Kamis, 28 Januari 2010

Paradigma Pembangunan Ekonomi

Ketimpangan(disparitas) merupakan persoalan klasik dalam desain pembangunan. Hal itu tidak hanya dialami Indonesia, melainkan juga negara-negara berkembang lain.

Ketimpangan pendapatan ekonomi akan memunculkan sejumlah persoalan seperti kecemburuan sosial,arus urbanisasi, kejahatan perkotaan, degradasi kualitas hidup desa dan kota,hingga soal-soal politik. Indonesia dan sejumlah negara berkembang lain pernah mengalami dampak negatif rasa ketidakadilan sosial, yaitu saat krisis multidimensi 1997–1998.

Krisis keuangan menjelma menjadi krisis sosial dan ekonomi karena perasaan tidak adil terhadap akses dan kepemilikan sumber daya ekonomi nasional. Penjarahan terjadi di beberapa kota akibat rasa ketidakadilan masyarakat di tingkat akar rumput (grass-root). Oleh karena itu, desain pembangunan ekonomi menjadi penting untuk diprioritaskan. Bagaimana mengurangi ketimpangan dan kesenjangan tidak hanya antara kaya dan miskin, melainkan juga kesenjangan antardaerah dan antarsektor produksi?

Kita perlu satu desain besar pembangunan ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, melainkan juga melihat ukuran pemerataan dan distribusinya. Mungkin kita perlu merenungkan lebih serius tentang no sustainable growth without distribution. Tidaklah mengherankan apabila penajaman dan ukuran lain dibutuhkan untuk mengurangi rasa ketidakadilan sosial lapisan paling terpinggirkan.

Rasa keadilan menjadi sorotan banyak akademisi, termasuk John Rawls yang melihat bahwa justice as fairness. Adil tidak harus sama rata sama rasa, tetapi ada perlakuan yang fair dalam distribusi pembangunan ekonomi di setiap lapisan masyarakat (UMKM, pengusaha lokal, pengusaha asing), kawasan (Jawa dan non-Jawa),dan sektoral (pertanian, kelautan, pertambangan, manufaktur, dan lain-lain).

Pertumbuhan ekonomi yang sampai sekarang masih menjadi target capaian utama pemerintah semakin dituntut untuk berkeadilan sosial melalui pemerataan perekonomian di desa dan di kota, di luar Pulau Jawa dan di dalam Pulau Jawa. Kita bisa melakukan introspeksi pertumbuhan dan pemerataan pada periode 1999–2009 dibandingkan periode sebelumnya.

Hal ini berguna untuk menambah pemahaman terhadap kesesuaian antara arah pembangunan kita selama beberapa periode sebelumnya dan yang akan datang. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa ukuran seperti inflasi, pertumbuhan, koefisien gini, dan lain-lain.

Walaupun pada periode sebelum tahun 1999 pemerintah menyusun rencana pembangunan jangka panjang tahap satu dengan merangkai lima periode rencana pembangunan lima tahun,ukuran yang dipakai oleh pemerintahan setelah 1999 sampai sekarang masih berhubungan. Pada data tentang inflasi misalnya, respons masyarakat atas inflasi tertentu akan berbeda bagi kelompok masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah.

Ukuran inflasi secara agregat jelas mengabaikan realitas kesulitan hidup masyarakat di tingkat bawah. Sementara itu, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja juga perlu dilihat lebih dalam lagi. Jangan sampai pertumbuhan tinggi hanya dikontribusikan oleh sektorsektor padat modal dan teknologi sehingga penyerapan tenaga kerja menjadi minim.

Karena itu sangat dibutuhkan keberpihakan pemerintah dan legislatif baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk mengangkat masyarakat yang sekarang ini terpinggirkan menjadi pelaku aktif ekonomi daerah maupun nasional. Program-program pembinaan dan dukungan pendanaan bagi UMKM perlu ditingkatkan. Selain itu juga sinergi antara perusahaan besar-menengah-kecil juga perlu diperkuat demi menciptakan basis industri yang kuat dan efisien.

Keterlibatan masif masyarakat dalam kegiatan ekonomi diharapkan dapat mengurangi rasa ketidakadilan sosial dalam pembangunan ekonomi. Melihat angka koefisien gini dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, kita dapat menyimpulkan bahwa belum ada perbaikan untuk mengurangi kesenjangan sosial.

Dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), maka pada tahun 1965–1970 pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7 persen dan koefisien gini sebesar 0,35. Berikutnya pada tahun 1971–1980 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen dan koefisien gini 0,4; tahun 1981–1990 pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4 persen dan koefisien gini sebesar 0,3.

Adapun koefisien gini tahun 1998 sebesar 0,32; 1999 0,33; 2002 0,33, 2004 0,32; 2006 0,36; serta 2007 0,37. Memperhatikan data di atas ini, pembangunan ekonomi nasional kita masih perlu lebih fokus untuk mengurangi rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial. Dengan demikian,kita dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas demi mayoritas bangsa Indonesia.

Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkalikali menyampaikan komitmen untuk lebih menekankan aspek keadilan dan pemerataan dalam pembangunan nasional. Konsekuensi dari target yang ingin dicapai Presiden SBY ini adalah ukuran kinerja ekonomi perlu melihat lebih dalam lagi, terutama usaha dan strategi untuk mengurangi ketimpangan sosial yang selama ini terjadi.

Lantas bagaimana? Tentu saja dengan melibatkan sebanyak mungkin orang di dalam pembangunan ekonomi dan menghindari kecemburuan yang dapat mengkristal menjadi persoalan yang bisa menghambat pencapaian target kesejahteraan nasional. (*)


Firmanzah, Ph.D - Dekan Fakultas Ekonomi UI