Jumat, 16 April 2010

Para pengkhianat

Dalam diskusi malam itu, sahabatku membawa tema pengkhianatan. Nama Yudas Iskariot jadi topik pembahasan. Maklum, baru saja pekan lalu, dia merayakan Paskah dan memperingati kematian Yesus Kristus.

“Yudas masih ada di sekitar kita. Pengkhianatan adalah tema yang relevan bagi bangsa kita yang sedang sempoyongan,” demikian sahabatku berkeyakinan.

Perhatikan saja, lanjut dia, banyak pemimpin di negeri ini mengkhianati janjinya, politisi tidak setia pada ucapannya saat berpidato di depan konstituen.

Bukannya memperjuangkan kesejahteraan rakyat, sebaliknya mereka mengorup uang rakyat. Korupsi adalah pengkhianatan terhadap publik yang seharusnya mereka layani.

Banyak jenderal yang setiap pagi berdiri tegap ketika menghormati bendera merah-putih, tetapi melakukannya tanpa hati. Buktinya, setelah itu mereka tidak malu-malu merampas hak-hak warganya sendiri.

Untuk melengkapi rujukan pengkhianatan, kami berangkat lebih jauh lagi. Lalu, nama Brutus pun terseret masuk dalam permenungan itu. Tak terhindarkan, William Shakespeare dijadikan rujukan.

Dalam karya drama bertajuk Julius Caesar, Shakespeare menggambarkan detik-detik terakhir kehidupan sang kaisar. Ketika Brutus dengan sebilah belati datang dan akan menghujamnya ke tubuhnya, Julius berujar, ” Et Tu, Brute?”

“Dan engkau juga Brutus?” Mana mungkin, Brutus yang ‘orang dekat’ melakukan itu? Julius semula ragu. Tapi, keraguan itu menghilang ketika dia mulai mengerang kesakitan dan merasakan semburan darah dari tubuhnya yang terluka.

Bernama lengkap Marcus Junius Brutus, politikus yang pernah masuk dalam lingkaran utama kekaisaran Roma itu hidup pada periode 85 sebelum Masehi hingga tahun ke-42.

Ayahnya dibunuh oleh Pompey Magnus. Ibunya Servilian Caepinius, saudari tiri Cato yang pernah menjadi Gubernur Ciprus. Ibunya itu kemudian menjadi selir Julius Caesar.

Pada tahun 49 SM, ketika terjadi percekcokan antara Pompey dan Julius, Brutus bergabung dengan Pompey. Saat itu Kaisar berpesan kepada pasukannya, bila Brutus menyerahkan diri secara sukarela, jangan bunuh dia, tetapi tahanlah dia di dalam penjara. Andaikan dia melawan, jangan lukai dia. Julius memang mencintai Brutus.

Ketika perang Pharsallus berakhir, Brutus menulis surat meminta maaf kepada Julius. Dalam surat itu dia mengumbar gairah dan komitmennya untuk memajukan demokrasi di Roma.

Permohonan maaf Brutus diterima. Dia diterima sebagai kerabat dekat dan kemudian diangkat menjadi gubernur di daerah jajahan yang bernama Gaul.

Pada 44 SM, Brutus terlibat dalam konspirasi untuk membunuh Julius Caesar. Terutama setelah kaisar memproklamasikan diri sebagai pemimpin diktator seumur hidup.

***

Kendati telanjur menjadi simbol pengkhianatan, Shakespeare tetap menaruh hormat kepada orang ini. Dia memperlihatkan rasa hormatnya kepada Brutus karena kesetiaannya kepada warga Roma. Ini yang terbaik bagi Roma, demikian Shakespeare dalam sebuah solilokuinya.

Shakespeare meletakkan kalimat ini dalam mulut Brutus. Kalau ada seorang bertanya kepada saya mengapa membunuh kaisar, jawabannya adalah “bukan karena saya membenci kaisar, tetapi karena saya mencintai Roma.”

Kisah Brutus memang sangat mirip dengan Judas Iskariot. Yang satu terkait tokoh Julius Caesar, pemimpin yang paling berpengaruh di Roma saat itu. Di kisah yang lain ada Yesus, pemimpin yang di atas salibnya tertulis Iesus Nazaremus Rex Iodaorum (Yesus orang Nasaret, Raja orang Yahudi).

Akan tetapi, yang lebih penting, kedua tokoh itu meninggal karena konspirasi politik musuh-musuhnya. Brutus dan Judas bagian dari konspirasi itu.

Judas adalah salah satu dari 12 murid Yesus yang kemudian mengkhianati gurunya untuk mendapatkan uang sebanyak 30 keping perak. Karena penangkapan harus dilakukan pada malam hari, dia diminta untuk menunjukkan di mana Yesus berada.

“Kemudian seorang dari dua belas, disebut Yudas Iskariot, pergi kepada imam-imam kepala dan mengatakan,” Apa yang akan diberikan kepadaku kalau aku memberikan-Nya kepada Anda?. “Mereka lalu membayarkan tiga puluh keping perak. Sejak saat itu ia mencari kesempatan untuk mengkhianati Dia.” (Matius 26:14-16)

Perhatikan juga pertarungan bathin Brutus yang dilukiskan oleh Shakespeare. “It must be by his death: and, for my part, I know no personal causes to spurn at him, but for the general. He would be crown’d: How might that change his nature, there’s the question. It is the bright day that brings forth the adder; And that craves wary walking.” (Julius Caesar I, iii. 10-15)

Dalam kedua kisah di atas, para pengkhianat hadir di tengah masa yang mudah diperdaya, publik yang gampang dimanipulasi.

Dalam kisah Julius Caesar, setelah pembunuhan Caesar, Brutus memberikan pidato di tengah kerumunan orang Roma.

Dengan pidatonya itu dia berusaha meraih simpati dengan memberikan argumentasi mengapa Julius Caesar harus mati. Dia menonjolkan keberhasilannya, kendati seperti yang diakuinya, itu hanya untuk sesaat.

Namun, kemudian Antonius yang berbicara setelah itu atas nama kaisar membantah argumentasi Brutus dengan menegaskan bahwa bukan kaisar, tetapi bahwa tindakan konspirator itu yang berbahaya.

Dalam kisah Yesus pun demikian. Orang banyak pun juga dimanipulasi oleh para konspirator. Pada saat itu, Pilatus, wakil kaisar Roma di Yudea yang tidak menemukan kesalahan Yesus memberikan pilihan kepada mereka apakah harus membebaskan Yesus atau seorang tahanan yang lain yang bernama Barabas. Mereka lebih memilih Barabas.

Akhir yang tragis

Seperti diakui Brutus, keberhasilannya cuma sesaat. Lebih dari itu, para pengkhianat itu mengakhiri hidupnya secara tragis. Mereka membayar keputusan mereka secara mahal, mereka membunuh dirinya sendiri.

Brutus mati dengan pedang hambanya, sementara Yudas pergi menggantung diri setelah penyaliban Yesus, gurunya.

Kisah Yudas dan Brutus terasa belum cukup menggambarkan situasi di dalam negeri. Kita harus membuka lagi kisah tentang Ken Arok dengan alur cerita dan penggambaran watak yang tidak kalah kompleks.

Tokoh politik dari kerajaan Jawa tidak hanya bercerita tentang pengkhianatan, tetapi dendam yang membara di antara mereka.

Berdasarkan naskah Pararaton, dia tidak hanya membunuh Tunggul Ametung orang yang harus dikawalnya di Tumapel, tetapi juga merebut istrinya, Ken Dedes. Tumapel adalah bagian dari Kerajaan Kediri saat itu.

Sebelum itu, Ken Arok juga membunuh sahabatnya, Mpu Gandring yang diminta untuk membuat keris pusaka yang akan digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung.

Aluran ceritanya sudah akrab di telinga kita. Ketika dia memesan keris, Mpu Gandring menjanjikan selesai dalam setahun. Namun, baru 5 bulan dia datang untuk mengambil keris yang belum selesai. Dia merebut keris itu dan menghujamnya ke dada si pembuat keris.

Setelah kembali ke Tumapel dia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira keris itu adalah milik Kebo Hijo.

Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk alkohol. Tunggul Ametung di bunuh di atas ranjang disaksikan Ken Dedes. Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan di tubuh majikannya. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes.

Ken Arok lalu juga kemudian mengkhianati kesetiaanya terhadap pusat dan memberontak kepada Kediri pada 1222 dan dia menjadi raja pertama.

Seperti Brutus, Ken Arok kelihatan berhasil, tetapi itu hanya sesaat. Dia terkena kualat ramalan bertuah Mpu Gandring bahwa keris sakti itu akan memakan korban tujuh nyawa.

Ken Arok kemudian dibunuh oleh Anusapati, anak Tunggul Ametung yang dikandung Ken Dedes saat kematian ayahnya.

Maka lengkaplah kisah para guru ‘pengkhianatan’, dari Brutus hingga Ken Arok. Kisah dengan perwatakan yang kompleks, cukup menggambarkan naluri saling berkhianat dan dendam para pejabat di negeri kita.

Hiruk pikuk politik dalam beberapa bulan terakhir adalah cerita tentang dendam para pengkhianat yang saling membongkar kebobrokan.

Di tengah aksi tuding seperti itu, publik yang mudah dimanipulasi terkadang gamang mengambil sikap. Siapa yang harus dibela? Para pengkhianat itu? Ah, tentu saja tidak!

Yang jelas, sekalipun ada dari mereka yang bersedia ‘menggantung diri’ seperti Yudas, mereka toh akan tetap dikenang sebagai pengkhianat. Kasihan…


Bisnis Indonesia