Senin, 31 Agustus 2009

Perekonomian Multi-Faktor

Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,4% pada triwulan I-2009 dan kemudian turun menjadi 4% pada triwulan II-2009 merupakan fakta yang justru mengharuskan kita untuk kembali menengok makna penting aspek multi-faktor penggerak dinamika perekonomian. Bagaimana pun, proses menuju terciptanya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kontribusi faktor Sumber Daya Manusia (SDM), modal, kewirausahaan dan peran kondusif jejaring birokrasi pemerintahan. Faktor-faktor tersebut niscaya untuk hadir sebagai pilar penentu pertumbuhan sektor per sektor dalam perekonomian. Tanpa adanya kejelasan peran akan faktor-faktor ini, maka sulit membayangkan adanya pertumbuhan ekonomi dalam konteks sektor per sektor.

Mengacu pada kategorisasi BPS, maka terdapat sembilan sektor dalam perekonomian nasional. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) Pertambangan dan penggalian, (3) Industri pengolahan, (4) Listrik dan air bersih, (5) Konstruksi, (6) Perdagangan, hotel dan restoran, (7) Pengangkutan dan komunikasi, (8) Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan, serta (9) Jasa-jasa. Dengan memerhatikan kategori sektoral ini, penurunan pertumbuhan ekonomi antara triwulan I-2009 dan triwulan II-2009 mencuatkan pertanyaan krusial: faktor apa sesungguhnya yang lemah sehingga pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan?
Data BPS menunjukkan, pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian turun dari 9,07% pada triwulan I-2009 menjadi 8,80% pada triwulan II-2009. Pada periode yang sama, pertumbuhan industri pengolahan turun dari 27,29% menjadi 26,57%, pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran turun dari 13,38% menjadi 13,31%, pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi turun dari 6,47% menjadi 6,37%, sedangkan pertumbuhan sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan turun dari 7,59% menjadi 7,29%. Dengan demikian, dari sembilan kategori sektoral, sebagian besar sektor-sektor dalam perekonomian nasional selama triwulan II-2009 dihantam oleh penurunan tingkat pertumbuhan dibandingkan dengan perkembangan selama kurun waktu triwulan I-2009.
Sektor-sektor yang tidak mengalami penurunan dalam dua momentum waktu tersebut adalah: (1) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) sektor listrik dan air bersih, (3) sektor konstruksi, dan (4) sektor jasa-jasa.

Soliditas Per Sektor
Namun sebuah catatan yang mendesak untuk dengan segera dikemukakan terkait erat tidak sederhananya proses menuju terciptanya pertumbuhan ekonomi. Soliditas setiap sektor merupakan penentu kualitas pertumbuhan ekonomi. Misalnya sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang digambarkan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 15,63% pada triwulan I-2009 menjadi 15,64% pada triwulan II-2009, sesungguhnya tidaklah mengambarkan adanya soliditas pada tingkat sektoral. Sebagaimana ditujukkan oleh data tahun 2006, sektor ini adalah yang terbanyak menyerap tenaga kerja. Dari total tenaga kerja yang mencapai 95.456.935 orang, 42,05% bekerja di sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan.
Dengan fakta ini, tampak sepintas lalu bahwa pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan sektor yang mampu menyanggah daya tahan perekonomian nasional. Hanya saja, sektor ini tidak memiliki tingkat keunggulan kompetitif memadai. Dengan kemampuan menyerap jumlah tenaga kerja hingga 42,05% dari total tenaga kerja nasional, kontribusi sektor ini terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata berada pada peringkat ke-8, yaitu hanya 3,36%. Dengan memperbandingkan kecilnya kontribusi terhadap PDB dan besarnya daya serap terhadap tenaga kerja, maka dapat disimpulkan bahwa Produktivitas Relatif (PR) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan berada pada tataran memprihatinkan, yaitu hanya 0,08%. Dengan demikian berarti, sektor ini merupakan pilar yang rapuh untuk bisa mendukung daya saing perekonomian nasional. Dengan kata lain, pertumbuhan sektor ini bukanlah refleksi dari adanya soliditas sektoral dalam maknanya yang kongkret.
Secara skematik, PR sama dengan PDB sektoral dibagi Tenaga Kerja (TK) sektoral (PDB : TK = PR). Rendahnya PR sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang sedemikian rupa itu bahkan merupakan kecenderungan yang telah berjalan sejak lama. Pada tahun 2004, misalnya, PR sektor ini mencapai 0,07%. Sedangkan pada tahun 2005, PR sektor ini mencapai 0,06%. Pertanyannya, apa makna kenyataan ini manakala disimak berdasarkan perspektif sosiologis? Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja pada satu pihak, ternyata bukanlah basis yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang lebih menyeluruh seperti pengentasan kemiskinan pada lain pihak.
Sangat bisa dimengerti kemudian, mengapa dari tahun ke tahun cenderung muncul persoalan displacement pada kegiatan usaha pertanian. Tenaga-tenaga produktif bidang pertanian cenderung berburu pekerjaan dan peruntungan di wilayah-wilayah urban, sehingga memperbesar tekanan urbanisasi. Atau, mereka memilih menjadi pekerja migran di mancanegara.

Multi-Faktor
Dalam situasi belum beresnya upaya mewujudkan soliditas sektoral itu, perekonomian nasional Indonesia juga diperhadapkan dengan persoalan inkoherensi antar-faktor. Baik faktor SDM, modal, kewirausahaan dan peran pemerintah tidak berada dalam spektrum yang sinergis satu sama lain. Catatan tentang sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di atas justru membawa kita pada kesimpulan terlampau besarnya beban sektor tersebut untuk hanya menjadi bamper bagi ledakan tenaga kerja. Tragisnya, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tidak cukup mendapatkan perhatian untuk meraih dukungan faktor modal, kewirausahaan dan dukungan dari faktor pemerintah.
Ke depan, sangatlah tidak memadai manakala hanya menyimak angka-angka pertumbuhan ekonomi. Bahkan, penurunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara statistikal menjadi kehilangan makna jika dengan parade pertumbuhan itu tidak ada penjelasan secara saksama perekonomian multi-faktor.
Dalam kaitan konteks dengan pertumbuhan ekonomi, fokus kita dari sejak sekarang bukan saja menakar kapasitas sektoral dalam memberikan kontribusi pada pembentukan PDB. Di atas segalanya, haruslah ada telaah secara mendalam terhadap bekerjanya faktor SDM, modal, kewirausahaan dan peran pemerintah terhadap perkembangan seluruh sektoral dalam perekonomian nasional.
Sebagai faktor fundamental penentu perkembangan sektoral, maka SDM, modal, kewirausahaan dan peran pemerintah harus memasuki fase reka ulang, yaitu agar sepenuhnya berkualitas. Sebagaimana terjadi sejak era Orde Baru, perekonomian bangsa ini menuntut adanya input factor berkualitas. Namun hingga Orde Baru "turun panggung", perekonomian bangsa ini tidak sepenuhnya didukung oleh kehadiran input factor berkualitas. Bukan saja, kualitas SDM kita tergolong rendah saat diharapkan mampu mendukung perkembangan sektoral untuk mencapai kemajuan secara signifikan, penanaman modal asing didistorsi oleh transfer negatif kekayaan nasional, kewirausahaan berpijak pada kapitalisme semu dan jejaring birokrasi pemerintahan menjadi lahan subur tumbuhnya nepotisme, kolusi dan korupsi.
Pada akhirnya kita harus kembali mempertimbangkan hakikat dan logika kepemimpinan nasional. Bahwa tidaklah cukup dan tidaklah memadai manakala kepemimpinan nasional semata memandang penting pertumbuhan ekonomi dengan hanya menyimak aspek makro kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDB. Sudah saatnya kepemimpinan nasional bekerja menyelesaikan seluruh masalah yang berkerumuk dalam faktor SDM, modal, kewirausahaan dan jejaring birokrasi pemerintahan. Kalau kepemimpinan nasional kini dan di masa depan yang dekat gagal penyelesaian masalah-masalah ini, apa lalu bedanya dengan kepemimpinan nasional era Orde Baru. Apa bedanya?


Businessnews