Jumat, 17 April 2009

Serangan Lewat Propaganda

Propaganda, per definisi, adalah diseminasi terorganisasi (organized dissemination) segala macam informasi yang dilancarkan untuk memengaruhi, bahkan mengubah, kepercayaan, sikap, dan perilaku khalayak yang menjadi sasaran.

Tujuan akhir propaganda tidak lain untuk melumpuhkan lawan. Dalam komunikasi politik, propaganda--juga perang urat saraf--diakui sebagai salah satu bentuk komunikasi yang ampuh. Dalam textbooks ilmu propaganda, kita diajari ada tiga bentuk propaganda, yaitu propaganda putih, hitam, dan abu-abu.

Perbedaannya, terutama, terletak pada sumber informasi dan tujuan. Sesuai namanya, sumber informasi dalam propaganda putih amat jelas karena dicantumkan. Sepintas, orang awam tidak sadar bahwa informasi-informasi yang diterimanya merupakan sebuah propaganda. Dalam hal propaganda hitam, sumbernya "gelap", sama sekali tidak jelas.

Di antara kedua jenis propaganda ini kemudian terdapat propaganda abu-abu samar-samar. Khalayak bisa menduga siapa pihak yang melancarkannya meski masih harus dibuktikan kebenaran dugaannya. Perihal tujuan, perang propaganda hitam mempunyai goal untuk menghancurkan lawan secara keji, character assassination istilah populernya.

Dengan kerangka pikiran yang sederhana ini, marilah kita analisis fenomena Say No to Mega yang sekonyong-konyong muncul di Facebook, Minggu, 5 April 2009, malam, beberapa jam menjelang akhir kampanye terbuka pemilihan legislatif. Sesuai namanya, Facebook ini berisikan pesan-pesan yang semuanya bernada anti-Megawati. Pokoknya, di dalam situs itu terdapat 1.001 alasan mengapa Megawati tidak layak untuk kembali menjadi Presiden Indonesia.

Menurut sebuah portal berita, hingga 6 April sekitar pukul 09.30 WIB, sudah 7.000 lebih orang yang masuk ke dalam grup Facebook Say No to Mega. Sampai 7 April pukul 16.00 WIB tercatat 25.994 anggota Facebook yang memanfaatkan jalur komunikasi ini. Luar biasa! Yang tidak kalah hebat, pada waktu yang bersamaan, dapat dilihat pula di Facebook: Say Yes to SBY.

Jumlah anggota yang terdaftar di dalam grup kedua ini lebih banyak lagi: sudah lebih dari 30.000 hingga 7 April pukul 17.00 WIB. Pertanyaan kita: apakah serangan Say No to Mega di internet dapat dikualifikasikan propaganda? Propaganda hitam atau apa? Siapa orang atau pihak yang melancarkannya? Bahwa ini merupakan propaganda, tepatnya propaganda untuk menghancurkan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Umum 2009, saya jawab dengan tegas: yes! Propaganda hitam? Tidak.

Menurut saya, situs itu termasuk propaganda abu-abu. Pertama, sumbernya samar-samar bisa kita tebak, yaitu kubu yang selama ini dikenal sebagai lawan utama Megawati/PDIP. Namun, kita jangan cepat menuding pihak yang mendesain dan meluncurkan grup Facebook Say No to Mega adalah orang-orang SBY. Belum tentu! Ingat, politics is dirty.

Tepatnya, permainan politik di mana saja memang sangat kotor. Demi tujuan politik, siapa saja bisa nekat melakukan tindakan apa pun; apalagi election is war. Sesungguhnya, pemilihan umum sama dengan sebuah peperangan dan dalam setiap peperangan, moto "to kill or to be killed" berlaku.

Kita bisa putar lagi memori kita pada kampanye Pemilu 2004. Saat itu Jenderal (Purn) Wiranto selaku salah satu calon presiden juga menjadi korban propaganda hitam. Tiba-tiba di Kota Yogyakarta beredar VCD AFI yang--kulit mukanya-- bergambarkan beberapa pemenang AFI "angkatan I".

Waktu itu masyarakat Indonesia sedang demam AFI. VCD ini diedarkan cuma-cuma di pinggir jalan-jalan raya Yogyakarta oleh anak-anak muda, kemudian meluas sampai Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Ketika si penerima memutarnya di rumah, dalam tempo beberapa menit, tontonan AFI berubah menjadi tontonan huru-hara Semangi I dan II.

Jelas, ini merupakan black propaganda untuk menghancurkan karakter Wiranto agar rakyat tidak memilih calon presiden yang satu ini. Siapa sumbernya? Samar-samar sejumlah LSM menjadi target yang dicurigai. Tudingan ini bisa benar, bisa juga salah. Toh yang menjadi musuh Wiranto ketika itu bukan hanya LSM penegak HAM, tapi juga sejumlah politisi lain. Pada akhirnya, teka-teki mengenai the propagandist dalam kasus "VCD AFI" tidak pernah terungkap.

Kedua, harus kita akui bahwa permainan politik mempunyai macam-macam trik. Adakalanya, trik itu amat sukar dilacak, apalagi dilumpuhkan. Bisa saja pihak ketiga memanfaatkan "perang SBY-Mega" untuk kentungannya, dengan cara mengadu-domba secara head-to-head kedua politisi ini.

Mereka mengetahui bahwa publik akan serta-merta menaruh prasangka buruk kepada kubu SBY dengan lahirnya Say No to Mega, apalagi dibarengi dengan kemunculan Say Yes to SBY. Mungkin saja sasaran propaganda ini bukan Megawati, melainkan JK. Bukankah kemungkinan Mega-JK semakin kental? Bukankah pun JK pun banyak musuh politiknya? Ketiga, mungkin juga pihak yang meluncurkan grup Facebook ini sesungguhnya ingin menohok SBY.

Bagaimana logikanya? Jika tercipta opini bahwa kubu SBY bermain kotor dengan cara black propaganda untuk "menewaskan" lawan politik utamanya, yaitu Megawati, masyarakat bisa berbalik antipati terhadap SBY. Dia akan dituding Machaviavellist, politisi yang menghalalkan cara demi mencapai tujuan.

Anda masih ingat "doktrin zalimisme"? Di Indonesia seperti sudah tercipta sebuah kebenaran bahwa barang siapa dizalimi oleh lawan politiknya, dia akan mendapat simpati besar dari rakyat. Megawati dizalimi oleh Soeharto, maka PDIP berjaya dalam Pemilu 1999. SBY dizalimi oleh Megawati, maka SBY menang dalam Pemilu 2004.

Kini, kalau bisa diciptakan opini bahwa Megawati dizalimi oleh SBY, efek itu diharapkan terulang lagi. Para pembaca yang budiman, politik adalah seni mengelola yang tidak mungkin menjadi mungkin. Pusing, pusing menganalisis perpolitikan di Indonesia, karena begitu banyak faktor XYZ yang ikut berperan! Saya hanya mengimbau semua pemain dalam Pemilu 2009: bermainlah dengan menghormati etika politik. Ingat, power is not everything. Yang everything adalah Gusti Allah. Barang siapa menang dengan caracara kotor, pada saatnya kutukan akan datang dari Gusti Allah. Percayalah!


Tjipta Lesmana
Pakar Komunikasi Politik