dalam tatanan kosmik bhur bvah svah, apa yang disebut wisatawan di awal tulisan ini dengan the hidden treasures of Bali (kekayaan spiritual yang tersembunyi), tidak lagi menjadi monopoli wisatawan. Ia juga menjadi kekayaan orang-orang yang lahir, tumbuh, besar, tua dan mati di Bali. Dan ketika menemukan Bali di dalam diri, air mata tanpa terasa menetes, karena sangat tersentuh oleh demikian indah dan agungnya alam Bali. Tanpa gerakan bibir ada yang berbisik di dalam sini: matur suksma! Yang dalam bahasa sederhana diterjemahkan menjadi menghaturkan jiwa. Bahkan jiwa ini pun ia persembahkan. Memodifikasi pendapat Mahatma Gandhi yang menyebut my life is my true message, orang jenis terakhir akan berbisik my life is my true offering. Hidup sayalah persembahan saya yang sesungguhnya.

Mungkin itu sebabnya, Kahlil Gibran dalam The Prophet menulis: “Your life is your true Temple”. Hidupmulah tempat ibadahmu yang sesungguhnya.

Siapa saja yang sudah sampai di sini, tersedia banyak sekali hal di Bali yang bisa “dibaca”. Di kepala pulau Bali, di mana manusia bisa melihat matahari terbit sekaligus matahari tenggelam, tetua memberi nama desa dengan Kubutambahan. Kubu itu rumah, tambah itu positif. Rumah untuk mereka yang berfikir positif. Di kaki pulau Bali, di mana manusia bisa melihat matahari terbit sekaligus puncak Gunung Agung, nama desa versi tetua adalah Sanur. Sa dalam bahasa Bali artinya satu. Nur itu cahaya. Cahaya yang satu. Ubud yang berarti ubad (obat untuk penyembuhan) terletak di Bali Tengah. Seperti sedang bercerita, bila mau tersembuhkan (tercerahkan) jangan lupa mengambil jalan tengah. Semua bentuk ekstrimitas dihindari.

Dengan teropong ini, tidak saja secara fisik Bali itu indah. Secara spiritual juga indah sekali. Kaki melangkah diterangi cahaya yang satu, kepala diisi dengan hal-hal positif. Sebagai hasilnya, hidup pun tersembuhkan (tercerahkan). Cirinya, selalu melangkah di jalan tengah. Dan puncak jalan tengah bernama Shunya, Embang, meneng, hening, sepi, sunyi. Bukan sembarang sunyi. Bukan sunyi yang tidak peduli. Melainkan sunyi yang diisi dengan menyayangi. Sebab sunyi baru sempurna bila diisi menyayangi. Menyayangi baru sempurna bila dilakukan dengan batin yang sunyi (baca: tanpa keakuan).


Gede Prama