Selasa, 01 September 2009

Mengolah Kebakaran Menjadi Keteduhan

Kebakaran, kebakaran, kebakaran, mungkin itu ekspresi panik setiap manusia yang rumahnya sedang terbakar. Tanpa ada kesempatan untuk beristirahat jernih barang sebentar. Hal serupa juga terjadi dalam peradaban manusia. Di mana-mana terjadi kebakaran. Jangankan pengusaha dan politisi yang memang dari asalnya sudah dibakar uang dan kekuasaan, para intelektual, seniman, bahkan dalam beragama pun banyak manusia terbakar. Jangankan negara berkembang yang baru-baru mengenal pendidikan dan demokrasi, Amerika Serikat yang duduk lama sebagai guru dunia mengalami ribuan kasus pelecehan agama setiap tahunnya.
Sebagai akibatnya, sejarah seperti bergerak dari satu kebakaran ke kebakaran yang lain. Bunda Theresa punya pendapat menarik dalam hal ini: The problem of the world is that we draw too narrow line on our concept of family. Tidak saja dalam konsep keluarga manusia mengalami penyempitan dan kepicikan, nyaris dalam segala hal terjadi penyempitan dan kepicikan. Dulu, hubungan sepupu itu dekat. Sekarang, banyak orang yang bersaudara kandung pun menjadi demikian jauh. Dulu, demikian mudah membuat keputusan untuk kepentingan bersama. Sekarang, yang sederhana pun dibikin rumit. Sebagai hasilnya, terlalu banyak titik api dalam kehidupan manusia.
Api menjadi air
Salah satu perlambang alam yang membawa kesejukan adalah air. Secara kimiawi dirumuskan dengan H20. Hidrogen adalah bahan yang mudah terbakar. 0ksigen adalah yang memungkinkan kebakaran terjadi. Uniknya, ketika dua bahan yang sama-sama dekat dengan api ini diramu secara tepat, ia menjadi air yang sejuk, teduh, lembut.
Ini memberi inspirasi, lingkungan boleh penuh kebakaran, zaman boleh berputar dalam putaran yang banyak apinya, namun bila semuanya diolah secara tepat, manusia pun bisa mengalami hidup yang penuh keteduhan, kesejukan. Perhatikan banyak manusia yang tekun berlatih di jalan spiritual (dzikir, kontemplasi, yoga, meditasi dll), sebelum berlatih banyak yang hidupnya terbakar. Namun begitu bahan-bahan kehidupan yang membakar itu diolah dengan latihan spiritual, banyak yang hidupnya jadi teduh, sejuk dan lembut.
Pema Chodron dalam When things fall apart adalah sebuah contoh indah. Setelah mengabdi lebih dari dua puluh tahun sebagai ibu rumah tangga, tiba-tiba hidupnya terbakar oleh perceraian. Kebakaran ini kemudian membawa ia berkenalan dengan meditasi. Di pusat-pusat meditasi umumnya, tangga pertamanya adalah etika dan tata susila. Ketekunan latihan yang dibimbing etika kemudian menghantar seseorang mengalami konsentrasi (samadhi). Ia yang sering mengalami konsentrasi, di suatu waktu dibukakan pintu sejuk kebijaksanaan. Dalam pengalaman Pema Chodron, tidak saja hidupnya jadi sejuk dan lembut, bahkan diakui sebagai salah satu meditation master.
Thich Nhat Hanh dalam retretnya pernah cerita sampah dan bunga. Manusia-manusia yang terbakar punya ciri yang sama: serakah mau bunga, mencampakkan sampah. Menerima teman membuang musuh. Teman ibarat bunga, musuh ibarat sampah organik. Bunga yang tidak terawat baik besok jadi sampah. Sampah (asal bisa merawatnya) akan menjadi bunga.
Cara terbaik mengolah sampah kehidupan menjadi bunga indah kehidupan adalah dengan menerapkan etika dan tata susila. Hentikan kejahatan, perbanyak kebajikan, murnikan pikiran. Tidak kebetulan kemudian kalau kata sila dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang membuat seseorang jadi sejuk dan lembut.
Tidak sedikit guru yang menyebut ini sebagai jantungnya spiritualitas: bersihkan batin dari segala kekotoran (keserakahan, kemarahan, kebencian) kemudian lihat dan rasakan sendiri bagaimana pintu keteduhan terbuka.
Memberikan itu menyejukkan
Menyusul berita perampokan disertai pembunuhan di Jawa Tengah, seorang guru di Mendut ditanya muridnya apakah beliau mengenal korban perampokan. Dengan lembut dan sejuk guru ini berespon: “Sakit fisik (sebagaimana dialami korban perampokan) menimbulkan rasa kasihan. Sakit mental (sebagai sebab seseorang merampok) menimbulkan kebencian. Baik rasa kasihan maupun kebencian, dua-duanya kekotoran batin. Pancarkan sinar kasih pada keduanya”. Inilah ciri manusia yang sudah bisa mengolah kebakaran menjadi keteduhan: tidak serakah memilih baik di atas buruk, kemudian memancarkan sinar kasih kepada siapa saja.
Dalam terang pemahaman seperti ini, masalah memang akan datang, godaan juga akan berkunjung, namun yang penting adalah bagaimana mengolahnya. Dan Thich Nhat Hanh mengajarkan, ketika hidup penuh bunga (baca: kaya, dipuja), jangan lupa semua bunga akan jadi sampah. Bila hidup penuh dengan sampah (baca: cacian, hujatan), ingatlah untuk mengolahnya menjadi bunga.
Di tangan-tangan manusia yang sudah cermat mengolah sampah jadi bunga, tidak setitik debu kehidupan pun yang tidak berguna. Larry Rosenberg bahkan memberi judul karyanya Living in the light of death. Dalam batin jenis ini, bahkan kematian pun menjadi cahaya penerang perjalanan. Perhatikan kesimpulan Larry Rosenberg: “the awakened mind is the mind that is intimate with all things“. Batin tercerahkan adalah batin yang bersahabat intim dengan semuanya termasuk dengan kematian.
Seorang wartawati Amerika yang bertugas ke Israel, pernah berjumpa orang yang berdoa menghadap tembok pagi-sore tanpa henti setiap hari. Ketika ditanya sudah berapa lama berdoa seperti ini, dengan tenang ia menjawab sudah lebih dari dua puluh lima tahun!. Tatkala ditanya hasilnya, dengan meyakinkan ia bergumam: ‘ada yang berdoa saja dunia seperti ini, tidak kebayang wajah kehidupan bila tidak ada yang berdoa’. Inilah wajah lain batin yang sejuk: berdoa untuk keselamatan semua.
Sejumlah sahabat bertanya, ada apa di Bali sehingga mudah sekali menimbulkan kedamaian. Sebagaimana diajarkan tetua di Bali, hidup adalah persembahan. Untuk itulah, mengerti tidak mengerti, berbuah tidak berbuah, ribuan orang Bali melakukan persembahan setiap hari. Tidak hanya sesajen dihitung sebagai persembahan, bertani, menari, memukul gamelan, semuanya adalah persembahan.
Dalam klasifikasi sederhana, persembahan luarnya (outer offering) adalah sesajen. Persembahan dalamnya (inner offering) adalah pikiran, kata-kata dan tindakan yang teduh. Persembahan terdalam (innermost offering) hanya boleh diceritakan antara para guru. Yang boleh dibuka hanya batin jadi teduh. Charlotte Joko Beck dalam Nothing Special menyimpulkan: practice is giving. Memberikan itu menyejukkan. Itu sebabnya, manusia berlatih berbahagia dalam memberikan.


Gede Prama