Minggu, 16 Agustus 2009

Merdeka dan Bermartabat

Bulan Agustus ini, tepatnya tanggal 17, kita merayakan kemerdekaan bangsa yang ke-64. Momentum perayaan kemerdekaan mestinya dijadikan momen untuk melakukan refleksi dan retrospeksi. Dalam setahun, apa yang telah dilakukan, dan apa yang akan dilakukan ke depannya. Refleksi dan retrospeksi memang menyapu dua arah sekaligus: menengok sejenak ke belakang, kemudian menatap ke depan. Sebagian rakyat selalu merayakan peringatan kemerdekaan itu dengan suka cita. Sebagian lainnya biasa saja. Tetapi sebagian lainnya mungkin tidak peduli karena baginya momentum itu tidak mengubah apa-apa atas mereka. Kemerdekaan selalu dimaknai sebagai keberhasilan melepasakan diri dari belenggu yang membatasi gerakan, membelenggu tangan, dan menawan tubuh kita. Seorang narapidana yang bebas setelah menjalani hukuman sekian tahun menyebut masa itu sebagai kemerdekaan bagi dirinya. Sebuah bangsa yang lepas dari belenggu penjajahan negara lain menyebut itu sebagai kemerdekaan bangsa. Pada tingkat yang lebih dasariah, sebuah keluarga miskin yang berhasil keluar dari belenggu kemiskinan karena kepala keluarganya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar, menyebut momen itu sebagai momentum kemerdekaan bagi keluarga mereka.
Dalam era di mana status ekonomi menjadi penanda eksistensi dan kemartabatan seorang anak manusia, hakikat kemerdekaan mulai diperluas sehingga menyangkut pula ranah ekonomi, atau hajat hidup. Inilah makna kemerdekaan yang mengemuka akhir-akhir ini. Suatu pemaknaan yang sebetulnya lebih menyentuh persoalan keseharian bangsa Indonesia.
Globalisasi ekonomi secara nyata telah memberi makna dan definisi pada kemerdekaan itu. Hubungan internasional yang pada dekade-dekade sebelum ini lebih banyak memberi porsi pada diplomasi politik dan militer, kini melihat diplomasi ekonomi sebagai sesuatu yang penting, bahkan sangat penting. Banyak negara sudah menempatkan kepentingan ekonomi pada bagian depan anak panah politik luar negeri mereka. Selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan ekonomi bangsa, diplomasi ekonomi juga ditujukan memberikan kepastian bahwa globalisasi ekonomi dapat memberikan manfaat bagi bangsa itu. Sejarah mencatat, bahwa kekuatan, dan bahkan martabat sebuah bangsa sangat ditentukan oleh tiga komponen, yakni kekuatan militer (military power), kekuatan politik (political power), dan kekuatan ekonomi (economic power).
Tahun-tahun belakangan ini, kita makin sering mendengar istilah martabat, bermartabat, atau menjadi bangsa yang bermartabat. Tampaknya ini menjadi tanda bahwa kemerdekaan saja dirasakan tidak lagi memadai bagi sebuah bangsa besar seperti Indonesia. Apa yang kemudian disebut kemartabatan atau menjadi bangsa yang bermartabat menjadi nilai yang memberi kualitas pada kemerdekaan itu. Itu artinya, kemerdekaan dan kemartabatan perlu diperjuangkan, oleh sebab keduanya bukanlah dua sisi dari sekeping mata uang. Kemerdekaan atau merdeka mungkin baru sebatas mengibarkan panji penanda keberadaan, eksistensi diri, dan menambah kuantitas negara yang diakui hukum internasional. Sementara kemartabatan melengkapinya dengan penobatan kualitas diri. Bahwa yang merdeka itu bukanlah bangsa sembarangan, mereka adalah kumpulan manusia-manusia bermutu dan memiliki jati diri. Maka, sebuah bangsa bisa saja sudah merdeka, meskipun belum tentu bermartabat di mata bangsa lain.
Kalau kini kita mengangkat isu kemartabatan bertepatan dengan perayaan ulang tahun kemerdekaan tahun ini, tentu karena ada sesuatu yang penting yang ingin dikemukakan. Soalnya, kemerdekaan perlu dimaknai lebih dari sekadar kemampuan membebaskan diri secara fisikal dari cengkraman bangsa lain, kendatipun kemerdekaan dalam pengertian ini merupakan intisari kemerdekaan dalam konteks hubungan dengan bangsa lain. Kemerdekaan mesti dimaknai sebagai kemampuan negara mengangkat harkat dan martabat rakyatnya, dan karena itu bangsa sebagai sebuah komunitas dalam berbagai dimensinya.
Di sinilah pentingnya apa yang disebut "membangun bangsa menjadi bermartabat ".
Perluasan makna dan hakikat kemerdekaan di satu sisi, dan kemartabatan di lain sisi, menjadi isu yang menarik manakala dikaitkan dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi yang masih menganga hingga sekarang. Soalnya, masih puluhan juta (32,5 juta jiwa) rakyat hidup dalam belenggu kemiskinan. Yang menganggur juga masih banyak, sekitar 10 juta jiwa. Tidak hanya itu. Ketimpangan sosial ekonomi dalam beberapa tahun terakhir justru meningkat. Ketimpangan atau kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar akan makin memperburuk dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan tadi. Letupan ketidakpuasan akan menjadi api dalam sekam yang siap berkobar setiap saat tanpa diduga. Aksi terorisme yang menebar ketakutan massal dalam beberapa tahun terakhir tidak bisa dilihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Besarnya jurang ketimpangan itu menjadi bukti bahwa kue pembangunan hanya dinikmati segelintir orang saja. Tidak terjadi apa yang dalam teori ekonomi disebut "efek tetesan ke bawah".
Kesenjangan dan ketimpangan juga terjadi antardaerah: Jawa-luar Jawa, KBI-KTI. Selain itu, kritikan yang banyak dialamatkan kepada daerah, terutama daerah pemekaran, karena dinilai gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, tentu tidak adil. Kebijakan ekonomi yang tidak prodaerah, yang berdampak pada buruknya infrastruktur daerah, terutama jalan, pelabuhan, dan listrik, menjadi penyebab utama ketimpangan antardaerah itu, sekaligus menjadi penyumbang utama keterbelakangan daerah.


Sumber : Business News