Rabu, 14 April 2010

Merenungkan Kondisi Bangsa

Dalam empat bulan terakhir, kondisi bangsa menunjukkan sebuah situasi paradoksal. Di satu sisi, demokrasi tampak semakin tegar dan kokoh. Namun, di sisi lain, semakin banyak persoalan yang mencuat ke permukaan yang membuktikan bahwa demokrasi belum dapat menciptakan kondisi ideal dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Transparansi yang menjadi kunci pembuka kotak pandora kian mempertegas bahwa semakin ditelusuri ke dalam, semakin ditemukan banyak kejanggalan dan penyimpangan di dalam pelaksanaan pemerintahan dan penegakan hukum.

Akhir tahun lalu skandal Century mencuat ke permukaan, dan masih menjadi perbincangan hangat hingga sekarang. Selang beberapa pekan kemudian, mencuat pula isu mafia hukum dan makelar kasus di tubuh institusi kepolisian. Untuk kasus yang satu ini, nama Komisaris Jenderal Susno Duadji menjadi semakin populer. Di mata publik, mantan Kabareskrim ini boleh jadi dianggap sebagai pahlawan. Tetapi di mata petinggi Polri, ia dianggap sebaliknya. Bersamaan dengan lantunan nyanyian Susno, terkuaklah makelar kasus pajak di lingkungan Ditjen Pajak yang diduga melibatkan sejumlah petinggi Polri, pejabat Ditjen Pajak, dan kejaksaan. Kasus ini tidak pelak meroketkan nama Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak yang sempat melarikan diri ke Singapura sebelum akhirnya menyerah. Bahkan minggu terakhir Maret kemarin terkuak lagi penangkapan Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Ibrahim yang tengah menerima uang suap dari pengacara Adner Sirait.
Skandal Century, mafia hukum dan makelar kasus di tubuh Polri dan makelar pajak di lingkungan Ditjen Pajak merupakan contoh kasus yang layak menggugah kesadaran kita sebagai bangsa untuk bersama-sama merenungkan kondisi bangsa ini ke depan. Kontemplasi atau perenungan ini layak bahkan mesti dilakukan oleh karena di tengah optimisme yang terus dihembuskan pemerintah dan berbagai jajarannya, satu per satu kebobrokan di dalam tubuh penyelenggara negara dan pejabat publik justru memperlihatkan adanya upaya sistematis dari sejumlah kalangan untuk mengkhianati rakyat. Di satu sisi, rakyat berbahagia sebab setiap terjadi kasus-kasus serupa, selalu muncul pernyataan dan janji dari penyelenggara negara untuk segera melakukan pembenahan. Namun, semakin banyak kasus yang terkuak, sebetulnya semakin mekar pesimisme dan antipati rakyat kepada penyelenggara negara itu. Pada akhirnya, rakyat lalu berkesimpulan bahwa penguatan institusi demokrasi tidak berjalan paralel dengan penguatan komitmen kebangsaan para penyelenggara negara.
Kalau kita mau berterus-terang, harus dikatakan bahwa mencermati kondisi bangsa saat ini, jelas sekali bagaimana optimisme dan pesimisme itu hanya dibatasi oleh sebuah garis yang sangat tipis.
Pada waktu-waktu tertentu keduanya bahkan saling bercampur-aduk. Itu menunjukkan bahwa pemerintah dan segenap penyelenggara negara belum mampu memelihara konsistensi agar optimisme yang ditiupkan dapat terus berhembus hingga berwujud menjadi sebuah pencapaian dan prestasi yang secara riil dinikmati seluruh rakyat.
Demokrasi memang tidak dibangun dalam semalam. Demokrasi pun tidak mungkin dapat dibangun oleh manusia-manusia yang tidak demokratis. Tetapi agar seluruh elemen bangsa merasa berkewajiban menjaga dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi, demokrasi itu sendiri mestinya mampu menampakkan seberkas cahaya di ujung terowongan yang gelap gulita. Berkas cahaya itu dapat diterbitkan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara, termasuk kepolisian, kejaksaan, kantor-kantor pelayanan pajak, dan sebagainya. Terlebih lagi aparat negara yang menjadi simbol dan penyelenggara pemerintahan. Mereka inilah yang menjadi ujung tombak dari setiap upaya mewujudkan tujuan bernegara. Maka, manakala mereka justru melakukan tindakan yang melawan arus kewajiban mereka, wajar jika timbul kegemparan dan kemarahan rakyat.
Munculnya sosok yang berani mengambil risiko seperti Susno Duadji barangkali memang diperlukan saat ini. Soalnya, transparansi yang membonceng di belakang gerbong demokrasi dan reformasi belum juga mampu melahirkan perbaikan menyeluruh dan mendasar di dalam tubuh lembaga penyelenggara negara. Oleh sebab itu, mutlak dibutuhkan cara lain untuk membongkar berbagai skandal yang selama ini dianggap sebagai sebuah kelaziman di tubuh penyelenggara negara. Apa yang dilakukan oleh Susno merupakan sebuah tindakan untuk menghentikan apa yang disebut delict continuatum atau upaya melanggengkan tindak pidana. Tiadanya upaya sungguh-sungguh dan terus-menerus untuk memberantas mafia hukum dan makelar kasus serta menindak tegas pelakunya merupakan sebuah bentuk delict continuatum itu. Akibatnya, transisi kepemimpinan selalu melahirkan fenomena damnosa hareditas, yakni pemimpin baru terpaksa menerima warisan yang justru mencelakai diri sendiri.
Benar bahwa perbaikan menyeluruh dan permanen tidak dapat diwujudkan hanya dengan melakukan perenungan atau kontemplasi dimaksud. Kendati begitu, perenungan paling tidak diharapkan menjadi semacam upaya secara sadar untuk melakukan retrospeksi dan introspeksi kolektif. Lebih dari itu, yang sangat diharapkan adalah bahwa dengan berhembusnya isu praktik mafia hukum dan makelar kasus dalam beberapa bulan terakhir ini dapat memastikan dimulainya perbaikan dan reformasi menyeluruh dan mendasar di tubuh Polri, Ditjen Pajak, Kehakiman, Kejaksaan, dan Pengacara. Dengan pembenahan dan perbaikan menyeluruh dan permanen itu, diharapkan institusi tersebut melangkah ke depan dalam kondisi bersih dari noda yang selama ini menempel di tubuhnya. Singkat kata, rakyat tidak ingin lagi mendengar adanya praktik mafia hukum dan makelar kasus di lembaga-lembaga tersebut.


Businessnews