Senin, 19 April 2010

HSBC dan Cara Berbahasa Kita

Iklan HSBC "bank lokal milik dunia" (aslinya "world's local bank") sungguh menggugah. Adagium "berfikir global, bertindak lokal" mewujud nyata lewat itu, sementara kesadaran beridentitas terusik karenanya.

Di luar motif ekonomi di baliknya, HSBC memesankan bahwa berpandangan global tidak harus berbusana serba global. Perspekfif ini kebalikan dari cara berbahasa kita yang belakangan ini senang berbahasa orang lain justru ketika ada di lingkungan sekebudayaan.

Pada iklan HSBC ada upaya meleburkan diri dengan masyarakat, sebaliknya pada konteks bagaimana kita berbahasa, ada kecenderungan menjauh dari akar masyarakat karena atribut dan identitas lokal ditanggalkan.

Saking menjauh dari akar, ada ajakan bersatu di bawah panji nasionalisme, tapi disampaikan dalam bahasa yang bukan ciri nasional dari nasionalisme itu.

Setelah Bom Mega Kuningan mengguncang Jakarta, warga bersatu melawan terorisme di bawah slogan Indonesia United, para penyanyi top menggelar konser amal di bawah tajuk Indonesia Unite Rise, sedangkan penyelenggara negara menggunakan summit untuk acara yang sama dengan "rembug, temu, pertemuan atau lokakarya" dalam Bahasa Indonesia.

Bahasa seperti sedang dipahami terpisah dari wilayah dan bangsa, padahal ketiganya saling menopang. Bahkan, para perintis negeri ini memaklumatkan kesatuan ketiga pilar nasionalisme itu dalam Sumpah Pemuda.

Bahasa Indonesia kian melepuh keutuhannnya, justru ketika properti dan khasanah negeri diklaim negara lain, dari pulau sampai tarian. Atas nama modernitas dan globalisasi pula, Bahasa Indonesia (apalagi bahasa daerah) dicampakkan.

Padahal, meminjam kalimat antropolog Wilhem von Humbolt, bahasa adalah dari mana konsep bangsa bertemu dan karakter bangsa tersingkap. Ia adalah awal dari mana sekumpulan manusia membentuk bangsa.

Bahasa adalah nilai, jati diri, identitas, dan karakter.

Sejumlah bangsa, Prancis misalnya, amat memuliakan bahasanya sampai berbahasa asing di negerinya sendiri pun seolah terlarang. Thailand yang menggantungkan diri pada jutaan orang asing yang berwisata ke negeri itu, sangat membanggakan bahasa dan tulisan Thai-nya.

Sementara Singapura dan India memaksa Bahasa Inggris mengawini lokalitas sehingga orang India dan Singapura berbahasa Inggris dengan dialek lokal yang medok, seolah ada versi Bahasa Inggris selain American English atau British English.

Sebaliknya sebagian dari kita merasa kurang afdol berbahasa Inggris jika masih menyisakan logat Jawa, Sunda atau aksen lokal lainnya. Seolah semuanya harus dengan totalitas yang seinggris atau seamerika mungkin.

Lain hal, kita cenderung menganggap bahasa sendiri sebagai kuno, sampai kantor-kantor pemerintah ikut berslogan keinggris-inggrisan, padahal mereka ada kampung di mana masyarakat hanya memahami Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Anda mungkin menganggap kritik itu sebagai penolakan terhadap fakta bahwa Indonesia adalah warga global yang selayaknya berbahasa global (Bahasa Inggris) pula. Tapi mengapa sejumlah bangsa seperti Jepang yang justru negeri paling sering melancongi negeri lain, tidak melakukan itu?

Globalisasi memang niscaya, tetapi memeluknya sembari membunuh nilai lokal adalah berlebihan.

Palsu

Kita takjub berlebihan pada globalisasi sehingga otoritas diri kita sendiri dibenamkan untuk kemudian bersikap dan berprilaku seglobal mungkin karena menganggap itu satu-satunya cara memasuki pintu perkawanan global; entah politik, kebudayaan, atau ekonomi.

Ironisnya, itu subur bersemayam di pikiran elite yang berpengaruh terhadap publik.

Elite, mengutip tesis Thomas Ricento dalam "An Introduction to Language Policy", memang cenderung berbahasa asing karena menganggap globalisasi itu monosentrik; berpusat pada sistem ekonomi, keuangan dan politik berbahasa Inggris.

Thomas mengatakan, elitelah yang mendorong negara memakai Bahasa Inggris agar selalu dekat dengan para pemegang kunci keuangan global seperti Amerika Serikat dan lembaga supervisi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia.

Artinya, akan lebih mudah mendapatkan dukungan mereka jika Anda berbahasa seperti mereka berbahasa.

Banyak yang berhasil, tapi banyak yang hilang jati dirinya, sementara karakter nasional mengeropos sehingga masyarakat linglung, hidup di bawah ketidakorisinilan. Kaki menginjak tanah, pikiran mengembara ke bulan.

Filsuf Johann Gottfried Herder menyebut mereka yang berbicara dalam bahasa asing di negerinya sendiri sebagai kaum yang menyelami kehidupan palsu, yang terpisah dari ranahnya.

Herder memandang bahasa adalah nilai inti dari semangat nasional, sebuah pandangan yang sealiran dengan ide Bennedict Anderson yang bukunya "Imagined Communities" dipelajari luas di Indonesia.

Ben Anderson bilang, bahasa amat menentukan pembangunan karakter bangsa.

Tetapi kepalsuan seperti disebut Herder telah membuat sejumlah bangsa sulit membuat ajeg karakter nasionalnya.

Dalam konteks Indonesia sendiri, karakter nasional memang lahir diantaranya dari bahasa. Bahasalah yang mempersatukan puluhan suku bangsa di Nusantara. Semua sepakat bahwa Bahasa Indonesia adalah anak kandung bangsa ini, dan menjadi salah satu kunci pengikat sosial terkokoh.

Secara historis, tulis sejarawan Eric Hobsbawn dalam "Invention of Tradition," pada setiap perjalanan sejarah, bahasa selalu menjadi fondasi kekuatan, status, politik dan ideologi sebuah bangsa.

Sayang, belakangan hal itu menguap dari kita karena pejabat, selebritis, media, intelektual, dan kaum bisnis enggan meninggikan Bahasa Indonesia karena dianggap kurang profesional, kurang intelek, dan tak memesankan modernitas.

Parahnya, anggapan itu dibarengi oleh ekspos gaya hidup yang tidak menapaki akar masyarakat; bergaya hidup global, misal keamerika-amerikaan.

Lucunya, kolumnis Thomas L. Friedman dalam "Hot, Flat and Crowded" menyebut keamerika-amerikaanlah yang membuat dunia tak memiliki solusi lain ketika harus menyelamatkan kehidupan yang dirusak konsumerisme gaya Amerika.

Dunia, termasuk kulturnya, kian brutal dijarah demi laba dan gaya hidup, sampai kemudian balik menyerang dengan bencana alam.

Itu kebalikan dari iklan HSBC yang justru mengenalkan perspektif lain bahwa praktik globalisasi tidak harus dengan menanggalkan label lokal.

Itu pula yang dilakukan Korea, China, Jepang, Jerman dan banyak lagi, saat mengarungi dan kemudian memenangkan persaingan global.

Mereka menilai berbahasa adalah awal membangun kecintaan kepada negara, untuk kemudian menjadi pemecut rasa bangga memakai segala identitas, produk dan kebudayaan lokal.

Teladan

Di negeri-negeri itu, produk asing tidak laku karena terhalang kecintaan penduduk pada produk domestik, sementara budaya asing tak serta merta diadopsi, melainkan diseleksi dan diadaptasikan dengan konteks lokal.

Lihatlah film-film India yang dianggap kebanyakan orang Indonesia kampungan itu, atau sinetron-sinetron Korea yang "begitu timur" itu.

Mereka adalah dua bangsa yang inklusif dan karib budaya global, tapi produk-produk budaya populer mereka selalu dengan bangga memuatkan nilai, cara hidup dan atribut lokal.

Seorang teman yang bekerja dua tahun di Korea Selatan mengisahkan satu pengalaman unik bahwa selama dua tahun bolak balik Pusan-Seoul, dia jarang sekali melihat kendaraan mewah buatan asing (BMW) lewat di jalan raya Korea.

Sekalinya melihat, teman saya itu kian terkejut karena mendapati orang-orang Korea mengomeli si pemakai mobil asing itu dengan "Lihat tuh orang sombong."

Di Thailand lain lagi, hotel-hotel bintang lima tak merasa kampungan menawari tamunya jambu dan buah asli Thailand lainnya. Jangan harap hotel-hotel berbintang di Indonesia menawarkan manggis, nangka atau buah asli Indonesia lainnya kepada tamunya.

Kita telanjur mengartikan modernitas dan globalisasi sebagai hidup serba asing dan merasa rendah mengenakan label-label lokal.

Mungkin itu yang membuat negara-negara seperti Malaysia asyik mengambili kekayaan negeri kita.

Orang-orang Malaysia itu mungkin berkata, "Karena kalian tidak mau menggunakannya, malu memakainya, merasa kampungan mengenakannya, biar kami yang mengurusnya. Kami tahu kalian senang melupakan asal usul kalian dan gemar memburu sesuatu di luar sana, padahal negeri kalian menyediakan segalanya. Kalian dibutakan oleh dunia yang kian didorong seragam, sampai lupa bahwa kekhasan dan keunikan adalah kekayaan yang membuat negeri lestari dan sejahtera."

Kita mesti mengoreksi sikap, dan bahasa adalah awal dari koreksi itu.

Bukankah kita pada masa lalu, pada masa rezim-rezim lewat seperti Orde Baru telah menyadarinya, bahwa bahasa adalah unsur kekuatan nasional. Pada masa lalu, toko-toko dan papan reklame bahkan diwajibkan berbahasa Indonesia.

Itu memesankan pada kita bahwa fondasi nasional memang mesti diawali dari bagaimana bahasa sendiri dimuliakan.

Kita perlu mengulanginya sekarang, tentu saja tanpa paksaan.

Jika kita sepakat memuliakan lagi Bahasa Indonesia (syukur-syukur juga bahasa daerah), maka --meminjam tesis Thomas Ricento-- para pemimpin, pembuat undang undang, pendidik, ahli bahasa, dunia bisnis, dan iklanlah yang harus mengawali kecintaan pada bahasa sendiri itu.

Tak perlu radikal, cukup sedikit teladan dari mereka yang memiliki pengaruh kepada publik, maka kita bisa menciptakan perbedaan.


Jafar M Sidik