Senin, 05 Maret 2012

MENGENDALIKAN UTANG LUAR NEGERI

Langkah pemerintah untuk tidak jor-joran meminjam Utang Luar Negeri (ULN) dalam bentuk apapun patut diapresiasi. Belajar dari pengalaman negara-negara Eropa yang terjebak ke dalam kubangan utang yang menggunung, sudah seharusnya negara-negara lain, termasuk Indonesia, pandai-pandai mengendalikan dan mengelola ULN.

Sebagai contoh, konon pemerintah menegaskan tidak lagi menggunakan fasilitas kredit ekspor di sejumlah proyek. Langkah ini untuk mengurangi beban utang yang terus membengkak. Esensinya, kalau memang pemerintah berada dalam posisi terdesak, maka ULN tidak harus dipaksakan untuk diambil.

Dengan dicapainya peringkat investment grade, sejatinya Indonesia memiliki peluang dan ruang yang sangat besar untuk memperoleh fasilitas ULN. Bahkan lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara kreditur pun akan mudah tergoda untuk memberikan fasilitas pinjaman kepada Indonesia. Namun, sekali lagi, sejauh kemampuan keuangan pemerintah masih memadai, maka ULN tidak harus diupayakan selalu ada.

Tepat pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menegaskan kebijakan pemerintah saat ini ingin benar-benar mengurangi sumber pendanaan dari ULN. Meski tidak dapat dimungkiri, secara absolut ULN Indonesia saat ini jauh lebih besar ketimbang tahun lalu, yakni mencapai Rp1.816 triliun.

Tetapi, meski ULN lebih besar ketimbang tahun lalu, namun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan dibandingkan negara-negara lain. Jika pada tahun 2004, PDB Indonesia mencapai Rp2.295 triliun dan ULN Rp1.299 triliun atau hampir Rp1.300 triliun. Maka, rasionya 56% atau lebih dari separuh PDB.

Namun, posisi ULN sekarang yang Rp1.816 triliun atau naik Rp500 triliun, telah diimbangi dengan capaian PDB yang jauh lebih besar, yakni Rp7.226 triliun atau naik Rp5.000 triliun. Sehingga, rasio utang terhadap PDB turun menjadi hanya 25%. Jadi, jika dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa, Asia, dan juga Amerika Serikat yang rasio utangnya ada yang di atas 100%, maka rasio utang Indonesia belum jadi masalah serius.

Dari gambaran di atas, sampai saat ini porsi ULN Indonesia secara persentase yang sebesar 25% masih controlable dan manageable, sehingga tidak perlu ditambah lagi. Namun, apabila hasil penerimaan anggaran negara dari pajak sebagai sumber utama diperkirakan tidak mampu terpenuhi, maka solusi pragmatis yang bisa dilakukan adalah menambah porsi ULN.

Penambahan porsi ULN tentu tidak mudah karena harus melalui proses politik di DPR. Di sini pemerintah harus mempu meyakinkan DPR bahwa penambahan porsi ULN diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan memperbesar PDB.
Penambahan porsi ULN diupayakan untuk dapat dialokasikan untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek infrastruktur terutama kaitannya dengan program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui enam Koridor Ekonomi.

Perbaikan infrastruktur akan mendorong efisiensi nasional, memampukan kegairahan ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara terutama dari pajak. Akumulasi penerimaan ini akan mendongkrak PDB secara nominal, setidak-tidaknya di atas Rp 7.000 triliun. Alhasil, dengan semakin tingginya angka PDB, juga semakin besarnya porsi ULN, namun rasio ULN terhadap PDG tetap dapat dijaga di kisaran 25%. Intinya, semakin besar ULN, semakin besar PDB. Tentu di sini dibutuhkan kepiawaian pemerintah untuk dapat memproduktifkan anggaran termasuk didalamnya yang berasal dari ULN.

Kesimpulannya, penambahan porsi ULN tidak diharamkan, sejauh hal itu dimaksudkan untuk mendongkrak PDB karena dengan demikian rasio ULN terhadap PDB tetap rendah di kisaran 25%. Dengan cara demikian pula, maka rasio defisit APBN terhadap PDB tetap dapat dijaga pada kisaran 2%. Capaian ini akan menguatkan predikat investment grade yang sudah berada dalam genggaman dan dapat dipertahankan hingga waktu-waktu mendatang.


Business News