Selasa, 14 April 2009

G-20 Mencari Solusi Krisis Global?

Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (KTT G-20) di London, 2 April lalu, menghasilkan komunike rencana pemulihan dan reformasi global.

Menarik dicatat, para kepala negara G-20 mengajukan solusi global atas krisis. Masalahnya, apakah kesepakatan negara anggota G-20 tersebut mampu menghentikan krisis keuangan global yang melanda hampir semua negara?

Berdasarkan sejarahnya, pembentukan G-20 merupakan respons atas krisis pada akhir 1990-an. Kata “G” mencerminkan “kelompok informal” dari sejumlah negara, bukan lembaga internasional resmi, seperti Bank Dunia, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memiliki staf tetap.

G-20 dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan negara emerging market, yang kurang didengar dan diperhitungkan. G-20 memfasilitasi negaranegara maju dan emerging market utama agar dapat berdialog secara terbuka dan konstruktif atas berbagai isu stabilitas ekonomi global.

Agar forum ekonomi dan lembaga global dapat bekerja sama, Direktur Eksekutif IMF dan Presiden Bank Dunia juga ikut berpartisipasi dalam KTT secara ex officio. Anggota G-20 terdiri atas para menteri keuangan dan gubernur bank sentral 20 negara, yaitu Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi,Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Peran penting G-20 setidaknya karena output perekonomian negaranegara G-20 ini menyumbang sekitar 90 persen produk nasional bruto perekonomian dunia, 80 persen perdagangan dunia, dan dua pertiga dari penduduk dunia. Singkatnya, ekonomi negara G-20 mencerminkan mega-market dan pelaku perdagangan terbesar di dunia.

Para pemimpin dunia yang hadir pada KTT di London lalu menegaskan kembali komitmen mereka untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan tersedianya lapangan kerja. Mereka menyetujui untuk menyediakan dukungan program senilai USD1 triliun untuk membantu perekonomian dunia mengatasi krisis sekaligus mengembalikan kredit, pertumbuhan ekonomi, dan pekerjaan.

Dana dalam jumlah besar tersebut akan disalurkan melalui lembaga keuangan internasional dan membiayai perdagangan dunia. Krisis keuangan global ternyata memberi pelajaran bahwa kapitalisme global terbukti rentan terhadap krisis. Ambruknya perusahaan-perusahaan besar dan global di Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjadi headline semua media massa di dunia.

Indeks harga saham gabungan dan nilai kurs ikut merosot drastis yang membuktikan contagioneffect dan dampak penularan krisis sangat cepat menjalar ke seluruh penjuru dunia,tak terkecuali Indonesia. KTT London membahas upaya meningkatkan koordinasi global demi membantu mengembalikan pertumbuhan ekonomi global. Setidaknya ada tiga komitmen yang harus disepakati dalam pertemuan itu.

Pertama, menstabilkan pasar finansial dan membantu para pelaku bisnis untuk keluar dari resesi. Untuk memperkokoh pengawasan dan regulasi keuangan, para pemimpin dunia tersebut setuju untuk memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan sistem pengawasan dan peraturan yang lebih kredibel agar mampu mengatasi risiko makroekonomi dengan lebih hati-hati.

Kedua, reformasi dan penguatan keuangan global dan sistem ekonomi untuk mengembalikan keyakinan dan kepercayaan publik. Untuk mengatasi krisis dan mencegah agar krisis ini tidak terulang kembali di masa depan, para pemimpin dunia setuju untuk menambah USD850 miliar melalui IMF, Bank Dunia dan bank pembangunan multilateral lain.

Para pemimpin G-20 juga sepakat, negara emerging markets dan negara berkembang lain perlu mendapatkan keterwakilan di lembaga keuangan internasional agar dapat memperoleh fasilitas keuangan yang dapat mempercepat reformasi keuangan.

Ketiga, meletakkan ekonomi global dalam kerangka pertumbuhan yang berkelanjutan, membuka lapangan kerja, dan memberantas kemiskinan.Para pemimpin G-20 tersebut berkomitmen untuk mendorong perdagangan bebas dan investasi global serta menolak kebijakan proteksionisme untuk mengurangi kemiskinan.

Untuk mendorong perdagangan yang lesu, mereka setuju untuk menyediakan USD250 miliar yang akan memfasilitasi 90 persen perdagangan dunia. Mereka juga menegaskan kembali komitmen untuk mewujudkan Millennium Development Goals dengan menyediakan dana sebesar USD50 miliar demi membantu negara berkembang menghadapi krisis.

Para pemimpin dunia tersebut menyadari, krisis juga berimbas ke negara miskin. Untuk itu, mereka juga menugasi PBB untuk menciptakan mekanisme yang efektif untuk memonitor dampak krisis pada negara miskin yang paling rentan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan pemulihan ekonomi global yang adil, karena pemulihan ekonomi global tidak akan sustainable kecuali hal tersebut bermanfaat bagi negara miskin dan menyediakan kesempatan bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan.

Para menteri G-20 sebelumnya telah mengeluarkan pemberitahuan resmi yang menyatakan, International Organization of Securities Commission (IOSCO) akan meningkatkan peranannya sebagai badan pengawas supranasional untuk mencegah terulangnya krisis kembali. Ini membutuhkan perombakan kuota IMF untuk meningkatkan porsi emerging markets dan ditargetkan harus selesai pada Januari 2011.

Adapun perombakan Bank Dunia harus diselesaikan pada April 2010, termasuk demokratisasi pimpinan Bank Dunia/ IMF harus berdasarkan meritokrasi dan bukan lagi kuota duopoli AS untuk Bank Dunia dan Eropa untuk IMF. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga telah memprediksi, perdagangan global akan turun 9 persen tahun ini. Penurunan ini merupakan yang terbesar sejak Perang Dunia II.

Antara tahun 1990 sampai 2006, perdagangan dunia tumbuh lebih dari 6 persen per tahun. Namun saat ini mesin ekonomi bergerak kebalikannya. Sejak KTT G-20 November 2008 di Washington, 17 negara G-20 mulai menerapkan kebijakan perdagangan sangat ketat. Beberapa menaikkan bea masuk (tariffs) seperti India pada baja, Rusia pada mobil bekas. China juga telah melarang impor daging babi dan merek Italia.

Bagi Indonesia, dampak krisis global dipastikan terasa pada semester I/ 2009. Penurunan tajam diperkirakan terutama terjadi pada investasi, ekspor, dan impor. Proyeksi untuk tiap variabel adalah 6,5 persen untuk investasi, 5,9 persen untuk ekspor, dan 6,1 persen untuk impor. Selain itu, penurunan pun terjadi pada permintaan domestik, yaitu sebesar 5,7 persen, konsumsi masyarakat 4,8 persen, serta konsumsi pemerintah 10,4 persen.

Dengan konstelasi dan prediksi semacam ini, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan tumbuh sekitar 4,5?5,5 persen. Bahkan Asian Development Bank baru-baru ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 3,6 persen dan baru mulai pulih menjadi 5 persen tahun 2010.

Berdasarkan analisis IMF (2009), perekonomian negaranegara maju seperti AS, negaranegara Eropa, dan Jepang akan mengalami pertumbuhan negatif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar -2 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi AS, Eropa, dan Jepang mengalami kontraksi,yaitu sebesar -1,6 persen, -2 persen, dan -2,6 persen. Negara sedang berkembang dan ASEAN diproyeksikan tumbuh rendah tapi positif, masing-masing sebesar 3,3 persen dan 2,7 persen.

Forum G-20 memang harus dijadikan sebagai forum koordinasi lintas negara, setidaknya di antara 20 negara yang merupakan megamarket terbesar di dunia. Dalam konteks ini, amat menarik mencermati pidato Presiden SBY di London School of Economics 31 Maret lalu dengan judul Indonesia: Regional Role, Global Reach.

Sudah saatnya Indonesia memainkan peranan penting secara regional maupun global. Indonesia dan G-20 punya komitmen yang sama untuk menyelesaikan krisis global. Sudah saatnya Indonesia mengubah paradigma dari think globally but act locally menjadi think and act both globally & locally. Bersama kita bisa?


MUDRAJAD KUNCORO
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM