Jumat, 07 Agustus 2009

Istri Pajangan

“Apa kabar darling…” sapa Vina ramah. Senyuman di wajahnya mengembang begitu melihat saya berjalan mendekatinya. Teman saya ini selalu tampak mempesona, meski wajahnya hanya dipulas make up tipis.

“Kabar baik Vin. Tambah cantik deh!” balas saya ceria.
Sore itu saya menemui Vina di salah satu tempat gaul yang lagi ‘in’ di Jakarta. Meja kami disudut kiri, sehingga tidak terganggu dari keramaian pengunjung kafe lainnya. Beberapa pria kerap mencuri pandang kearah kami, melirik Vina yang tampak luarbiasa meski hanya mengenakan tank top dan jeans.
Pandangan saya tak lepas dari tas tangan Vina yang tergeletak di atas meja. Tidak mungkin tas kulit buaya itu berharga kurang dari 20juta Rupiah. Desainernya Louis Vuitton, dan model tas itu jelas keluaran terakhir. Sadar bahwa saya memelototi tas mahalnya, Vina mengalihkan perhatian dengan bercerita tentang teman‐teman kami yang lain.
Bosan berbincang mengenai teman, saya menanyakan kabar Sandi, suami Vina. “Dia baik, baru pulang dari London.” jawab Vina pendek. Sandi seorang pengusaha terkenal. Puluhan perusahaan dibawah komandonya. Saya sendiri tidak begitu mengenal sosok Sandi. Proses perkenalan dan pernikahan Sandi dan Vina terjadi saat saya sedang menuntut ilmu di luar negeri. Saya hanya tahu Sandi sebagai figur pengusaha terkenal dan sukses.
Pertanyaan mengenai kehidupan pernikahan selalu membuat raut wajah Vina muram. Obrolan kami beralih ke topik yang lain. Lebih baik mengenang kekonyolan kami semasa kuliah yang seru dan membuat tertawa tergelak.
Vina yang berkulit mulus bak pualam itu tidak semulus itu jalan kehidupannya. Sosok Vina adalah satu contoh dari sekian banyak wanita Jakarta yang bisa dijuluki ‘trophy wife” atau terjemahan bebasnya ‘Istri Pajangan” . Para IP ini tidak hanya berasal dari kalangan model atau artis. Yang jelas para IP secara fisik haruslah berwujud wanita molek. Punya selera dalam berpakaian, santun bertutur kata. Pintar bukan salah satu kriteria. Bodoh masih bisa diterima, tapi jangan sampai memalukan. Pernah kuliah atau lulus sarjana lebih bagus lagi.
Tujuan hidup para IP ini biasanya seragam. Menikah di usia 25‐27 tahun dengan pria mapan secara materi, atau minimal anak orang kaya. Penampilan sang pria tidaklah penting. Toh yang jadi ukuran hanya ‘Cash, Castles & Cars’ (uang, istana dan kendaraan). Lalu C yang lain? C‐inta bisa datang belakangan. Hari gini, cinta kalau datang bagus, kalau cuma mampir, cukuplah!
Jawaban jujur terlontar dari Amie, teman lain yang menikah di usia 23 tahun dengan Paulus, duda kaya berusia 50 tahun. “Gue ngga pengen hidup susah.” Latar belakang Amie bukan dari keluarga miskin, tetapi semasa kecil Amie menyaksikan ibunya berperan sebagai pencari nafkah utama dalam menghidupi keluarga. Ayah Amie pegawai negeri berpenghasilan sepertiga gaji Ibunya. “Yang penting gue bisa hidup enak.”
Suami pulang pagi, istri‐istri IP ini hanya bisa cemberut. Ngomel? Jangan coba‐coba. Semakin pagi jam pulang suami, biasanya tidak akan protes bila anggaran belanja istri semakin menggila. “Dia (suami) cuma nuntut kita jadi istri yang baik.” Baik disini mungkin artinya diam saja, seperti guci pajangan di lemari hias. Istri penurut, uang jajannya besar. Jawaban –jawaban itu yang saya dapatkan dari para istri ini. Alasan materi, meningkatkan kehidupan sosial dijadikan pembenaran untuk pernikahan ‘asal dengan orang kaya’.
Seperti Vina yang memiliki segalanya dalam hal materi. Rumah mewah di Menteng, liburan ke luar negeri setiap saat. Sakit eksim pun berobat ke dokter di Singapura. Koleksi pakaian dan sepatu perlu ruangan tersendiri, yang luasnya 200 meter persegi. Lebih besar dari rumah orang kebanyakan di Indonesia!
Sehari‐harinya Vina yang belum memiliki keturunan itu memiliki kegiatan rutin ‘9 to 5’, tidak kalah sibuk dibanding pegawai kantoran. Pagi pergi fitness dengan pelatih pribadi, dilanjutkan menata rambut ke salon, persiapan untuk acara makan siang dengan teman‐teman IP. Selesai makan siang, Vina perlu menyegarkan mata dengan jalan‐jalan ke mal, mengunjungi butik desainer ternama untuk memborong pakaian, tas dan sepatu model terbaru. Tidak perduli barang tersebut kelak cuma dipakai satu kali. Sebagai kaum hawa kelas atas, malu kalau tidak punya keluaran terakhir. “ Kata Vina yang ini lagi model, jadi wajib beli, Sebetulnya sih modelnya saya ngga suka…” ujar Maya, mantan None Jakarte yang kini istri direktur sebuah perusahaan finansial terkemuka.
Pertimbangan cibiran teman sepergaulan lebih penting dibandingkan selera pribadi. Perhatikanlah gaya dandan para IP ini, cenderung identik. Jangan berani dandan melanggar kode etik berdandan ala IP: tas desain Marc Jacobs atau Stella McCartney, sepatu hak menjulang Christian Loubotin atau YSL, lalu jam tangan Franck Muller bertabur berlian. Semua mesti koleksi terakhir. Kepergok mengenakan koleksi musim yang lalu, wah bisa dibilang norak!
Bila penampilan di urutan pertama, kebahagiaan selayaknya pasangan suami istri normal sepertinya berada di urutan terakhir bagi para IP. Dalam seminggu, setidaknya dua malam Vina wajib mendampingi suami tampil di depan umum. Acara ramah tamah dengan rekanan suami biasanya di hari‐hari kerja. Tempatnya restoran atau hotel bintang lima. Biasanya acaranya membosankan, karena Vina sama sekali tak mengerti topik pembicaraan bisnis suaminya. Bagaimana mau mengerti, sedangkan ngobrol sama suami saja jarang? Kalau saya tanya bisnis suaminya, boro‐boro Vina bisa menerangkan. “Aduuh, itu urusan laki gue lah. Kalau gue tanya juga ngga dijawab…”
Rabu atau Jumat malam acara kumpul‐kumpul sahabat suami di luar urusan bisnis. Biasanya diadakan di kelab malam atau diskotik mewah. Area VIP di yang eksklusif dan paling strategis dipesan. Selusin botol minuman keras tersedia di atas meja. Para suami di satu sudut asik mengobrol. Pembicaraan beragam, mulai dari bisnis, sampai ke ‘selingkuhan’ bulan ini.
Sementara para suami asik cuci mata di sudut kanan, para IP akan berkelompok di sudut yang lain. Perbincangannya tak jauh dari barang‐barang terbaru yang mereka baru beli di Paris, Hongkong atau liburan terakhir di luar negri. Masing‐masing mengukur penampilan IP yang lain. Siapa yang paling oke dandanannya malam ini? Yang tambah langsing? Dokter mana di Singapur yang bisa suntik putih dengan aman? Sudah pernah coba ‘tummy tuck’?
Seandainya salah satu suami mereka terlihat asik bercengkrama wanita lain di luar kelompok mereka, biasanya para IP hanya memalingkan wajah, dan meningkatkan pembicaraan seolah‐olah semakin menarik, atau seperti Vina, akan semakin banyak menenggak minuman keras yang tersedia. Sesekali para suami idaman menghampiri para IP, sekedar basa basi. “Jangan mabuk ya sayang…” tegur Sandi dengan manis, meski airmuka pria itu tampak mulai kesal.
Sial! “Meidy belum datang juga. Kalau Vina mabuk, mesti gw anterin pulang ‘kan…!” desis Sandi.
Meidy? Siapa nih? “Tuh, yang jangkung…cantik kan?” tunjuk Roy – salah satu teman saya yang juga teman Sandi ‐ kearah seorang model beken ibukota yang berjalan menuju bar di sudut diskotik. Rupanya si model adalah urusan bisnis Sandi ke London. Sejujurnya, wajah dan bentuk tubuh sang model kalah cantik dari Vina.

Jangan dikira Vina tidak tahu alasan Sandi ke London. “Yang jelas dia bilang urusan bisnis kan? Kalau mau dipikirin lebih jauh, sakit hati sendiri…” itu alasannya. Meski perasaan Vina sendiri tidak tulus mencintai Sandi, dibohongi suami yang selingkuh dengan wanita lain tetap menyakitkan hatinya. Jangan coba‐coba membalas dengan selingkuh dengan pria lain. Para IP tidak memiliki hak setara dengan suami mereka.
Lagipula IP yang pengertian terhadap suami akan mendapat hadiah, seperti pesta ulang tahun! Sepulangnya dari London, Sandi menghadiahkan Vina seuntai kalung berlian luarbiasa indah. Liontinnya saja 3 karat, kalung platina dengan desain khusus. Apa masih perlu ditanyakan, dengan siapa Sandi ke London? Ngga penting kan? Menurut hukum para IP, semakin besar salah suami, biasanya semakin spektakuler imbalannya…
Vina semasa kuliah, memang bukan mahasiswi pintar, tapi bukan juga seseorang yang tidak ‘berotak’. Tapi kalau Vina belajar lebih giat semasa kuliah, semestinya dia bisa mencapai nilai lebih dari sekedar C‐. Kalau Vina bodoh, saya tidak mungkin berteman dengan dia. Mengapa ia mengerdilkan dirinya untuk sekedar mencapai status istri pajangan, saya tidak dapat menjawabnya.
Vina adalah profil istri pajangan yang sempurna. Berwajah bak dewi, berpenampilan mempesona, berlaku santun, berpendidikan cukup, dan yang paling penting: Vina menerima menjadi sekedar asesoris pelengkap dalam kehidupan suaminya. Menerima pinangan Sandi pengusaha kaya raya meski dalam hati Vina memendam perasaan terhadap pria lain ‐Roy, teman yang tadi saya sebutkan‐ yang status sosialnya kalah dari Sandi. Menerima menjadi prioritas ke sekian bagi suami. Menerima kenyataan bahwa suami memiliki banyak wanita idaman lain, sebaik apapun Vina. Menerima bahwa ia tidak memiliki hak untuk protes meski merasa diperlakukan tidak adil. Karena ia telah memilih menjadi istri pajangan dalam arti yang seutuhnya.
Namanya juga pajangan, masa punya hak untuk protes kalau dipindahkan? Lalu bagaimana kalau Sandi merasa harus memindahkan Vina ke rumah sebelah dan memajang wanita lain ke rumah nya? Bagaimana bila tuntutan untuk segera memiliki anak tidak terwujud dalam waktu dua tahun ini? Bukankah Sandi dapat menemukan alasan untuk menceraikan Vina?
“Sandi bilang, dia tidak akan meninggalkan Vina. Karena Vina istri sempurna di mata keluarganya dan di mata orang‐orang.” Ujar Roy miris.
Bukankah suatu prestasi di saat trend kawin cerai, Sandi si pengusaha beken itu tetap setia dengan satu istri? Vina adalah pajangan sempurna, manekin di etalase kehidupan sang suami.
Saat sudah berpisah, tiba‐tiba Vina mengejar saya. Liontin berlian dileher Vina bergoyang, berkilau terkena pendaran sinar matahari membuat mata saya silau. “Cuma mau bilang, you look great. You look happy.” Ucap Vina tulus.
Ya, perasaan saya memang luar biasa bahagia, meski liontin di kalung saya hanyalah cubic zirconia yang kilaunya tidak segemerlap berlian flawless milik Vina. Saya diperhatikan, disayangi, dihargai oleh pasangan saya. Tidak seperti para istri pajangan, yang kalau sudah dianggap membosankan, tak bernilai lagi, disimpan di gudang oleh pemiliknya.


Sarah G. Hutabarat