Selasa, 04 Januari 2011

Prediksi Ekonomi 2011: Menjaga Momentum

Indonesia salah satu negara di dunia yang beruntung. Saat negara-negara adijaya di dunia tergolek lemas terkena virus krisis hutang, Indonesia tetap berkibar dan tumbuh ekonominya dengan angka yang relatif sehat.
Sebetulnya ada dua jenis virus yang berbahaya di dalam perekonomian dunia. Virus defisit anggaran belanja negara dan virus hutang swasta. Untungnya Indonesia sudah minum antibodi dua jenis ini. Sejak krisis tahun 1998 antibodi ini sangat kuat bekerja, malah seringkali membunuh sel-sel tubuh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Sangking kuatnya antibodi ini, pemerintah sampai tidak sanggup melakukan pencairan proyek-proyek tepat waktu. Lihat saja angkanya: di bulan Desember 23, 2010 konon hanya ada realisasi 83,4% pencairan dana pemerintah, padahal tahun 2009 lebih dari 86,5%. Jauh dari ideal. Proses pembusukan ini harus dihindari di tahun 2011, karena dari sisi expenditure pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat dan pemerintah masih menjadi primadona pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walau dua sektor lainnya, sektor investasi dan ekspor masih cukup kuat andilnya di tahun 2010, tetapi kemungkinan besar akan menjadi faktor risiko di tahun 2011.
Faktor risiko internal yang utama adalah ancaman inflasi, utamanya dari bahan pangan dan enerji. Bahan pangan (beras) yang mempunyai andil cukup besar dalam komponen inflasi, kemungkinan akan naik. Hal ini disebabkan faktor cuaca yang masih mengancam Asia, khususnya penghasil beras seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Dua negara tetangga sudah mengalami penurunan panen yang cukup tajam, dan kemungkinan besar tidak bisa ekspor untuk negara konsumen beras seperti Indonesia. Alhasil harga beras di dunia akan loncat ke atas. Sementara enerji, bahan bakar dan listrik, diprediksi secara perlahan akan naik. Jika inflasi terjadinya hanya sementara, pemerintah bisa secara penuh mencairkan dana proyek untuk menggenjot perekonomian.
Sebaliknya memang bilamana tekanan inflasi menguat, pemerintah harus mengerem proyek-proyeknya agar tidak membanjiri sistem keuangan dengan excess liquidity, agar tekanan inflasi tidak berlebihan.
Inflasi juga akan bisa timbul saat gejala over heating terjadi, di mana permintaan barang dari masyarakat terlalu cepat daripada produksi barang. Di sini sektor expenditure masyarakat (consumer demand) menjadi faktor utama (lebih dari 50% dari total PDB). Saat Bank Indonesia menahan tingkat bunga dengan maksud mendorong investasi, masyarakat mempunyai cash/tunai yang berlebih, dan memberikan motivasi masyarakat untuk berbelanja. Dorongan ini bisa terlalu besar karena struktur balance sheet perbankan Indonesia masih belum berubah, sehingga pada titik tingkat bunga rendah bank masih tidak memberikan pinjaman dan lebih memilih masuk pasar obligasi korporat dan negara. Kembali seperti skenario di atas, pemerintah harus mengerem pencairan dana proyek agar excess liquidity di sistem keuangan tidak kelebihan beban dan mendorong inflasi semakin cepat.
Fine tuning belanja pemerintah sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana saat pemerintah mengerem proyek maka laju perekonomian melemah dan sebaliknya. Sehingga faktor koordinasi pemerintah dalam menjalankan proyek-proyek, terutama manajemen pencairan dana APBN, tidak bisa tidak harus diperbaiki secepat mungkin. Belanja Pemerintah menjadi senjata counter cyclical memerangi inflasi, selain senjata yang dipegang oleh Bank Indonesia, seperti penjualan obligasi untuk menyerap kelebihan likuiditas.
Faktor risiko eksternal datangnya dari menurunnya perbaikan ekonomi dunia, khususnya zona Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa lembaga penelitian dunia meramalkan bahwa pertumbuhan riil dunia akan menurun, dari 4,1% di tahun 2010 menjadi 3,7%. Amerika Serikat hanya akan tumbuh 2,7% di tahun 2011 (2.8% di tahun 2010), Zona Eropa menjadi 1,7% di tahun 2011 (1,8% di tahun 2010). China pun diperkirakan mengalami penurunan dari 10% di tahun 2010 menjadi 9% di tahun 2011.
Singkatnya, pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat, karena perbaikan perekonomian dunia di tahun 2010 bukan akibat perbaikan bottom line (meningkatnya permintaan dan produksi barang) tetapi dari perbaikan balance sheet (mengurangi hutang dan langkah efisiensi) di tahun 2010. Tidak heran recovery ekonomi dunia tidak sustainable dan sangat rentan oleh gangguan-gangguan kecil.
Jika skenario ini benar terjadi maka prospek investasi dan ekspor Indonesia belum tentu akan secerah di tahun 2010, apalagi kalau terjadi reversal capital outflow mengakibatkan pelemahan Rupiah yang mendadak dan akan mendorong imported inflation dan mengurangi potensi foreign investment. Perlambatan pertumbuhan China bisa mengurangi potensi ekspor, khususnya ekspor mineral dan barang-barang mentah Indonesia lainnya.
Business News memprediksi bahwa perekonomian riil Indonesia bisa mencapai 6,5% dengan potensi inflasi sebesar 6,3%, dan kemungkinan besar Bank Indonesia akan menahan 50 basis point diatas inflasi, paling tidak diakhir kwartal kedua.
Indeks Saham diprediksi minimal akan meningkat sebesar 12,8% (sebesar pertumbuhan nominal PDB) dengan potensi 20% di akhir tahun, atau maksimal indeks mencapai 4.440 di akhir periode. Sementara itu penerbitan obligasi korporat bisa menanjak tajam karena adanya peningkatan investment grade baik dari sovereign maupun korporat, sehingga dengan spread yield goverment bonds sekitar 100 – 150 basis point (1% – 1,5%) terhadap inflasi, maka government bonds bisa berkisar 7,5% (satu tahun), sementara itu corporate bonds bisa mencapai 8,5% (satu tahun). Dinamika yield ini akan bergantung dari perubahan besarnya demand karena excess liquidity yang akhirnya menekan yield seperti yang terjadi di tahun 2010.
Sekali lagi isu paling penting di 2011 adalah menjaga momentum, sehingga pada saat proyek-proyek infrastruktur jalan dan listrik sudah terbangun di akhir tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa jalan lebih cepat karena tersingkirnya bottle neck di sisi supply.


Business News