Rabu, 30 September 2009

Ada Apa dengan G20?

Dalam perjalanan panjang bersama delegasi Indonesia ke KTT G-20 di Pittsburgh, AS, saya sempat bertanya dalam hati sendiri, apa sebenarnya makna G20 secara umum dan khususnya bagi Indonesia.

Kadang-kadang sangat mudah kita cepat menyimpulkan bahwa kita mengerti sesuatu topik, padahal justru pertanyaan-pertanyaan mendasarlah yang perlu digali utuk mendapat pengertian penuh. Terus-terang saja, saya pun malu untuk bertanya kepada anggota delegasi lain karena pertanyaan itu mungkin terlalu sederhana.

Siapakah dan apa latar belakang negara anggota G20? Mengapa banyak kepala negara berkumpul dari waktu ke waktu (belum lagi pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral untuk mempersiapkan pertemuan tingkat tinggi ini)? Apa tema hangat pertemuan G20 kali ini? Apakah mungkin, mengingat anggota G20 punya latar belakang yang beragam, tercapai suatu kesepakatan mengenai hal-hal tertentu (terkhusus mengenai kestabilan ekonomi dunia sampai isu lingkungan hidup)? Kalaupun ada kesepakatan, apakah setiap negara dapat meng-implementasikannya di Negara masing-masing? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain di benak saya.
Apapun jawabannya, satu hal sudahlah pasti bahwa G20 ini mendapat perhatian luas, baik pro dan kontra, dari para pemimpin negara, media, maupun masyarakat luas. Lihat saja, sebagai bagian dari dinamika demokrasi, selalu ada kelompok tertentu yang hadir dan dan dengan penuh semangat melakukan aksi protes di sekitar tempat berlangsungnya KTT.
Saya mencoba melakukan sedikit riset dari beberapa sumber, dan ingin membaginya di blog ini (siapa tahu ada teman-teman yang tertarik dan sedikit malu bertanya juga seperti saya).
Pertama, siapa saja yang masuk G20? G20 ternyata merupakan forum dari menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari 19 negara. Ini membuat saya bertanya: kenapa namanya tidak G19? Rupanya selain 19 negara tersebut, ada European Union (EU)/Uni Eropa, sehingga total semuanya jadi 20.
Seluruh negara anggota G20 merepresentasikan 90 persen total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia (sekitar USD 55 Trilyun), 80 persen dari perdagangan dunia dan dua pertiga penduduk dunia. Ini mengakibatkan, secara kolektif G20 sangatlah berpengaruh bagi perekonomian global.
Anggota G20 adalah: Argentina, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Canada, Cina, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Korea Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Lantas apa makna G20 untuk Indonesia?
Untuk mengetahui hal ini, menarik jika kita melihat posisi Indonesia di tengah anggota G20 dari beberapa sudut ‘angka’. Kalau dilihat dari besarnya PDB, Indonesia berada di urutan ke-16 dengan USD 468 miliar. Ini di atas Afrika Selatan, Argentina dan Arab Saudi. Tapi, dari sisi pertumbuhan PDB 2008-2009 ketika krisis keuangan melanda dunia, Indonesia merupakan salah satu dari hanya tiga negara yang tumbuh positif (sekitar 4 persen) bersama China dan India. Dengan Arab Saudi dan Turki, Indonesia mewakili negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Di samping itu, Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN di forum G20.
Sejak awal, G20 dibentuk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dunia dengan memperkokoh fondasi keuangan internasional. G20 juga merupakan forum untuk membahas berbagai kebijakan nasional masing-masing anggota, kerjasama internasional, dan peran institusi keuangan global.
Dari tahun 1999, isyu yang dibahas di G20 telah sangat berkembang, bukan saja soal kebijakan mengenai pertumbuhan ekonomi dunia, tapi juga pencegahan penyalahgunaan sistem keuangan, penanganan krisis finansial, peningkatan standar transparansi kebijakan fiskal, sampai soal pemantauan pembiayaan terorisme.
Selama 18 bulan terakhir, para menteri dan gubernur bank sentral anggota G20 memfokuskan diskusi mereka di seputar krisis finansial yang sedang berlangsung, serta implikasinya bagi perekonomian global. Mereka semua berkomitmen untuk menghadapi bersama masalah labilnya keuangan dunia dan meningkatkan kerjasama dalam memperbaiki regulasi, supervise, dan fungsi dari pasar keuangan dunia.
Alasan utama mengapa forum G20 ini (perlu) dihadiri berbagai kepala negara adalah agar forum ini dapat membuat keputusan dan komitmen kolektif secara bersama-sama. Dengan pertemuan ini, semua berharap agar kesepakatan yang dihasilkan lalu dikawal oleh para kepala negara di tahap implementasi di negara masing-masing.

Ada beberapa tantangan dan isu fundamental terkini yang dibahas di G20 Pittsburgh (sebelumnya dibahas di awal September 2009 di London): koordinasi kebijakan nasional antar negara, proteksionisme pasar domestik, penyediaan fasilitas pembiayaan perdagangan, peran International Monetary Fund (IMF), kompensasi eksekutif perbankan, dan perubahan iklim. Isu yang santer dibicarakan di G20 adalah perubahan iklim. Sangat besar kemungkinan, karena perubahan iklim juga menjadi salah satu topik utama di Sidang Umum PBB yang juga diselenggarakan pada minggu yang sama di New York.
Tanpa maksud untuk bertele-tele, saya akan membahas secara singkat berbagai isu ini dengan harapan dapat menggambarkan esensinya.
Koordinasi kebijakan nasional antar negara harus dilakukan karena walaupun banyak anggota G20 yang berkomitmen untuk memberikan stimulus fiskal (misalnya dalam bentuk pembiayaan infrastruktur publik dan pemotongan pajak), besaran setiap stimulus (terhadap PDB masing masing) berbeda-beda untuk setiap negara. Hal ini dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya “aliran keluar” dari suatu negara yang lebih “agresif” ke negara yang lebih “pasif” dalam memberikan paket stimulus ekonomi. Koordinasi diperlukan bukan saja untuk mencegah masalah potensi “aliran keluar” ini, tapi juga untuk meningkatkan kepercayaan pasar dan konsumer.
Ancaman terhadap proteksi perdagangan dapat terjadi di masa terjadi penurunan nilai perdagangan global dan peningkatan pengangguran di negara-negara G20. Ini karena banyak negara menyimpulkan, dibutuhkan adanya kebijakan politik domestik untuk memproteksi produksi dalam negeri masing-masing. Para pemimpin G20 bersepakat untuk menjaga agar ancaman masalah ini tidak terjadi.
Asistensi fasilitas pembiayaan perdagangan merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan di masa krisis ekonomi global. Tapi pada saat bersamaan, Negara-negara maju sedang menghadapi defisit perdagangan yang besar. Defisit Amerika, misalnya, mencapai sekitar USD 1.8 triliun (13,1 persen dari PDB) dan Inggris sekitar GBP 90 miliar (6 persen dari PDB). Walau begitu G20 telah bersepakat untuk mengalokasikan dana sekitar USD 250 miliar pada 2009-2010 dan berkomitmen untuk meningkatkan jumlahnya menjadi USD 400 miliar apabila dibutuhkan.
Hal lain, banyak kritik mengatakan IMF telah gagal menangani krisis sebelumnya di akhir tahun 1990-an. Karena itu ada banyak sekali tuntutan reformasi terhadap struktur organisasi IMF, di mana harus ditemukan keseimbangan akan hak dan kewajiban lembaga itu. IMF direkomendasikan untuk meningkatkan perannya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan global dan dibutuhkan pengerahan sumber daya yang lebih untuk dapat membantu mengatasi krisis kali ini, khususnya berupa berbagai jenis fasilitas kredit untuk membantu negara-negara yang terkena krisis.
Dua topik berikutnya adalah topik yang kian menghangat akhir-akhir ini yaitu: besaran kompensasi atau bonus yang dianggap kelewat berlebihan untuk para eksekutif perbankan dan lembaga keuangan (apalagi bagi mereka yang gagal memenuhi kewajibannya mengelola lembaga mereka dengan baik dan pruden). Dirasa adanya kebutuhan untuk menjamin terciptanya keselarasan antara hak dan tanggung jawab para eksekutif perbankan dan keuangan itu, mengingat begitu besarnya efek yang dapat mereka sebabkan terhadap perekonomian dunia.
Soal isu perubahan iklim, banyak dibicarakan mengenai upaya untuk mengurangi subsidi terhadap bahan bakar fosil dan upaya menambah insentif dan pembiayaan terhadap energi-terbarukan. Ini disebabkan dalam jangka menengah, isu lingkungan hidup disadari bukan hanya akan menjadi isu sosial-ekonomi-politik, tapi juga isu kemanusiaan.
Mudah-mudahan paparan saya di atas dapat bermanfaat dalam memperjelas konteks KTT G20. Siapa tahu tulisan ini bukan hanya dapat membuat teman-teman tidak perlu bertanya lagi mengenai G20, tapi juga dapat melengkapi tulisan ini di kemudian hari. Bagaimanapun juga KTT G20 dan berbagai isu ini masih akan sangat relevan buat Indonesia di masa mendatang. Apalagi, mengutip judul laporan khusus majalah the Economist beberapa minggu lalu, Indonesia memiliki “a golden chance” dalam menatap masa depan.

By : Anindya