Selasa, 27 Januari 2009

Ternyata . . . Hidup Ini Sederhana . . .

Ada seseorang saat melamar kerja, memungut sampah kertas di lantai ke dalam tong sampah, dan hal itu terlihat oleh peng-interview, dan dia mendapatkan pekerjaan tersebut.
Ternyata untuk memperoleh penghargaan sangat mudah, cukup memelihara kebiasaan yang baik .

Ada seorang anak melakukan magang kerja di toko sepeda. Suatu saat ada seseorang yang mengantarkan sepeda rusak untuk diperbaiki di toko tersebut. Selain memperbaiki sepeda tsb, si anak ini juga membersihkan sepeda hingga bersih mengkilap. Pegawai-pegawai lainnya menertawakan perbuatannya. Keesokan hari setelah sang empunya sepeda mengambil sepedanya, anak tersebut di tarik untuk bekerja di perusahannya.
Ternyata untuk menjadi orang yang berhasil sangat mudah, cukup punya inisiatif sedikit saja.

Seorang anak berkata kepada ibunya: "Ibu hari ini sangat cantik."
Ibu menjawab: "Mengapa?"
Anak menjawab: "Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah. "
Ternyata untuk memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu tidak marah-marah .

Seorang petani menyuruh anaknya setiap hari bekerja giat di sawah.
Temannya berkata: "Tidak perlu menyuruh anakmu bekerja keras, Tanamanmu tetap akan tumbuh dengan subur."

Petani menjawab: "Aku bukan sedang memupuk tanamanku, tapi aku sedang membina anakku."
Ternyata membina seorang anak sangat mudah, cukup membiarkan dia rajin bekerja .

Seorang pelatih bola berkata kepada muridnya: "Jika sebuah bola jatuh ke dalam rerumputan, bagaimana cara mencarinya?"
Ada yang menjawab: "Cari mulai dari bagian tengah."
Ada pula yang menjawab: "Cari di rerumputan yang cekung ke dalam."
Dan ada yang menjawab: "Cari di rumput yang paling tinggi."
Pelatih memberikan jawaban yang paling tepat: "Setapak demi setapak cari dari ujung rumput sebelah sini hingga ke rumput sebelah sana ."
Ternyata jalan menuju keberhasilan sangat gampang, cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap secara berurutan, jangan meloncat-loncat.

Katak yang tinggal di sawah berkata kepada katak yang tinggal di pinggir jalan:
"Tempatmu terlalu berbahaya, tinggallah denganku."
Katak di pinggir jalan menjawab: "Aku sudah terbiasa, malas untuk pindah."
Beberapa hari kemudian katak "sawah" menjenguk katak "pinggir jalan" dan menemukan bahwa si katak sudah mati dilindas mobil yang lewat.
Ternyata sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri, cukup hindari kemalasan saja.

Ada segerombolan orang yang berjalan di padang pasir, semua berjalan dengan berat, sangat menderita, hanya satu orang yang berjalan dengan gembira.
Ada yang bertanya: "Mengapa engkau begitu santai?"
Dia menjawab sambil tertawa: "Karena barang bawaan saya sedikit."
Ternyata sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan, cukup tidak serakah dan memiliki secukupnya saja.

You are what you think about. Beware of your mind.






Baca selengkapnya...

Jumat, 23 Januari 2009

Renungan Tiga Cara Melihat uang

Apakah Anda mengalami salah satu atau beberapa gejala berikut ini?

- Kesulitan mendapatkan uang yang Anda butuhkan?
- Merasa lelah bekerja keras dan membanting tulang untuk mendapatkan uang?
- Merasa telah mengerahkan segala cara namun uang yang Anda harapkan tak kunjung datang?

Jika jawaban Anda ‘ya’ terhadap salah satu, sebagian atau semua pertanyaan di atas, mungkin selama ini Anda melihat uang dengan cara yang salah. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kisah berikut ini.

Suatu ketika,seorang tukang pembuat taman mendapatkan pesanan untuk mengerjakan taman di sebuah rumah. Segera si pembuat taman menyampaikan rincian biaya yang termasuk pembelian bahan-bahan, pembelian taman dan upah kerja.setelah terjadi tawar-menawar singkat akhirnya harga disepakati dan keesokan harinya si tukang mulai bekerja. Namun sesungguhnya si pemilik rumah belum melakukan survei harga sehingga ia tidak mengetahui berapa harga yang wajar untuk pekerjaan tersebut. Setelah pembuatan taman selesai dan pembayaran dilakukan, si pemilik rumah akhirnya menyadari bila jumlah yang dibayarkannya jauh diatas harga wajar. Si tukang memperhitungkan jumlah bahan yang dibutuhkan hampir dua kali lipat dari jumlah yang sesungguhnya dipakai. Ia menghitung tenaga kerja tiga kali lebih banyak dari yang sesungguhnya. Yang lebih parah lagi, harga tanaman yang ditagihkan empat kali lebih tinggi dari harga yang sewajarnya. Mungkin si tukang akan berpendapat, ‘Salah sendiri, kenapa tidak teliti sebelum membeli.’ Atau mungkin malah ia berpikiran, ‘Dasar rejeki, dari mana aja dah datangnya.’ Sepintas, sepertinya si tukang diuntungkan karena kecerdikannya dan si pemilik rumah dirugikan karena kebodohannya. Tapi benarkah demikian?

Si pemilik rumah, setelah menyadari bahwa dia dikerjai oleh si tukang, dengan segera mengurungkan niatnya untuk menyerahkan pekerjaan lain kepada si tukang. Si pemilik rumah bermaksud membuat tanaman yang lebih besar dari rumah lainnya. Namun kali ini dia lebih hati-hati. Selain ia melakukan survey harga, ia pun mencari tukang lain yang memberi harga lebih pantas dengan kualitas yang relative sama. Bahkan, ketika salah satu tetangganya tertarik untuk memakai jasa si tukang, si pemilik rumah langsung mengingatkan si tetangga dengan menceritakan kejadian yang dialaminya. Segera tetangga-tetangga di sekitarnya mengetahui kejadian tersebut dan akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk menggunakan jasa si tukang. Bulan-bulan berikutnya, si tukang sepi order dan harus mangkal ditempat lain di mana belum ada orang yang menyadari taktik dagangnya. Tapi, segera satu orang di tempat tersebut menyadari dan menceritakannya, maka si tukang harus kembali harus berpindah tempat. Demikian seterusnya ia akan bekerja semakin keras untuk memburu penghasilan.

Pada umumnya kita semua melihat uang dengan mata kita. Namun sesungguhnya ada dua cara lain untuk melihat uang. Selain melihat uang dengan mata, manusia juga sebenarnya bisa melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati. Namun karena sebagian besar dari kita sejak kecil telah terbiasa melihat uang dengan mata maka kemampuan kita untuk melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati menjadi menurun bahkan hampir hilang. Sampai disini mungkin para pembaca bertanya-tanya, apa sebenarnya perbedaan antara melihat uang dengan pikiran dan melihat uang dengan hati? Semoga ilustrasi berikut membantu Anda.

Seorang pengamen masuk ke sebuah rumah makan. Segera ia mendatangi salah satu meja di mana sebuah keluarga sedang asyik menyantap ikan bakar. Pengamen itu pun segera memainkan gitarnya dan mulai menyanyi di dekat keluarga tersebut. Baru satu baris lagu dinyanyikan, si pengamen segera menyodorkan kaleng kosong kepada salah satu anggota keluarga tersebut. Sang Ibu yang sedang asyik menyantap hidangan dan tangannya masih berlepotan dengan kecap dan sambal dengan sangat berhati-hati dan bersusah payah merogoh uang receh dari tasnya. Kehadiran pengamen ini bukannya memberikan keceriaan tetapi sungguh mengusik ketenangan pengunjung yang hadir. Selain suara sang pengamen fals, gitar tak berirama, ia pun mendesak pengunjung untuk segera menyodorkan uang. Sebelum ada tanda-tanda pengunjung akan mengeluarkan uang, si pengamen akan mulai mengetuk-ngetukkan kaleng kosong tersebut ke meja makan. Dan sebaliknya, begitu uang diterima, si pengamen pun langsung pindah ke meja lain. Pengamen tersebut melihat uang dengan mata. Dan berapa uang yang dia dapat? Mungkin seratus perak per pengunjung. Sesekali mereka mungkin mendapatkan pengunjung yang memberi mereka lima ratus atau seribu perak.

Di tempat makan yang lain, dengan menu yang sama yaitu ikan bakar, seorang pengamen lain mengambil tempat salah satu sudut. Ia sudah melengkapi dirinya dengan microphone, gitar dan harmonica. Pada saat pengunjung mulai berdatangan, maka pengamen inipun mulai melantunkan lagu-lagu yang digemari oleh para pengunjung. Ia sangat terampil memainkan gitar dan harmonikanya di samping suara yang merdu ia lantunkan. Setiap kali ia menyelesaikan satu lagu, ia tidak pernah meminta pengunjung untuk mengumpulkan uang. Bahkan ia sebenarnya tidak pernah meminta uang sama sekali selain meletakkan sebuah kotak persis di samping ia berdiri. Apa yang terjadi? Para pengunjung yang merasa terhibur oleh kehadiran sang pengamen satu per satu mulai memasukkan uang ke dalam kotak itu. Biasanya, uang yang dimasukkan adalah uang kembalian dari membayar makanan mereka. Karena pada saat mereka memasukkan uang tersebut mereka tida direpot kan oleh tangan yang kotor karena makanan serta mereka sedang memegang uang pecahan satuan besar plus merasa terhibur dengan performance si pengamen maka pengamen kedua ini pun mendapatkan pemberian yang lebih besar dibandingkan pengamen pertama sebelumnya. Rata-rata para pengunjung memberi kan seribu perak bahkan cukup banyak yang memberikan lima ribu perak. Pengamen yang satu ini melihat uang dengan pikiran. Ia telah memikirkannya dengan teliti bahwa bila ia menyodorkan kotak uangnya pada para pengunjung, maka pengunjung akan memberi dalam terpaksa. Dan uang yang diberikan secara terpaksa biasanya kecil jumlahnya.

Di rumah makan yang lainnya lagi, dengan menu tetap ikan bakar, pengamen yang berbeda menggunakan pakaian yang rapi. Dia menyapa ramah para pengunjung dan menghampiri meja mereka satu per satu. Dengan sangat sopan dan bersahabat, ia menanyakan apakah ada lagu kesukaan pengunjung yang ingin ia nyanyikan. Bila ada, maka ia pun segera memetik gitarnya dan melantukan suaranya dengan merdu khusus untuk pengunjung tersebut. Pada setiap kesempatan ia selalu memastikan apakah para pengunjung bisa menikmati lagu yang ia nyanyikan dan apakah kehadirannya bisa menghibur dan menemani para pangunjung yang sedang menyantap hidangannya. Si pengamen di sini tidak menyiapkan kotak uang atau kaleng kosong seperti pengamen-pengamen sebelumnya. Ia hanya menggelar banner bertuliskan, “Marilah kita bersama-sama mengembalikan masa depan anak-anak yang putus sekolah.” Memang setengah dari uang si pengamen itu akan disumbangkan untuk membantu anak-anak putus sekolah disalah satu kampung. Hebatnya lagi, si pengamen tidak menetapkan harga untuk CD yang dijualnya itu. Bahkan bila ada pengunjung yang berminat membeli CD- nya namun kebetulan kehabisan uang untuk membayar makanan, maka si pengamen dengan senang hati bersedia memberikan CD-nya gratis. Para pengunjung pun beramai-ramai membeli CD si pengamen tersebut. Bahkan banyak diantaranya yang membeli lebih dari satu untuk diberikan kepada temannya sebagai hadiah. Uang yang diberikan kepada para pengunjung pun jauh lebih besar. Rata-rata mereka memberikan uang sepuluh hingga dua puluh ribu perak.

Pengamen yang ketiga ini melihat uang dengan hati. Ia tidak melihat uang sebagai penghasilannya namun sebagai ekspresi kepuasan dan keikhlasan para pengunjung rumah makan tersebut. Bahkan ia tidak memperhitungkan uang tersebut sebagai kepentingannya melainkan sebagai kepentingan orang-orang yang menggantungkan harapan kepadanya. Apakah Anda sudah melihat uang dengan hati atau pikiran? Ataukah Anda masih melihat uang dengan mata? Hati-hati! Ada julukan khusus untuk orang-orang yang selalu melihat uang dengan mata yaitu ‘mata duitan‘. Bila Anda mengalami kesulitan dalam mendapatkan uang sebagai penghasilan Anda, cobalah untuk menggunakan mata yang lain dalam melihat uang tersebut. Melihat uang dengan pikiran membutuhkan kecerdasan financial. Melihat uang dengan hati membutuhkan kecerdasan spiritual yang diantaranya meliputi keikhlasan dan kesabaran. Uang yang Anda harapkan mungkin tidak serta merta langsung Anda rasakan saat itu. Namun kalau sudah tiba saatnya, uang itu akan datang secara berkelimpahan. Jauh lebih banyak dari uang yang yang Anda peroleh secara instan. Cara melihat uang yang berbeda ternyata memberikan rejeki yang berbeda pula. Dunia ini memang mengajar kita dengan cara yang aneh. Bila kita terlalu bernafsu untuk mendapatkan uang, justru uang itu menjauh dari kita. Semoga Anda bisa mulai melihat uang dengan pikiran dan terlebih lagi dengan hati.


Disalin kembali oleh : Livia Indrawan








Baca selengkapnya...

Kamis, 22 Januari 2009

Ukuran Kaya

”Untuk memulai perjalanan menuju suatu tempat, Anda sebaiknya tahu di mana posisi Anda saat ini.” ~ Pandir Karya

”Seberapa kaya Anda sekarang?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Cukup kaya untuk ukuranku,” kata Iin.
”Masih jauh dari kaya,” jawab Toni.
”Tergantung definisi kaya itu apa dulu,” kata Herlina.
”Yah, sedang-sedang saja,” ujar Didi
. ”Kalau tabungan sepuluh jutaan sih punya,” jelas Diah.
”Dibanding Ciputra aku miskin banget,” kata Rudy.
”Di antara kawan-kawan se-SMA dulu, aku paling kaya,” gagas Yuyun.
”Sedikit lebih kaya dibandingkan ayahku ketika seusiaku,” ujar Lilik.
”Aku sih nggak kaya, tapi suamiku yang kaya,” papar Dewi.
”Cukuplah untuk hidup tanpa bekerja 20 tahun ke depan,” kata Indra.

***

Seorang perempuan dengan tinggi badan 170 sentimeter, bisa diterima umum kalau disebut ”tinggi”. Sementara seorang lelaki dengan tinggi badan yang sama, mungkin masih belum dianggap cukup ”tinggi”. Lelaki bisa dianggap ”tinggi” kalau ukurannya 175 sentimeter ke atas. Itu pun kalau di Indonesia. Di Amerika Utara, Eropa Barat, Afrika Selatan, atau di Asia Timur boleh jadi patokan untuk disebut berbadan tinggi itu berbeda-beda lagi angkanya. Jadi yang disebut ”berbadan tinggi” meski sudah terukur secara kuantitatif, tetap saja bisa dianggap relatif (tidak mutlak pasti sama 100 persen). Paling tidak batas minimum untuk disebut ”tinggi” itu masih bervariasi antar wilayah di berbagai belahan dunia ini.

Hal yang sama berlaku bila kita berbicara soal ”orang kaya”. Pengertian ”kaya” menjadi sangat relatif, kecuali kita sepakat menetapkan suatu ukuran kuantitatif sebagai kriteria atau indikator utama untuk menilai. Misalnya, kita bisa menggunakan jumlah penghasilan tahunan untuk menentukan kaya tidaknya seseorang. Dengan indikator ini, data yang pernah dikutip Handi Irawan cukup menarik untuk disimak. Sebab Konsultan Pemasaran terkemuka yang sukses mengembangkan Frontier Consulting Group itu menunjukkan data bahwa 85 persen penduduk dunia mengumpulkan penghasilan tahunan sekitar Rp 21.820.000,- (atau Rp 59.800,- per hari). Mereka yang berpenghasilan di atas Rp 254 juta per tahun (atau 695.000,- per hari), sudah termasuk dalam kelompok top 10 persen. Jika penghasilan per tahunnya naik menjadi Rp 337 juta (atau Rp 923.300,- per hari), maka orang tersebut akan masuk kelompok 5 persen yang teratas. Dan hanya sekitar 1 persen penduduk dunia yang mampu mengumpulkan penghasilan di atas Rp 475 juta per tahun (atau Rp 1.301.400,- per hari).

Jika jumlah penghasilan tahunan hendak kita jadikan indikator untuk menentukan kaya tidaknya seseorang, maka angka manakah yang akan kita pergunakan sebagai penghasilan minimum dari mereka yang kita kelompokkan sebagai ”orang kaya”? Lalu, berdasarkan angka tersebut, seberapa kayakah Anda (dan saya)?

Jumlah penghasilan tahunan bisa membantu kita mengukur seberapa kaya diri kita sekarang ini. Namun, jika indikatornya menggunakan jumlah dana likuid yang dimiliki—yakni dana yang mudah dicairkan seperti tabungan, deposito, dan produk perbankan lainnya—maka orang dengan penghasilan tinggi belum tentu pantas di sebuat ”kaya”. Sebab, jika penghasilan yang tinggi habis dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup mewah, atau untuk membantu sanak saudara yang banyak jumlahnya, atau habis untuk biaya pengobatan penyakit tertentu, maka jumlah dana likuid yang benar-benar tersimpan di bank boleh jadi tak terlalu besar.

Dalam hal ini, jika kita menyimak data-data yang sering disampaikan para praktisi perbankan, terutama yang menangani wealth management, sering disebutkan bahwa Indonesia saat ini memiliki sekitar 200.000 orang pemilik dana likuid di atas Rp 1 miliar (kurang dari 0,1 persen dari total penduduk yang 220 juta jiwa). Dari jumlah tersebut, sekitar 40.000 di antaranya memiliki dana likuid lebih dari Rp 5 miliar (kurang dari 0,02 persen penduduk). Dan 10.000 di antaranya bahkan memiliki dana likuid di perbankan di atas Rp 10 miliar (kurang dari 0,005 persen penduduk).

Jadi, jika dilihat dari dana likuid yang kita miliki, maka seberapa kayakah Anda sekarang ini? Selanjutnya, pada tingkat internasional, sejumlah literatur biasanya mendefinisikan orang kaya sebagai orang yang memiliki harta kekayaan bersih—bukan dana likuid—senilai minimum US $ 1 juta, atau sekitar Rp 9-10 miliar. Dengan indikator ini, lebih dari 10.000 orang Indonesia termasuk dalam kelompok orang kaya dunia (total jumlahnya 7,7 juta dari 6 miliar penduduk bumi).

Ketiga indikator di atas, yakni jumlah penghasilan, jumlah dana likuid yang dimiliki, atau jumlah harta kekayaan bersih, memang bisa dipergunakan untuk menilai seberapa dekat atau seberapa jauh kita (Anda) dari kriteria untuk disebut sebagai ”orang kaya”. Dan berdasarkan pemahaman terhadap posisi kita hari ini, bisa dipikirkan kemudian strategi yang bagaimana yang perlu ditempuh untuk meraih kekayaan yang dicita-citakan.

Namun demikian, masih ada cara lain yang mungkin lebih menarik untuk kita gunakan mengukur seberapa kaya diri kita (Anda) sekarang ini. Cara ini dipergunakan oleh Stanley dan Danko, penulis buku laris The Millionaire Next Door. Dengan menggunakan faktor umur, jumlah penghasilan tahunan, dan jumlah kekayaan bersih, kedua peneliti kaum kaya Amerika itu memberikan petunjuk dengan ”rumus” berikut : Kalikan Usia Anda dengan Penghasilan Tahunan sebelum Pajak dari semua sumber, kecuali warisan. Bagi dengan sepuluh. Angka ini, dikurangi kekayaan karena warisan, adalah kekayaan bersih yang seharusnya sudah Anda kumpulkan / miliki saat ini.

Misalnya, Indra berusia 40 tahun, berpenghasilan kotor Rp 100 juta per tahun—jumlah ini termasuk gaji, THR, bonus, bunga deposito, pendek kata semuanya. Jumlah harta kekayaan bersih Indra seharusnya adalah (40 x Rp 100 juta) dibagi 10 = Rp 400 juta. Atau bila Dewi berpenghasilan kotor Rp 80 juta per tahun, dan usianya 35 tahun, maka harta kekayaan bersih yang seharusnya dimiliki Dewi adalah (35 x Rp 80 juta) dibagi 10 = Rp 280 juta. Kekayaan bersih itu sendiri dihitung dengan menjumlah total aset (seluruh harta benda) di kurangi total hutang.

Dengan rumus di atas, apabila jumlah harta kekayaan bersih kita sekitar angka yang seharusnya, maka kita dianggap Average Accumulator of Wealth (Pengumpul Kekayaan Rata-rata). Jika harta kekayaan bersih kita dibawah angka yang seharusnya, maka kita dikelompokkan sebagai Under Accumulator of Wealth (Pengumpul Kekayaan yang Bodoh). Sementara jika harta kekayaan bersih kita ternyata jauh di atas angka yang seharusnya—setidaknya dua kali lipat dari itu—maka kita akan disebut sebagai Predigious Accumulator of Wealth (Pengumpul Kekayaan yang Luar Biasa).

Jadi, bisakah Anda mengukur seberapa kaya Anda sekarang?

Baca selengkapnya...

Sabtu, 10 Januari 2009

Kearifan segenggam garam

Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal saleh dan bijak. Di suatu pagi yang basah, dengan langkah lunglai dan rambut masai, datanglah seorang lelaki muda, yang tengah dirundung masalah. Lelaki itu tampak seperti orang yang tak mengenal bahagia. Tanpa membuang waktu, dia ungkapkan semua resahnya: impiannya gagal, karier, cinta dan hidupnya tak pernah berakhir bahagia.

Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan sendok, tenang, bibirnya selalu tampilkan senyum.

"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?" pinta Pak tua itu.
"Asin dan pahit, pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah ke tanah.
Pak Tua itu hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan beriringan, tapi dalam kediaman. Dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, masih dengan mata yang memandang lelaki muda itu dengan cinta, lalu menaburkan segenggam garam tadi ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga, yang membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air telaga tenang, dia pun berkata, "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah".
Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?"
"Segar," sahut tamunya.
"Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?" tanya Pak Tua lagi.
"Tidak," jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga.
"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki. Kepahitan itu anakku, selalu berasal dari bagaimana cara kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu lakukan: lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskan wadah pergaulanmu supaya kamu mempunyai pandangan hidup yang luas. Kamu akan banyak belajar dari keleluasan itu."
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat.
"Hatimu anakku, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar di hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.






Baca selengkapnya...

Kamis, 01 Januari 2009

The 7 Laws of Happiness

Dua pertapa bertemu seorang wanita cantik jelita yang ingin menyeberangi sungai. Sayang, air sungai terlalu tinggi. Maka, salah seorang pertapa menggendong si wanita sampai ke seberang.

Pertapa yang lainnya menyaksikan peristiwa itu dengan penuh kemarahan. Dalam hati ia mencaci maki temannya habis-habisan. Ia tak habis pikir mengapa si kawan berani menyentuh wanita, bahkan menggendongnya menyeberangi sungai. Apakah ia lupa ajaran agamanya? Mengapa ia memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi?
Setelah hal itu berlangsung beberapa lama, akhirnya ia tak sabar lagi dan bertanya kepada sang kawan, “Mengapa kamu tega-teganya menggendong wanita itu?” Mendengar hal itu pertapa yang tadi menggendong wanita berkata keheranan, “Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita itu sejak dua jam yang lalu, tapi mengapa engkau masih terus membawanya?”
Apa sebenarnya perbedaan antara kedua pertapa tersebut? Pertapa yang menggendong wanita sesungguhnya hanyalah berniat membantu si wanita. Ia tidak memikirkan wanita itu. Begitu selesai membantu ia pun segera melupakan si wanita dan kembali berkonsentrasi pada apa yang ia lakukan. Sementara pertapa kedua selama dua jam memikirkan wanita itu dan merasa iri karena tidak berkesempatan menyentuhnya. Pertapa pertama merasa bahagia karena bisa membantu orang lain, sementara pertapa kedua diliputi rasa kemarahan yang sudah tentu menjauhkannya dari kebahagiaan.
Kebahagiaan memang berkaitan dengan kondisi pikiran kita. Kebahagiaan amat bergantung pada pikiran-pikiran yang kita pilih. Ini berbeda dari kesuksesan yang bergantung pada pilihan tindakan kita.
Ada banyak tindakan kebaikan yang tidak menghasilkan kebahagiaan. Anda dapat menolong orang, tetapi bila Anda menolong karena mengharapkan balasan, Anda tidak akan bahagia. Anda hanya akan bahagia bila Anda tulus dan ikhlas. Bila Anda tidak membalas orang yang memfitnah Anda, Anda sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi Anda belum bahagia bila Anda masih memendam kemarahan. Anda hanya akan bahagia kalau Anda memaafkan. Bila Anda mengajarkan kebaikan kepada orang lain, Anda sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi Anda tidak akan pernah berbahagia bila Anda melakukannya untuk pamer atau menyombongkan diri. Anda bisa saja sukses karena mengambil tindakan yang benar, tapi Anda tidak akan bahagia sebelum Anda memilih pikiran yang benar.
Kebahagiaan akan sangat tergantung pada pilihan pikiran di balik setiap tindakan kita. Saya menyebut pikiran ini dengan The 7 Laws of Happiness. Ini adalah pikiran-pikiran yang harus kita pilih agar menghasilkan kebahagiaan. Tiga pikiran pertama berkaitan hubungan dengan diri kita sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai: patience (sabar), gratefulness (syukur) dan simplicity (sederhana). Tiga pikiran kedua berkaitan hubungan kita dengan orang lain: love (kasih), giving (memberi) dan forgiving (memaafkan). Adapun satu pikiran terakhir berkaitan hubungan kita dengan Sang Pencipta, yaitu surrender (berserah).
Sabar adalah menyadari bahwa segala sesuatu berproses. Karena itu sabar bukanlah mengurut dada, melainkan menikmati proses karena dalam hidup ini proses adalah yang terindah. Sabar menyatukan badan dan pikiran di satu tempat, masuk ke dalam kekinian dan menyatu dengan alam semesta.

Syukur adalah menyadari bahwa kita sudah memiliki ”modal” yang cukup untuk bahagia. Syukur mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang telah kita miliki, meresapinya, dan menikmati setiap detailnya.

Sementara sederhana merupakan kemampuan menangkap hakikat di balik setiap kerumitan. Sederhana bermakna menyadari bahwa segala sesuatu adalah sederhana, tapi kitalah yang sering kali membuatnya rumit. Jadi, bila syukur berfokus pada titik awal dan menyadari potensi kita sepenuhnya; sederhana berfokus pada tujuan dan masalah yang kita hadapi, serta menemukan hakikat di balik kerumitannya.
Sementara kasih adalah landasan kita untuk berhubungan dengan orang lain. Ini lebih dari sekadar menang-menang yang sebenarnya mengisyaratkan hubungan transaksional. Saya hanya mau berhubungan dengan Anda bila saya mendapatkan keuntungan yang setimpal. Kasih jauh lebih fundamental, sebab kasih tidak akan pernah menghitung-hitung kemenangan. Bukankah mengasihi saja sudah merupakan sebuah kemenangan tersendiri?
Namun, kasih hanya akan menjadi teori bila tak diwujudkan dalam bentuk memberi. Di lain pihak banyak orang yang memberi tetapi tidak dilandasi kasih. Mereka memberi karena maksud tertentu. Tentu saja bukan pemberian semacam ini yang saya maksud.

Sementara itu, memaafkan adalah bentuk pemberian yang tersulit, karena adanya mitos yang kita percaya bahwa memaafkan menunjukkan kelemahan dan hanya menguntungkan orang lain. Padahal memaafkan tidak yang diuntungkan dari memaafkan kecuali diri kita sendiri.
Pilihan pikiran terakhir adalah berserah yang berarti menyerahkan hal-hal yang tidak mampu kita kerjakan kepada Tuhan. Walaupun demikian, masih banyak orang yang salah kaprah. Mereka menyerahkan pekerjaan mereka kepada Tuhan. Padahal Tuhan tidak akan pernah melakukan apa yang kita sendiri bisa lakukan. Tuhan hanya akan melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Berserah merupakan pikiran penutup yang menjadikan kebahagiaan kita lengkap. Bukankah hakikat hidup ini struggle to surrender?

Oleh : Arvan Pradiansyah






Baca selengkapnya...

Rabu, 31 Desember 2008

Untuk Direnungkan

Hidup di dunia tidak dapat diramalkan dan dipastikan,
Kehidupan ini singkat dan penuh penderitaan,
Ada kelahiran, usia tua, sakit dan kematian,
Inilah sifat dunia dan sifat segala hal!

Ketika buah telah masak dapat terjatuh kapan saja,
Demikian pula sesuatu yang terlahir dapat mati setiap saat.
Bagaikan sebuah periuk akan berakhir pecah,
Begitu juga kehidupan dari semua yang terlahirkan.

Baik muda maupun tua, bodoh maupun bijaksana,
Semuanya akan berakhir dengan kematian.
Orang tua kita pun tidak bisa menolong dalam hal ini,
Semua akan melanjutkan perjalanan ke dunia lain.

Lihatlah! Dengan disaksikan oleh sanak keluarga,
Disertai dengan airmata, manusia dibawa satu persatu,
Bagaikan sapi menuju ke penyembelihan.

Kehidupan dan kematian adalah hal yang alami di dunia ini,
Orang bijaksana tidak akan berduka cita melihat sifat dunia!


Sutta Nipata 574 s/d 581




Baca selengkapnya...

Ekonomi Ponzi vs Ekonomi Nurani

Pada masyarakat yang sederhana, uang memiliki dua fungsi utama, sebagai satuan hitung (unit of account) dan perantara pertukaran (medium of exchange). Ketika masyarakat berkembang menjadi kompleks, uang memiliki fungsi tambahan, yaitu sebagai penghimpun nilai (store of value) dan simbol kekayaan (symbol of wealth).
Pada masyarakat dengan tingkat monetisasi yang tinggi-suatu ciri masyarakat modern-uang menjadi komoditas yang paling banyak diperdagangkan. Jadi telah terjadi pergeseran, uang yang semula merupakan alat pembayaran, telah menjadi objek yang diperdagangkan itu sendiri.
Pada masyarakat yang sederhana, orang berjual-beli untuk produk yang sederhana seperti tanah, rumah, atau ternak. Orang juga menyimpan uang dalam bentuk tunai di bawah kasur atau di kotak penyimpanan. Ketika masyarakat berkembang, pilihan-pilihan untuk menyimpan uang semakin bervariasi. Berbagai lembaga keuangan tumbuh untuk menghubungkan pihak yang memiliki uang berlebih dengan pihak yang membutuhkan lebih banyak uang.
Pokoknya, uang tidak boleh dibiarkan diam, karena dalam uang berlaku prinsip "a dollar today is worth more than a dollar tomorrow". Ekonomi modern tumbuh seiring dengan ledakan variasi dalam instrumen pembayaran dan investasi. Orang merasa ketinggalan zaman apabila belum bertransaksi menggunakan kartu kredit atau cek pelawat. Orang merasa terbelakang apabila dalam portofolio investasinya belum memasukkan komponen surat berharga.
Dan yang menarik, dalam investasi ini orang berlomba-lomba mendapat keuntungan yang paling tinggi. Prinsip yang berlaku adalah semakin tinggi risiko, semakin tinggi imbal hasil (high risk high returns). Roger Ibbotson, profesor ekonomi keuangan di Universitas Yale, memang rajin mempelajari tingkat imbal hasil berbagai pilihan investasi. Bila kita menempatkan satu dolar hari ini ke dalam ragam investasi seperti tanah, emas, deposito, obligasi dan saham, tingkat imbal hasil untuk saham dalam jangka panjang terbukti paling tinggi.
Dengan demikian, Ibbotson membuktikan diktum semakin tinggi tingkat risiko, semakin tinggi tingkat imbal hasil. Karena risiko merupakan fungsi dari ketidakpastian, dunia investasi sesungguhnya menjualbelikan ketidakpastian. Yang menarik, semakin tinggi ketidakpastian yang dijual, semakin besar harapan orang untuk menarik keuntungan darinya. Pada tahapan ini ekonomi bergerak menuju ekonomi kasino, yaitu ekonomi berbahan bakar naluri spekulasi.
Orang menyukai produk-produk sarat spekulasi karena beberapa hal. Pertama, produk-produk spekulasi bersifat homogen. Kalau kita beli kerbau, kita harus tahu spesifikasi teknis kerbau seperti jenis, berat, usia, kesehatan, dan sebagainya. Kalau kita beli tanah, kita harus tahu lokasi, lingkungan, kemudahan akses, dan seterusnya. Pada produk yang abstrak seperti surat surat berharga dan derivatif, yang perlu kita tahu hanya tingkat risiko dan harapan imbal hasilnya. Jadi, pilihan investasi dapat direduksi ke dalam dua parameter saja: risiko dan tingkat imbal hasil.
Kedua, produk-produk investasi modern yang sarat spekulasi bersifat "bebas dari selera" (taste independence). Lukisan karya Affandi bisa dinilai berbeda oleh orang dengan tingkat selera dan pemahaman estetik yang berbeda. Tapi surat berharga yang menjanjikan tingkat keuntungan lebih besar akan diburu oleh semua investor, tak peduli berapa usia dan asal-usulnya.
Ketiga, berbeda dengan produk nyata seperti tanah, emas, dan ternak, produk-produk investasi modern yang sarat spekulasi bersifat "bebas lokasi" (location independence). Kita sering tak bersedia membeli tanah murah yang letaknya jauh di pelosok, tetapi kita sering tak ragu-ragu untuk membeli reksa dana yang dikemas oleh lembaga keuangan seperti Lehman Brothers atau Citibank, yang kantor pusatnya tak pernah kita lihat. Ekonomi spekulasi rentan terhadap penipuan.
Kita berkali-kali menyaksikan hal ini. Berita terakhir (12/12/2008) adalah penipuan besar-besaran yang melibatkan dana investasi sekira USD50 miliar yang dilakukan mantan Ketua Nasdaq Bernard Madoff di Wall Street. Madoff menjanjikan keuntungan besar kepada para investor dengan skema Ponzi, yaitu membayar keuntungan tinggi untuk investor lama dengan menggunakan dana investasi yang masuk belakangan. Jadi investor yang untung adalah mereka yang ikut duluan.
Lebih gila lagi, sebagai orang dengan pengalaman panjang bermain-main dengan pasar investasi yang paling modern, Madoff beranggapan bahwa bisnis risiko adalah "a giant Ponzi scheme". Jadi, Madoff menilai pasar adalah ajang bagi mereka yang licik untuk mengelabui mereka yang naif. Semakin canggih kita mengemas produk, semakin canggih kita mengelabui regulasi, semakin kita berjaya. Singkatnya, pasar adalah arena kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang terbuka lebar.
Sebentar lagi kita akan menutup tahun 2008 dengan kenangan tersendiri, karena inilah tahun yang penuh kisah paradoksal. Harga minyak dan sejumlah komoditas mencapai rekor harga tertinggi dan penurunan paling tajam sepanjang sejarah. Kapitalisasi pasar di bursa mengalami penurunan yang dahsyat.
Perusahaan-perusahaan yang semula menjadi simbol gengsi industri seperti General Motors dan Ford di Amerika Serikat, sempat goyah. Toyota Corporation, yang manajemen pabriknya dianggap terbaik di dunia, mencatat kerugian operasi pertama dalam 50 tahun terakhir. Sistem ekonomi kapitalisme global sedang menghadapi tantangan mahadasyat, yaitu mencari keseimbangan baru agar komponen nurani tidak terpingggirkan oleh naluri. (*)

PROF. HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D*
Guru Besar FE UKSW, Salatiga
Alumnus Tinbergen Institute, Belanda




Baca selengkapnya...

Tahun-Tahun Kegagalan Kapitalisme?

Mungkin tidak banyak yang menyangka bahwa kondisi ekonomi berubah begitu cepat pada 2008, ketika pada malam pergantian tahun banyak pihak yang merasa begitu optimistis tren booming perekonomian tahun 2007 akan berlanjut.

Terutama untuk perekonomian yang masuk dalam kategori emerging market seperti Indonesia. Para pelaku usaha di bidang perkebunan dan pertambangan umum menikmati masa jaya mereka dengan harga komoditas yang terus melambung dan permintaan dunia yang terus melaju kencang.

Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2007 jelas ditopang oleh ekspor komoditas tersebut, selain oleh konsumsi masyarakat yang menikmati daya beli cukup kuat. Surplus neraca perdagangan juga tercipta, sekaligus menyumbang untuk cadangan devisa yang terus menguat.

Ketika optimisme tersebut masih memuncak, tiba-tiba muncul kejutan dari kenaikan harga minyak bumi internasional yang perlahan tapi pasti menciptakan rekor baru harga komoditas tersebut.

Di saat banyak pihak masih berdebat apakah harga minyak bumi sekitar USD60-70 per barel, wajar atau tidak, harga tahu-tahu sudah mendekati USD100 per barel yang dianggap sebagai batas psikologis. Di atas itu dikhawatirkan harga akan lepas kendali dan bisa mencapai berapa saja. Ternyata batas psikologis itu pun dengan mudahnya dilewati dan akhirnya mencapai tingkat harga tertinggi, USD150.

Pada saat itu, dunia berspekulasi bahwa harga mungkin saja mencapai USD200. Tren kenaikan harga minyak di luar kebiasaan tersebut tentu sangat menguntungkan pelaku bisnis minyak terutama negara penghasil dan perusahaan yang terlibat. Indonesia juga punya potensi diuntungkan, tapi lenyap begitu saja karena ternyata bukan lagi negara pengekspor bersih minyak bumi, tapi sudah berubah menjadi negara pengimpor bersih. Jumlah impor minyak Indonesia sudah berada di atas ekspor.

Untuk negara seperti Indonesia yang tergolong kecil dalam konteks perdagangan internasional, kondisi 2008 terasa menyesakkan. Di satu sisi ada berkah dari ekspor komoditas yang kuat dan makin kuat lagi dengan tren kenaikan harga minyak yang juga menaikkan harga ekspor komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan kelapa sawit.

Di sisi lain, Indonesia harus menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang akan menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan yang sangat tidak populer tapi perlu, yaitu menaikkan harga BBM, akhirnya dilakukan pemerintah dan -seperti biasa- menuai protes yang tidak sedikit. Inflasi dengan sendirinya melambung karena kenaikan harga BBM tersebut hingga menembus batas psikologis 10 persen.
Tingginya inflasi membuat pertumbuhan ekonomi tahun 2008 yang sebenarnya meneruskan tren 2007, yaitu sekitar 6 persen, menjadi tergerus maknanya dengan berkurangnya daya beli masyarakat secara relatif.

Semangat yang muncul bahwa tahun 2008 adalah dimulainya kebangkitan ekonomi Indonesia, seperti yang diharapkan dari peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, pupus sudah dan berganti dengan kekhawatiran terhadap kelangsungan ekonomi Indonesia maupun dunia.

Pada saat yang sama,di belahan dunia lain yang merupakan perekonomian adidaya dunia, yaitu Amerika Serikat, muncul bibit krisis yang ternyata jauh lebih serius dari yang muncul di permukaan. Krisis kredit perumahan (subprime mortgage) yang tadinya diperkirakan mempunyai dampak terbatas dan dianggap hampir selesai pada 2007 ternyata masih mempunyai kelanjutan dan memunculkan sisi gelap dari kapitalisme serta globalisasi yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya.

Para pelaku sektor keuangan di AS ternyata mempraktikkan kapitalisme yang kebablasan dengan konsep dasar "money creates more money" atau menjadikan uang sebagai komoditas untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan berbagai produk derivatif yang seolah-olah kreatif dan inovatif, tapi sebenarnya sangat berisiko, kredit macet perumahan tersebut telah menyebar ke berbagai institusi keuangan terkemuka.

Tidak hanya di AS, tetapi juga di Eropa dan Asia. Kegagalan menuntaskan kredit macet perumahan tersebut akhirnya menumbangkan para pelaku keuangan besar di negara-negara tersebut. Pada saat yang sama sebenarnya AS dan Eropa sudah berada di ambang resesi ekonomi.

Kebangkrutan salah satu bank investasi terkemuka di AS,Lehman Brothers,menjadi pemicu awal krisis keuangan global yang kemudian memunculkan borok utama sistem kapitalisme, yaitu ketamakan yang tidak terkendali, bahkan oleh sistem pengawasan yang canggih sebagaimana dimiliki AS.

Karena sistem kapitalisme di AS sangat bergantung pada kegiatan sektor keuangan, runtuhnya sektor tersebut sama artinya dengan runtuhnya perekonomian AS yang sebenarnya dikenal sebagai perekonomian yang boros, konsumtif, dan mulai kehilangan daya saing. Kemungkinan resesi perekonomian AS berarti kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak hanya mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat AS,tetapi juga berdampak pada seluruh masyarakat dunia.

Globalisasi yang selama ini diagung- agungkan akan menularkan kemakmuran dari negara maju ke negara sedang berkembang,malah menularkan masalah yang harus diselesaikan dan dihadapi pemerintahan masing-masing negara tanpa kecuali. Yang amat sulit diprediksi adalah kapan krisis ini berakhir alias kapan perekonomian AS akan mengalami pemulihan.
Pendapat yang banyak muncul akhir-akhir ini adalah 2010 sebagai masa pemulihan krisis di AS yang artinya sepanjang tahun 2009 adalah tahun resesi atau tahun perlambatan ekonomi di berbagai penjuru dunia. Indonesia tentu bukan pengecualian dan kita semua harus segera menyiapkan jurus-jurus menangkal dampak terburuk dari krisis.

Di satu sisi, tampaknya segala elemen bangsa sepakat bahwa memperkuat dan melindungi pasar atau perekonomian domestik adalah langkah utama menangkal dampak krisis, memanfaatkan ukuran pasar domestik Indonesia yang sangat besar. Di sisi lain, belum ada kesepakatan tentang langkah luar biasa untuk dapat menciptakan pertumbuhan yang cukup lumayan (di atas 5 persen) pada 2009.

Di saat berbagai negara mengeluarkan paket stimulus perekonomian, Indonesia tampaknya masih kelihatan "tenang". Belum terlihat keluar paket yang jelas, kecuali berbagai insentif pajak untuk beberapa komoditas, wacana tentang percepatan pembangunan infrastruktur, serta alokasi APBN untuk mengurangi kemiskinan dan dampak pengangguran.

Sayangnya hal-hal di atas masih tercerai berai dan sukar untuk menjawab apakah Indonesia sudah punya paket stimulus perekonomian dan berapa besarnya. Di dalam arena perebutan modal yang sangat kompetitif dan terkadang kejam, Indonesia harus lebih proaktif dan berani. Kalau pihak lain sudah menawarkan penjaminan penuh dana simpanan masyarakat dan pinjaman antarbank, sudah selayaknya Indonesia tidak berbeda dengan mereka sekaligus memperkuat instrumen pengawasan untuk mencegah moral hazard.

Di saat pihak lain menciptakan stimulus untuk mencegah pertumbuhan lebih rendah, Indonesia juga tidak boleh ketinggalan karena pasar modal dan pasar uang juga akan sangat terpengaruh dengan kesiapan pemerintah mendorong pertumbuhan tahun 2009.

Bagi masyarakat, paket stimulus akan menumbuhkan kepercayaan terhadap pemerintah yang dianggapnya peduli dengan kemungkinan terburuk yang dapat menimpa mereka, dan berusaha dengan segala cara agar krisis tidak terlalu menghancurkan perekonomian rumah tangga masyarakat.

Satu hal yang pasti, tahun 2009 adalah masa introspeksi bagi semua pelaku perekonomian Indonesia untuk bertindak lebih bijaksana dan tidak terbawa ambisi berlebihan atau ketamakan yang menjadi penyakit utama kapitalisme. Good governance yang akhir-akhir ini banyak digembar- gemborkan harus dilaksanakan dengan baik dan prinsip dasar etika dalam berbisnis dan melakukan kegiatan ekonomi.

Misalnya ditunjukkan oleh prinsip ekonomi Islam,akan sangat membantu menjauhkan para pelaku dari kegiatan derivatif yang cenderung menciptakan bahaya apabila tidak dilindungi sistem pengawasan yang kuat. Tahun 2009 masih memberikan harapan bagi perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan di atas 5 persen dan inflasi sekitar 6 persen.
Namun, bila itu ingin diwujudkan, harus ada kegesitan pemerintah menghadapi dampak krisis dan kesungguhan pelaku ekonomi untuk tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Lalu, menciptakan peluang dari krisis hendaknya dijadikan motivasi utama para pelaku bisnis di Indonesia sehingga dunia usaha terus bergerak dan PHK bisa dihindarkan. (*)

Bambang PS Brodjonegoro
Guru Besar dan Dekan FEUI




Baca selengkapnya...

Catatan Akhir Tahun

Kita sudah mendekati penghujung 2008. Tahun yang ditandai dengan turbulensi besar dalam perekonomian global. Dalam menutup 2008 ini,sedikit refleksi diperlukan untuk membawa kita lebih mensyukuri apa yang kita capai tahun ini.

Masih sangat segar dalam ingatan kita betapa kekhawatiran dirasakan memuncak pada bulan Oktober lalu di mana krisis finansial global sudah mengarah pada disrupsi perekonomian secara luas.

Keadaan tersebut diperburuk oleh perkembangan yang sebetulnya bersifat lokal, tetapi kebetulan terjadi bersamaan dengan krisis global, yaitu kekeringan likuiditas yang sangat serius sehingga memunculkan kekhawatiran yang besar terhadap keamanan sistem perbankan kita.

Sementara itu sebuah kecelakaan juga terjadi secara bersamaan, yaitu ditutupnya Bank Indover oleh Otoritas Pengawasan Bank Belanda. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap USD serta indeks harga saham juga terjerembab ke tingkat yang mulai mengkhawatirkan.

Berbagai hal tersebut secara objektif memang pantas membuat banyak pihak khawatir dengan apa yang terjadi sesudahnya. Oleh karena itu kita sungguh bersyukur bahwa langkah yang diambil Bank Indonesia untuk melonggarkan likuiditas bisa dilakukan dengan sangat cepat sehingga dapat mengurangi kekhawatiran yang tidak perlu.

Demikian juga dengan langkah untuk meningkatkan penjaminan simpanan sampai dengan Rp2 miliar merupakan langkah strategis yang patut dihargai karena pada akhirnya masalah kepercayaan nasabah merupakan hal yang sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi.Pengalaman krisis tahun 1997 mengajari banyak hal mengenai hal tersebut. Pada akhirnya, orang harus pintar untuk tetap menjaga kepercayaan publik. Semacam confidence game memang merupakan bagian dari penanganan krisis yang harus dilakukan.

Perekonomian Domestik sebagai Motor

Mendekati penghujung 2008 ini, kita melihat apa yang terjadi di Indonesia umumnya berada dalam kendali yang cukup kokoh. Pada saat second round effect dari krisis subprime sudah semakin menemukan bentuknya, kita melihat resesi yang sudah terjadi di Amerika Serikat diikuti dengan Jerman, Italia, bahkan Jepang.

Di kawasan kita, Singapura mengalami pukulan yang cukup tajam. Begitu juga dengan Malaysia. Kedua negara tersebut memiliki rasio ekspor terhadap perekonomian (PDB) yang sangat besar. Di samping itu, komposisi ekspor mereka juga berat pada produk elektronik yang permintaannya bisa ditunda. Ini berakibat krisis yang terjadi secara global tersebut serta-merta memukul sektor yang menjadi pilar penting negara tersebut.

Sementara itu, dalam keadaan seperti itu, pandangan banyak pihak berpaling ke negara-negara Asia, terutama Cina dan India, termasuk Indonesia. Saya merupakan orang yang memiliki kedekatan yang sangat tinggi terhadap dunia usaha di bidang perbankan, industri makanan, dan keperluan rumah tangga (personal care and household care) serta industri lain yang berkaitan dengan elektronik, tembakau, dan sebagainya.

Dari informasi yang terkumpul sampai saat ini, suatu anomali justru terjadi. Berbagai perusahaan tersebut justru menunjukkan kinerja yang sangat positif, bahkan bisa dikatakan memberikan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.

Demikian juga dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang paling dikhawatirkan akan paling terkena dampak krisis global tersebut. Meskipun berbagai kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup (serta kelangsungan tersedianya lapangan kerja) adalah "bisa diterima akal", pada akhirnya semua hal tidaklah berlangsung secara linier.

Khusus untuk industri TPT ini, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan bahwa banyak prinsipal yang memindahkan ordernya dari China ke Indonesia. Perpindahan ini terjadi karena upah tenaga kerja yang jauh meningkat di China.

Pernyataan ini didukung pula oleh cerita yang saya peroleh dari Alain Piere Mignon, Ketua Kamar Dagang Prancis di Indonesia yang menyuplai teknologi untuk industri TPT. Ternyata sampai hari ini masih terjadi pemesanan mesin baru untuk industri garmen karena adanya order yang datang ke perusahaan mereka.

Beberapa investor Korea membuka pabrik baru di Sukabumi, sedangkan pesanan mesin baru tersebut datang dari pengusaha di Ungaran. Sementara itu, informasi dari daerah menyebutkan bahwa untuk produk perkebunan seperti karet dan kelapa sawit, penyesuaian dengan harga yang ada sekarang ini telah terjadi sehingga memungkinkan mereka bergerak lagi.
Petani karet mulai menoreh getah setelah harga karet per kilo naik menjadi Rp. 8.000. Adapun di bidang pertambangan masih banyak pula berbagai berita positif yang masuk. Bahkan Bumi Resources yang sahamnya hancur-hancuran sebetulnya merupakan perusahaan yang tetap bisa menangguk untung besar.Harga rata-rata produksi mereka mencapai USD75 per ton, sedangkan biaya produksinya hanya sekitar USD30 per ton.

Dengan berbagai informasi tersebut, perekonomian Indonesia sampai dengan penghujung tahun 2008 masih bisa dikatakan cukup aman. Saya bahkan merasa yakin bahwa PDB kita di kuartal IV 2008 ini masih memungkinkan untuk menghasilkan PDB sepanjang 2008 untuk tumbuh sedikit di atas 6%. Ini berarti kuartal IV menghasilkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,5%.

Sektor Pertanian yang Menjadi Penyelamat

Pada waktu krisis 1997, saya senantiasa memperhatikan persawahan kita sebelum mendarat di Cengkareng. Jika warnanya hijau, saya merasa tenang bahwa sektor pertanian kita tidaklah dilanda kekeringan yang menghancurkan perekonomian di akar rumput. Dewasa ini ternyata keadaan yang sama juga berlangsung. Tahun 2008 ternyata terjadi swasembada beras.

Bahkan juga jagung dan kedelai yang mengalami kenaikan produksi yang cukup tinggi. Perkembangan tersebut memungkinkan mayoritas penduduk Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang mencukupi. Bahkan bukan tidak mungkin produksi yang ada, beserta kenaikan harga gabah yang dilakukan pemerintah, memungkinkan mereka memiliki daya beli untuk dibelanjakan pada produk-produk yang lain.

Ini berarti sektor pertanian memungkinkan terciptanya pertumbuhan perekonomian domestik yang cukup besar. Dengan perkembangan tersebut, tidaklah mengherankan bahwa berbagai produk industri yang saya ceritakan di atas memiliki pertumbuhan yang tetap tinggi, bahkan hingga akhir tahun 2008 ini. Untuk 2009, kita sangat mengharapkan suku bunga mulai turun kembali secara perlahan-lahan.

Penurunan suku bunga tersebut, yang disertai ketersediaan kredit yang lebih besar, akan memungkinkan industri automotif dan properti bergerak kembali. Pada akhirnya memang diperlukan suatu kepercayaan yang besar bahwa apa yang terjadi di Indonesia mungkin bisa dikatakan terlepas dari sumber krisis di Amerika Serikat. Bagi yang optimistis,siapa tahu tahun-tahun krisis ini justru menjadi turning point Indonesia untuk menjadi negara yang lebih patut diperhitungkan di perekonomian global. (*)


Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Rektor ABFII Perbanas






Baca selengkapnya...

Senin, 08 Desember 2008

Berani Berubah, Mengubah Dan Diubah

Bagaimana cara menjadi orang yang menarik untuk diajak bercakap-cakap? Edward De Bono dalam bukunya How to Have a Beautiful Mind mengemukakan dua cara untuk menjadi orang yang menarik.

Pertama, jangan selalu setuju dengan apa yang dikatakan lawan bicara Anda. Kedua, jangan selalu tidak setuju dengan apa yang dikatakan lawan bicara Anda. Selalu setuju bisa diartikan menjilat. Lebih jauh lagi kalau dua orang yang berbicara selalu setuju dengan apa pun yang dikatakan lawan bicaranya, maka sebetulnya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kondisi yang sebaliknya juga sulit. Kalau dua orang yang berbicara selalu tidak setuju mengenai topik apa pun, maka tak ada lagi yang bisa diperbincangkan.


Jadi bagaimana cara menjadi orang yang menarik? Menurut De Bono, Anda harus berada di antara kutub Selalu Setuju dan Selalu Tidak Setuju. Namun menurut saya, perbedaan pendapat bukanlah hanya bermanfaat untuk membuat percakapan lebih hangat dan menarik. Perbedaan pendapat dibutuhkan karena hanya dengan perbedaan pendapatlah kreativitas, ide dan pengetahuan baru akan bermunculan.


Ketika semua orang sepakat, maka tidak akan pernah lahir pengetahuan (knowledge) yang baru. Padahal, tantangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis senantiasa menghendaki kreativitas dan ide brilian. Sebuah ide akan benar-benar siap ketika ide itu telah diperdebatkan, dibahas, dan dijajaki secara sungguh-sungguh. Namun menjajaki sebuah ide bukanlah hal yang mudah dilakukan.


Hambatan utamanya terletak pada ego kita masing-masing, yaitu keinginan untuk menjadi yang paling benar dan paling hebat. Betapa banyaknya pembahasan ide yang kemudian berkembang menjadi ajang pertempuran antarego. Dan ketika ego kita terlibat, sebenarnya kita tengah mengebiri ide itu sendiri. Kita bukan lagi menjajaki ide, kita malah sibuk membuktikan bahwa kita benar dan orang lain salah. Ketika serang-menyerang terjadi tak ada lagi yang membicarakan ide. Ide itu sudah selesai, dan tak akan berproses menjadi lebih baik.


Untuk mencapai kemajuan, sebenarnya kita benar-benar perlu menggodok gagasan itu sendiri. Bukankah sebuah gagasan hanya merupakan hasil pemikiran satu orang? Hanya mewakili satu sudut pandang? Bukankah akan lebih lengkap bila ada orang lain yang dapat memberi masukan mewakili sudut pandang yang berbeda?


Lebih jauh lagi, kita sebenarnya perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat relatif. Yang mutlak hanyalah Tuhan. Karena itu, kebenaran yang kita kemukakan sebenarnya hanyalah kebenaran relatif, kebenaran yang pasti tidak lengkap karena sebagai manusia kita memiliki kecenderungan untuk melihat dari sudut pandang kita sendiri. Maka, bila ada orang yang menyerang gagasan kita, sebetulnya orang ini sedang berusaha melihat gagasan itu dari sudut pandang yang berbeda. Bila ini yang terjadi, bukankah berarti orang ini sedang melengkapi dan memperkaya gagasan kita?


Kalau demikian, ketika kita berlaku defensif terhadap ide orang lain, ada dua hal yang mungkin terjadi pada kita. Pertama, kita melihat bahwa kebenaran versi kita adalah kebenaran yang mutlak, kebenaran yang final sehingga tidak bisa dibicarakan dan dipersoalkan oleh siapa pun. Kalau ini yang terjadi, kita sebenarnya sedang mempertuhankan diri kita sendiri.


Kedua, kita mengidentifikasi diri dengan gagasan kita. Padahal keduanya sangatlah berbeda. Orang yang bijak adalah orang yang mampu melepaskan gagasan dari si pemiliknya. Orang yang bijak menyadari bahwa sebelum sebuah gagasan dilempar ke pasar, gagasan itu perlu diuji, diserang, dieksplorasi lebih dulu sampai benar-benar matang dan teruji.


Semakin kita mampu melepaskan diri dari gagasan kita semakin bebaslah kita. Dengan kemampuan ini kita dapat melakukan dialog dan diskusi tanpa beban apa pun. Keinginan kita untuk mendapatkan gagasan yang benar-benar brilian telah membuat kita mampu mengalahkan ego kita sendiri. Dan karena itu, kita akan siap untuk berubah, mengubah dan bahkan diubah.


Tanpa kemampuan seperti ini, tidak akan pernah terjadi sebuah diskusi yang menghasilkan pertukaran gagasan dan pemikiran. Tidak pernah ada peningkatan pemahaman terhadap topik yang dibicarakan ataupun pemahaman terhadap individu-individu yang terlibat. Ketika kita belum dapat melepaskan diri dari gagasan kita, maka yang akan tercipta adalah perdebatan, pertahanan diri, dan keinginan menjatuhkan pihak lawan.


Dalam situasi seperti ini kemenangan yang akan kita peroleh sebenarnya merupakan kemenangan semu, sebab ide kita tidak memperoleh pengayaan, pengembangan dan peningkatan apa pun. Maka, menang dalam hal ini sebenarnya tak jauh berbeda dari kalah.


Kemenangan yang hakiki baru bisa kita dapatkan bila kualitas ide yang berkembang jauh di atas kualitas ide ketika pertama kali dikemukakan. Akan tetapi, bila hal ini terjadi biasanya sudah tidak jelas lagi siapa yang paling banyak memberi kontribusi terhadap ide itu. Stephen Covey memberi ilustrasi menarik untuk menggambarkan hal ini, ”This is not my way, this is not your way, this is the better way.”


Hal ini sudah tentu bertentangan dengan kemauan ego. Bukankah ego ingin dikenal, dianggap lebih pandai dan lebih hebat? Padahal ketika seseorang sudah meniti tangga kearifan, faktor “apa” akan jauh lebih penting ketimbang faktor “siapa”? Dan bukankah kebahagiaan yang tertinggi hendak kita peroleh ketika kita berhasil meninggalkan kebaikan di dunia ini? Adapun mengenai faktor “siapa”, bukankah sebaiknya kita serahkan saja pada perhitungan Tuhan?


Oleh : Arvan Pradiansyah, Direktur Pengelola ILM






Baca selengkapnya...

Minggu, 07 Desember 2008

Di Zaman Yang Meleset

Kata sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah membuang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut. Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keadaan di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.

Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—dengan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indonesia orang menyebutnya ”zaman meleset”.

Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, juga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,” tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sendiri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah ”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya tahu sedikit sekali tentang kelak.

Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para pakar—tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri. Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti tentang kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri dari proses jangka pendek, short runs.
Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis bahwa kesukaan Keynes akan jangka pendek hanya akibat ketakmampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa generasi. Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes seorang gay.
Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih bersekolah di Eton, Keynes hanya berpacaran dengan sesama pria, meskipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova, balerina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara tendensi seksual itu dan teori ekonominya—yang sebenarnya juga sebuah teori tentang manusia.
Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperkirakan, tapi dalam teori Keynes, manusia bukan peran yang pasif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang ”Tangan yang Tak Tampak”, yang mengatur permintaan dan penawaran, para ekonom cenderung memberikan peran yang begitu dominan kepada Sang Pasar. Tapi Keynes ragu.
Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbesar, India, Keynes tak begitu percaya bahwa dengan mekanisme yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan problemnya sendiri. Pasar, kata Keynes, ”akan tergantung oleh gelombang perasaan optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah juga ketika tak ada dasar yang solid untuk sebuah perhitungan yang masuk akal”.
Tapi kemampuan untuk bertindak ”tak memakai nalar” adalah satu sisi dari manusia. Sisi lain adalah kapasitasnya untuk mengendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah ”era stabilisasi” yang mencoba mengganti ”anarki perekonomian” dengan pengarahan dan kontrol atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar tercapai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya: kekuatan politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah hasil yang positif, dan perencanaan ekonomi sedikit banyak diperlukan.
Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang penulis yang menunjukkan bagaimana Keynes, dalam kata pengantar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The General Theory, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepada kondisi sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Negara yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez faire. Ini karena, kata Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih mengemuka”.
Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah Nazi, bisa mengelakkan empasan Depresi Besar. Tapi tentu berlebihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan sebuah sistem yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya. Ketika para intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada mengagumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima Tahun ala Stalin, Keynes tak ikut arus.
Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak keluarga istrinya di St. Petersburg. Mereka melarat dan menderita. Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal. Ajaran ini tak bisa dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedaluwarsa” tentang ekonomi.
Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatasan—seraya menyadari keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Manusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi juga ia bisa bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi kesalahan dalam pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar biasa pada Keynes.
Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas warga elite masyarakat Inggris—lebih karena kepiawaian pikirannya ketimbang karena asal-usul sosialnya—Keynes lahir di Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian pucuk kehidupan intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup membuat John Maynard seorang pemuda cemerlang yang tertarik akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom. Ia kolektor seni rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak kehidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal dan valas yang, meskipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu rekan-rekannya yang satu lingkungan.
Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak jauh dari London, ia adalah tuan rumah untuk saat-saat minum teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat, semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal. Di sana secara teratur datang Leonard dan Virginia Woolf, Mary MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam ”Bloomsbury Group” ini, ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; novel dan teori-teori terkenal ditulis.
Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi jiwa tumbuh pada Keynes. Ada sebuah kritik yang datang dari Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di London School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana Negara yang gagal mengatur dananya akan rudin terlanda inflasi. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya kritik yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan jangkauan tangan Negara akan mematikan kebebasan, dan akan membuat borjuasi terhambat.
Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya berbahaya, kalau dilakukan oleh satu lapisan elite yang progresif dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge, atau Harvard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan perekonomian ke arah terbangunnya ”Negara kesejahteraan”. Setidaknya, dengan kepemimpinan yang pintar dan bisa dipercaya, Negara sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk keadilan, tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang dilemparkan Keynes ke lantai itu bisa terus diingat: perlu keberanian para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di luar formula kapitalisme.
Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada 1980-an, formula kapitalisme kembali menguat. Para pemimpin tak mau lagi mencoba menegakkan ”Negara kesejahteraan”. Niat menyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahirkan sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara itu hampir mandek. Untuk kesejahteraan yang menyeluruh dan merata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara punya uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih hasil sendiri. Negara, sebagai lembaga publik, merasa wajib mengatur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi dengan demikian inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu.
Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan Thatcher jadi Perdana Menteri Inggris. Kedua pemimpin ini memulai ”revolusi”: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan, dan intervensi Negara praktis diharamkan.
Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmuran yang tampak di bawah perekonomian ala Reagan dan Thatcher, Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah ia pernah mengatakan hidup dan sejarah terdiri dari proses jangka-pendek? Ketika pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mujarab sepanjang masa, manusia lupa akan keterbatasan kecerdasannya sendiri.
Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menyebutkan di mana salahnya ”Revolusi Reagan”. Sebagaimana semua gerakan perubahan, tulis Fukuyama, ”Revolusi Reagan sesat jalan karena… ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bukan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara kesejahteraan.”
Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melanda dunia mengingatkan orang pada Keynes lagi dan bahwa ada keyakinan yang aus—terutama di tengah penderitaan manusia.
Tahun 2008 ini zaman ”meleset” lagi. Usaha sulit dan para penganggur kian bertambah. Kita membaca angka-angka itu. Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat lain tentang bengisnya keadaan—seperti Amerika merekam pahitnya hidup dilanda Depresi Besar dalam novel termasyhur John Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936.
Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudaranya telah jadi orang-orang yang terusir, kehilangan tanah, kehilangan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya membangun murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang merajalela bersama putus asa.
Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit harapan. Menjelang akhir novel, Tom Joad menghangatkan hati kita karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam kekurangan: ”Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa makan, aku akan di sana….”
Mungkin ini awal semacam sosialisme—yang tak harus datang dari atas.

Goenawan Mohamad








Baca selengkapnya...

Sabtu, 06 Desember 2008

Empati

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.

Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.

Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chicken Soup", saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata "terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. "Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.


Oleh : Andy F. Noya








Baca selengkapnya...

Jumat, 05 Desember 2008

Mengapa Sulit Melihat ke Dalam Diri?

Empat murid yang sedang belajar meditasi saling berjanji untuk menjalankan tujuh hari dalam keheningan. Pada hari pertama dan kedua semuanya diam. Meditasi mereka berlangsung dengan khusyuk. Namun, ketika malam ketiga tiba dan nyala lampu menjadi remang-remang, salah seorang murid tidak bisa menahan diri dan berseru kepada pelayan, ”Tolong perbaiki lampu itu!”


Murid kedua heran mendengar suara temannya. ”Kita tidak boleh berbicara,” komentarnya. Melihat hal ini murid ketiga merasa jengkel, ”Kalian bodoh. Mengapa berbicara?” ia bertanya. ”Sayalah satu-satunya orang yang tidak berbicara,” murid keempat menyimpulkan.

Pembaca yang budiman, apakah yang menarik dari cerita di atas? Ternyata melihat ke luar itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan melihat ke dalam. Ini tentu saja tidak mengherankan, melihat ke luar hanya membutuhkan mata lahir, sedangkan melihat ke dalam membutuhkan mata batin. Melihat ke luar dapat kita lakukan di tengah kesibukan, sementara melihat ke dalam hanya bisa kita lakukan dalam keheningan, manakala kita melakukan dialog yang tak terputus dengan diri kita sendiri.


Yang menarik, karena kita hanya dapat fokus pada satu hal di satu waktu, maka ketika fokus ke luar, kita akan lupa untuk melihat ke dalam. Lantas, apa yang membuat kita sulit untuk melihat ke dalam?

Menurut saya, ada tiga alasan mengapa melihat ke dalam diri sendiri itu sulit. Pertama, karena kita sering merasa sudah benar. Kita tidak sadar bahwa kebenaran hanyalah posisi kita pada saat ini, dan sama sekali tidak ada jaminan bahwa kita tetap berada di posisi ini di masa mendatang. Kita lupa bahwa posisi kita bisa berubah seperti bandul yang berayun.

Selain itu, kita kerap menganggap diri kita berada di zona aman. Kita merasa diri kita baik dan bijak. Kita merasa mempunyai kedudukan yang menjamin kita berbuat baik seperti penegak hukum, aktivis antikorupsi, ahli agama, ilmuwan dan sebagainya. Semua posisi dan label ini menciptakan perasaan aman yang pada gilirannya menghasilkan sikap kurang hati-hati, lengah dan longgar. Tanpa disadari kita mengendurkan standar kita sendiri. Inilah yang membuat banyak penegak hukum melakukan aktivitas yang melanggar hukum, aktivis antikorupsi malah melakukan tindakan korupsi, ahli agama melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan agama yang diyakininya.

Kedua, kita lebih mudah melihat ke luar karena kita senang menyalahkan orang lain. Kita acap kali merasa bangga bila kita dapat menunjukkan kesalahan orang lain. Seolah-olah dengan menunjukkan kesalahan orang lain itu kita menjadi lebih baik dan lebih besar. Secara diam-diam dan tanpa disadari, kita masih memiliki penyakit ini dalam diri kita. Kita ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Kita membangun ego kita dengan cara seperti itu.

Ada sebuah cerita inspiratif mengenai tiga orang anak yang dibawa penduduk kampung ke pengadilan dengan tuduhan mencuri buah semangka. Ketiga anak itu sangat ketakutan karena berpikir akan menerima hukuman yang berat.

Ketika sampai di hadapan hakim, hakim yang dikenal sebagai orang yang sangat keras sekaligus bijaksana itu mengatakan, “Kalau di sini ada orang yang ketika masih anak-anak belum pernah mencuri buah semangka, silakan tunjuk jari.” Ternyata tak seorang pun termasuk hakim yang mengangkat jari telunjuknya. Maka, hakim pun langsung berkata, “Perkara ditolak.”

Jadi, sebelum bicara apa-apa, lihatlah diri Anda lebih dulu. Walaupun melihat diri sendiri memang amatlah sulit. Analoginya seperti melihat telinga Anda sendiri. Telinga itu berada sangat dekat dengan diri kita, tapi bisakah kita melihatnya? Tidak bisa, Anda membutuhkan alat, yakni cermin.

Ketiga, kita sulit melihat ke dalam diri karena kita sering merasa bahwa masalah berada di luar, bukan di dalam. Padahal, bukankah semua masalah yang ada di luar itu sebenarnya bersumber dari masalah yang ada di dalam, seperti halnya orang lebih suka mengarahkan telunjuknya ke luar tetapi lupa untuk bercermin. Bukankah semua kejahatan, permusuhan, dan peperangan bersumber pada sesuatu yang ada di dalam – dan bukan di luar – diri kita?

Karena merasa bahwa masalah ada di luar bukannya di dalam, maka perilaku kita seperti perilaku orang yang membaca buku psikologi dan bukan buku kesehatan. Ketika membaca buku psikologi kita akan cenderung menganalisis perilaku orang lain yang ada di sekitar kita. Kita mengatakan, “Ya, saya tahu, rekan kerja saya memang seperti ini, begitu pula dengan pasangan hidup saya.” Ini tentu saja berbeda dari perilaku ketika membaca buku kesehatan. Bayangkan kalau Anda membaca tulisan mengenai gejala diabetes atau jantung koroner. Siapakah yang akan langsung Anda pikirkan? Tentu saja, kita akan melihat ke dalam diri kita sendiri.

Seorang bijak pernah mengatakan, “Orang yang tahu mengenai alam semesta tetapi tidak tahu apa-apa mengenai dirinya berarti belum tahu apa-apa.” Karena itu tepat sekali Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang terkenal mengatakan, ”Tengoklah ke dalam sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat...” Dalam lagu yang sama ia juga berpesan, ”Bercermin dan banyaklah bercermin. Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum...”


Oleh : Arvan Pradiansyah





Baca selengkapnya...

Kamis, 04 Desember 2008

Untuk Para Orang Tua, mudah-mudahan bermanfaat:

Suatu hari suami saya rapat dengan beberapa rekan bisnisnya yang kebetulan mereka sudah mendekati usia 60 tahun dan dikaruniai beberapa orang cucu.

Di sela-sela pembicaraan serius tentang bisnis, para kakek yang masih aktif itu sempat juga berbagi pengalaman tentang kehidupan keluarga di masa senja usia.

Suami saya yang kebetulan paling muda dan masih mempunyai anak balita, mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, dan untuk itu saya merasa berterima kasih kepada rekan-rekan bisnisnya tersebut. Mengapa? Inilah kira-kira kisah mereka.

Salah satu dari mereka kebetulan akan ke Bali untuk urusan bisnis, dan minta tolong diatur tiket kepulangannya melalui Surabaya karena akan singgah kerumah anaknya yang bekerja di sana ..

Di situlah awal pembicaraan "menyimpang" dimulai. Ia mengeluh,

"Susah anak saya ini, masak sih untuk bertemu bapaknya saja sulitnya bukan main."

"Kalau saya telepon dulu, pasti nanti dia akan berkata jangan datang sekarang karena masih banyak urusan. Lebih baik datang saja tiba-tiba, yang penting saya bisa lihat cucu."

Kemudian itu ditimpali oleh rekan yang lain.

"Kalau Anda jarang bertemu dengan anak karena beda kota, itu masih dapat dimengerti," katanya.

"Anak saya yang tinggal satu kota saja, harus pakai perjanjian segala kalau ingin bertemu."

"Saya dan istri kadang-kadang merasa begitu kesepian, karena kedua anak saya jarang berkunjung, paling-paling hanya telepon."

Ada lagi yang berbagi kesedihannya, ketika ia dan istrinya mengengok anak laki-lakinya, yang istrinya baru melahirkan di salah satu kota di Amerika.

Ketika sampai dan baru saja memasuki rumah anaknya, sang anak sudah bertanya,"Kapan Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?"

"Bayangkan! Kami menempuh perjalanan hampir dua hari, belum sempat istirahat sudah ditanya kapan pulang."

Apa yang digambarkan suami saya tentang mereka, adalah rasa kegetiran dan kesepian yang tengah melanda mereka di hari tua. Padahal mereka adalah para profesional yang begitu berhasil dalam kariernya.

Suami saya bertanya,

"Apakah suatu saat kita juga akan mengalami hidup seperti mereka?" Untuk menjawab itu, saya sodorkan kepada suami saya sebuah syair lagu berjudul Cat's In the Cradle karya Harry Chapin. Beberapa cuplikan syair tersebut saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia agar relevan untuk konteks Indonesia ..

Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh berkah. Aku harus siap untuknya, sehingga sibuk aku mencari nafkah sampai 'tak ingat kapan pertama kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar bicara dan mulai lucu bertingkah.

Namun aku tahu betul ia pernah berkata,

"Aku akan menjadi seperti Ayah kelak"

"Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama".

Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh; Ia berkata,

"Terima kasih atas hadiah bolanya Ayah, wah ... kita bisa main bola bersama. Ajari aku bagaimana cara melempar bola"

"Tentu saja 'Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah banyak pekerjaan sekarang"

Ia hanya berkata, "Oh ...."

Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang, seraya berkata, "Aku akan seperti ayahku. Ya, betul aku akan sepertinya"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu aja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Suatu saat anakku pulang ke rumah dari kuliah; Begitu gagahnya ia, dan aku memanggilnya, "Nak, aku bangga sekali denganmu, duduklah sebentar dengan Ayah"

Dia menengok sebentar sambil tersenyum,"Ayah, yang aku perlu sekarang adalah meminjam mobil, mana kuncinya?"

"Sampai bertemu nanti Ayah, aku ada janji dengan kawan"

"Nak, jam berapa nanti pulang?"

"Aku tak tahu 'Yah, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"

Aku sudah lama pensiun, dan anakku sudah lama pergi dari rumah;

Suatu saat aku meneleponnya.

"Aku ingin bertemu denganmu, Nak"

Ia bilang,"Tentu saja aku senang bertemu Ayah, tetapi sekarang aku tidak ada waktu. Ayah tahu, pekerjaanku begitu menyita waktu, dan anak-anak sekarang sedang flu. Tetapi senang bisa berbicara dengan Ayah, betul aku senang mendengar suara Ayah"

Ketika ia menutup teleponnya, aku sekarang menyadari; Dia tumbuh besar persis seperti aku;

Ya betul, ternyata anakku "aku banget".

Rupanya prinsip investasi berlaku pula pada keluarga dan anak. Seorang investor yang berhasil mendapatkan return yang tinggi, adalah yang selalu peduli dan menjaga apa yang diinvestasikannya.

Saya sering melantunkan cuplikan syair tersebut dalam bahasa aslinya, "I'm gonna be like you, Dad, you know I'm gonna be like you", kapan saja ketika suami saya sudah mulai melampaui batas kesibukannya.


Sumber: Anonymous







Baca selengkapnya...

Rabu, 03 Desember 2008

Ayam dan Bebek

Berikut ini adalah cerita kegemaran guru saya, Ajahn Chah dari Thailand timur laut.

Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan: "Kuek! Kuek!"

"Dengar," kata si istri, "Itu pasti suara ayam."
"Bukan, bukan. Itu suara bebek," kata si suami.
"Nggak, aku yakin itu ayam," si istri bersikeras.
"Mustahil. Suara ayam itu 'kukuruyuuuk!', bebek itu 'kuek! kuek!' Itu bebek, Sayang," kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.
"Kuek! Kuek!" terdengar lagi.
"Nah, tuh! Itu suara bebek," kata si suami.
"Bukan, Sayang. Itu ayam. Aku yakin betul," tandas si istri, sembari menghentakkan kaki.
"Dengar ya! Itu a..da..lah.. be..bek, B-E-B-E-K. Bebek! Mengerti?" si suami berkata dengan gusar.
"Tapi itu ayam," masih saja si istri bersikeras.
"Itu jelas-jelas bue.. bek, kamu. kamu.."

Terdengar lagi suara, "Kuek! Kuek!" sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya. Si istri sudah hampir menangis, "Tapi itu ayam.."

Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya, ingat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, "Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok."

"Terima kasih, Sayang," kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.
"Kuek! Ku ek!" terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.

Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar adalah: siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu.
Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele?
Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal "ayam atau bebek"?

Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita.
Banyak hal jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa kita benar, namun belakangan ternyata kita salah?

Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek!


Oleh : Ven Ajahn Brahm



















Baca selengkapnya...