Sabtu, 10 April 2010

Menyongsong Indeks Menuju Level 3.300

Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam dua tahun terakhir ini cukup mengesankan sekaligus mencengangkan. Disebut mengesankan, karena indeks terus melonjak dari level 1.500 dua tahun lalu menjadi 2.600-an di penghujung tahun 2009 silam. Lalu terangkat lagi menuju level 2.880-an di pekan ini.

Kenaikan indeks disebut mencengangkan, karena terjadi di saat dunia sedang dilanda krisis keuangan hebat dan hingga kini belum sepenuhnya pulih. Memasuki tahun 2010, ketika signal pemulihan ekonomi dunia sudah terdeteksi, gerak indeks dalam sebulan terakhir bisa membuat investor terjebak.
Di samping fluktuasinya sangat tinggi, polanya juga sulit ditebak. Beberapa kali gerak indeks tidak berjalan paralel dengan indeks regional dan global, seperti lazimnya selama ini. Setelah mencapai titik tertinggi selama pascakrisis tahun 2008 di level 2.667,3 pada tanggal 20 Januari 2010 lalu, indeks melanjutkan penguatan secara konsisten. Pada perdagangan Selasa (6/4), indeks sempat ditutup turun tipis 1,575 poin setelah sempat naik tajam menembus level 2.900. Penguatan saham sektor pertambangan dan konsumsi berhasil menahan laju penurunan indeks.
Indeks dibuka naik tipis ke level 2.888,806 dan langsung menguat hingga sempat menyentuh level 2.911,463 atau naik 24 poin dari penutupan sebelumnya di level 2.887,246 (5/4). Penguatan indeks di awal perdagangan dipicu oleh perburuan selektif atas sejumlah saham-saham unggulan di berbagai sektor, khususnya sektor pertambangan dan konsumsi serta beberapa saham unggulan sektor perbankan.
Saat ini pergerakan indeks kembali ke jalur yang relatif normal untuk menemukan valuasi yang wajar. Jadi, sekarang adalah momentum yang tepat bagi pemodal untuk masuk ke pasar saham. Meski dalam jangka pendek ketidakpastian masih menyelimuti bursa, diyakini investasi di saham masih memberikan hasil terbaik dibanding jenis portofolio lain.
Gain tahun ini tidak akan sefantastis tahun 2009 yang kenaikan indeksnya mencapai 87%. Diproyeksikan gain saham tahun ini minimal 20%-30%, bahkan bisa 40% jika kondisi ekonomi dan politik relatif stabil. Indeks bisa tembus 3.200-3.300 pada akhir tahun.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diprediksikan lebih baik, minimal 5,5%, dibanding 2009 yang hanya 4,5%. Itu berarti, potensi perolehan laba emiten diharapkan juga membaik. Tahun lalu, per kuartal ketiga, rata-rata kenaikan laba emiten di BEI mencapai 48,5%.
Sektor komoditas dan perbankan diperkirakan menjadi pendorong indeks tahun ini. Harga komoditas, terutama pertambangan, cenderung naik seiring membaiknya perekonomian global. Sektor perbankan didukung oleh ekspansi kredit tahun ini yang cukup besar dan margin bunga bersih (NIM) yang tetap tinggi.
Pasar modal domestik diyakini menjadi fokus baru bagi para pengelola dana global, baik private equity fund maupun hedge fund. Di mata investor asing, Indonesia bakal menjadi Cinderella baru, setelah India dan China selama ini menjadi tempat favorit. Ini dipicu oleh prestasi ekonomi ketiga negara yang mampu tumbuh mengesankan dibanding negara-negara lainnya.
Dana asing juga terus mengalir ke instrumen portofolio, baik saham, Surat Utang Negara (SUN), maupun sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kecenderungan perilaku investor asing adalah terus membukukan net buying, dalam arti mereka lebih banyak membeli ketimbang menjual saham. Ini tentu merupakan sinyal positif. Di SUN dan SBI, selama Februari lalu ada pembelian baru oleh asing sekitar Rp4 triliun. Posisi asing di kedua portofolio itu cenderung terus meningkat.
Meski secara umum bursa membersitkan optimisme, namun para pelaku bursa perlu mencermati berbagai risiko. Untuk faktor domestik, potensi ketidakstabilan politik mungkin saja terjadi. Tetapi kemungkinan gejolak ini bersifat temporer atau jangka pendek karena fundamental makro ekonomi masih bagus.
Ancaman lain adalah tergerusnya sektor manufaktur karena harus bertarung melawan produk-produk China dan ASEAN sebagai konsekuensi pemberlakuan Asean-China Free Trade Agreement (AC-FTA) mulai 1 Januari lalu. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprediksi AC-FTA akan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 7,5 juta pekerja.
Perjanjian perdagangan ini juga akan menghilangkan potensi penerimaan negara dari bea masuk dan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. AC-FTA merupakan sinyal bahaya yang bisa mengakselerasi deindustrialisasi. Bahkan lebih dari itu, bisa menjadi lonceng kematian bagi sejumlah industri nasional.
Dari sisi eksternal, faktor ketidakpastian bersumber dari harga minyak mentah yang kemungkinan bakal naik lagi. Selain itu, dampak dari stimulus fiskal besar-besaran yang digelontorkan negara maju akan membanjiri surat utang, yang bisa menyedot dolar AS. Dana fund managers yang selama ini ditempatkan di negara-negara emerging markets kemungkinan akan dipindahkan ke obligasi negara-negara maju.
Tentu kondisi tersebut bisa berpotensi memicu keluarnya investor asing dari portofolio, baik di saham, SUN, maupun SBI. Terlebih lagi jika Bank Sentral AS menaikkan suku bunga pada semester II-2010, sebagai dampak dari tekanan inflasi yang meningkat seiring pemulihan ekonomi negeri itu. Maklum, kenaikan suku bunga The Fed biasanya diikuti oleh bank sentral lain.
Pemerintah dan Bank Indonesia sebagai penjaga gawang otoritas fiskal dan moneter perlu memiliki kewaspadaan yang kuat menghadapi isu-isu tersebut. Khusus bagi investor pasar modal, pengambilan keputusan investasi yang tepat menjadi mutlak agar jangan sampai merugi.


Businessnews