Selasa, 25 Januari 2011

Outside The Box

SBY dituduh “berbohong”. Kabar angin mengatakan bahwa pernyataan “bohong” itu masih berupa konsep, dan masih belum disetujui oleh semua yang terlibat. Tetapi memang pernyataan “bohong” itu keluar dan tercium oleh media, bergulir seperti bola salju menggelinding dengan cepat, sampai membuat SBY uring-uringan. Nasi sudah jadi bubur, pernyataan SBY “berbohong” jadi konsumsi masyarakat.
Jarang SBY bereaksi cepat, mungkin karena kata “bohong” terlalu kuat dan kasar. Kemarin dulu SBY mengumpulkan 100 tokoh agama, termasuk 9 tokoh agama inisiator tuduhan “bohong” itu. Dengan cerdas SBY mengepung 9 tokoh agama, dengan mengundang tokoh agama lainnya, mencoba menetralisir “bohong” dari 9 tokoh agama, sekaligus menunjukkan masih banyak tokoh agama yang mewakili umat dan tidak berkata “bohong”.
Dari belasan “kebohongan” itu, mari kita lihat sisi ekonominya saja. Kadang kala indikator makro bisa menipu persepsi masyarakat. Misal saja indikator inflasi. Per definisi inflasi adalah indikator yang menyatakan kenaikan harga yang terus menerus. Kalau harga cabai dari Rp20.000,-/kilo naik menjadi Rp30.000,-, maka terjadi inflasi 50% atas harga cabai. Besok harga cabai menjadi Rp25.000,-, inflasi turun (deflasi) sebesar 17%. Di satu pihak indikator menunjukkan deflasi, tetapi masyarakat tetap membayar cabai lebih mahal dari sebelumnya.
Di sini bisa jadi pangkal sengketa: pemerintah bilang deflasi, masyarakat bilang harga naik. Dua-duanya benar, tetapi masing-masing memakai definisi yang berbeda, bukan apple to apple.
Indikator kemiskinan dan pengangguran tidak kurang ribet. Definisi Biro Pusat Statistik berbeda dengan World Bank, masing-masing punya argumentasi sendiri. Definsi BPS kemiskinan 30 juta orang, definisi World Bank 70 juta. Kenapa pemerintah memakai definisi BPS? Gampang saja, BPS adalah lembaga resmi Indonesia yang mengeluarkan angka statistik, sementara World Bank bukan. Kalau pemerintah tidak percaya dengan definisi BPS, ya bubarkan saja BPS, kita ikut World Bank.
Tetapi dibalik debat definisi ini, harusnya kita sadar bahwa baik angka 30 juta dan 70 juta hampir sama gawatnya: gawat dan sangat gawat. Kenyataan 30 juta rakyat miskin itu luar biasa besar. Bayangkan penduduk Singapura tidak sampai 10 juta manusia, jadi angka 30 juta adalah tiga kali jumlah penduduk Singapura. Artinya di Indonesia ada tiga negara Singapura yang miskin, itu perbandingan yang dahsyat.
Bagaimana kemampuan pemerintah mengatasinya? Ini musti jelas, melihat angka APBN yang tidak bisa “berbohong”. Kalau lihat angka APBN harus diakui kemampuan pemerintah untuk menjawab masalah ini sangat minim dalam jangka waktu pendek. Apa pasal? Anggarannya tidak cukup. Lihat saja tabel APBN. Pada tahun 2010, total belanja negara sebesar 1.100 triliun. Dari total belanja, 30% masuk ke daerah, sisanya pemerintah pusat.
Kalau dana masuk ke daerah, pemerintah pusat tidak bisa apa-apa. Paling banter, minta mereka ikut program pemerintah pusat. Kalau menolak tidak ada sangsi.

APBN 2010 2011

Pendapatan Negara 992,4 1.104,9
Pajak 743,3 850,3
Bukan Pajak 247,2 250,9
Hibah 1,9 3,7
Belanja Negara 1.126,1 1.229,6
Belanja Pusat 781,5 836,6
Transfer ke Daerah 344,6 393,0
Pembiayaan 133,7 124,7
Dalam Negeri 133,9 125,3
Luar Negeri (0,2) (0,6)

Belanja pemerintah pusat, 781 triliun, 90% adalah belanja rutin (pegawai dan barang), bayar bunga, dan subsidi, sisanya 10% belanja modal. Total belanja modal hanya 77 triliun (sumber: Data Pokok APBN)
Misalkan saja pemerintah mengeluarkan semua 77 triliun kepada masyarakat miskin yang 70 juta itu, maka program pengentasan kemiskinan pemerintah pusat dalam setahun berjumlah Rp1,1 juta per orang nya, atau Rp3.000,- per orang per hari. Pertanyaannya apakah uang Rp3.000,- per orang per hari cukup? Sama sekali tidak cukup!
Defisit APBN terlihat jelas dibiayai oleh dalam negeri, yaitu menjual obligasi pemerintah, dan hampir semuanya dibeli oleh bank dan BUMN. Kalau pemerintah pusat mau menaikkan budget Rp3.000,-, maka kemampuan dalam negeri untuk financing tidak ada.
Harapan satu-satunya adalah pinjaman luar negeri, tetapi kalau dari tabel, uang yang masuk sebagai pinjaman lebih sedikit dari yang keluar. Artinya, pinjam uang untuk bayar hutang luar negeri.
Jadi bagaimana? Di dunia business, dikenal transaksi refinancing, jadi hutang luar negeri negara seharusnya bisa meniru transaksi seperti itu. Siapa yang paling mampu membiayai refinancing ini? Ada dua negara raksasa yang mempunyai cadangan devisa yang luar biasa besar: China dan India.
China punya punya devisa USD2.7 triliun . Utang Indonesia sebesar USD60 miliar sangat kecil dari cadangan devisa itu. Coba kita bisa melakukan transaksi refinancing dengan China, bakal luar biasa dahsyat. Refinancing bisa dengan memanjangkan tenor pinjaman, mengecilkan bunga, di mana total efeknya meringankan cash flow APBN. Artinya, belanja modal pemerintah bisa didongkrak paling sedikit dua kali karena biaya bunga berkurang, plus hutang luar negeri bertambah karena kemampuan pemerintah untuk berutang juga bertambah.
Sehingga sudah seharusnya, silang pendapat “berbohong” dihentikan. Semua duduk bersama memikirkan 70 juta orang itu mendapat program yang memadai. Kalau kita tetap bertumpu pada model APBN seperti sekarang, kita tidak akan bisa menjawab masalah kemiskinan dan pengangguran dalam waktu jangka pendek. Pertanyaannya: Apakah sang miskin bisa menunggu??


Businessnews