Kamis, 01 Oktober 2009

Untung Ada Orang Gila

George Bernard Shaw (26 July 1856 – 2 November 1950), pengarang drama terkenal dari Irlandia yang menerima sekaligus Hadiah Nobel Bidang Sastra (1925) dan Piala Oscar (1938), mengatakan: “Orang ‘waras’ menyesuaikan diri dengan dunia; sementara orang ‘tak waras’ terus gigih berusaha menyesuaikan dunia dengan dirinya. Karena itu, segala kemajuan tergantung pada orang yang ‘tak waras’.”

Senang sekali saya membaca kata-kata hebat itu dalam buku Robin Sharma, The Greatness Guide, jilid kedua. Saya jadi ingat tokoh-tokoh besar yang di jamannya ditertawakan atau bahkan dikucilkan orang karena gagasan atau cita-cita mereka.
Saya ingat para astronom seperti Nicolaus Copernicus, seorang pastur dan ilmuwan generalis serba bisa yang merevolusi paham lama mengenai pergerakan benda-benda angkasa yang secara harfiah disimpulkan dari kitab suci. Melalui bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Peredaran Bola-bola Angkasa) ia menyajikan dasar-dasar astronomi modern, di tengah cercaan dan tentangan kaum kolot agama. Saya ingat Galileo Galilei yang membela Copernicus bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi sebaliknya, dan untuk itu, dia jadi tawanan rumah seumur hidup.
Saya ingat filsuf naturalis besar Charles Darwin yang menulis buku yang menggegerkan dunia berjudul On the Origin of Species, yang sampai kini pun masih ada pihak yang alergi terhadap pandangannya. Saya ingat orang-orang seperti Columbus dan Amerigo Vespucci yang tak takut kecebur ke jurang tanpa dasar yang diyakini adanya oleh orang-orang yang mengganggap dunia ini datar.
Hebat mereka semua. Orang-orang yang di jamannya dianggap “tak genah”, “pemimpi nyeleneh”, “tak masuk akal”, “tak punya akal sehat”, atau bahkan “sinting”, “tak waras” itu membuka mata kita bahwa mayoritas sebenarnya tak punya otoritas terhadap kebenaran. Bahwa mayoritas bisa keblinger, bahkan kalaupun mayoritas itu mendasarkan pandangan mereka pada pengetahuan yang mereka tarik dari kitab yang dianggap suci oleh seluruh dunia.
Dari sejarah mereka kita belajar bahwa objektivitas lebih kuat daripada klaim atau kepercayaan; bahwa penampakan kebenaran umumnya berproses seperti plot biasa film koboi. Kalah dulu, menang belakangan. Tapi, karena menutup episode, kemenangan itu terasa lebih manis. Sayangnya, dalam kasus orang-orang yang saya sebut tadi, khususnya Copernicus dan Galileo, kemenangan kebenaran mereka baru diakui sekian abad kemudian. Mereka terpaksa menunggu sekian lama untuk direstorasi nama baik mereka, walau sesungguhnya nama baik mereka tak perlu direstorasi, karena nama baik itu sebenarnya tidak rusak… cuma tidak diterima oleh otoritas yang merasa tahu objekvitas dunia hanya dari sumber yang mereka percaya secara buta. Nama yang menindas merekalah yang sesungguhnya menjadi tidak baik, dan perlu direstorasi dengan minta maaf kepada pihak yang mereka tindas, juga kepada dunia yang telah menjadi saksinya yang tak pernah lupa.
Sesungguhnya, selama sekian abad tadi, pihak yang semula menertawakan itu tersuruk-suruk dalam rasa malu. Anak cucu tertunduk-tunduk keberatan beban rasa salah atas kekonyolan kaum pendahulu. Ujung-ujungnya — kalau memang gentlemen, punya harga diri dan karenanya mau jadi rendah hati — mereka atau anak cucu tadi harus mewakili pendahulu untuk mengaku salah dan menyesal.
Ada ironi, bahkan tragika, dalam pengetahuan kita. Dia menerangi, mempermudah dan membebaskan; tetapi pada saat yang sama pengetahuan kita memerangkap kita di dalam logikanya. Begitu kita pegang logikanya, tak cukup bebas lagi kita untuk menerima logika yang lain.
Perangkap itu semakin menjadi-jadi begitu pengetahuan itu tersosialisasi, apalagi kalau disertai dengan teror, dari yang paling halus sampai yang kasar kotor. Berdasarkan pengetahuan itu lalu realitas akan terpisah antara yang masuk akal dan yang tak masuk akal, berdasarkan logika dan paradigma yang diandaikan oleh pengetahuan itu. Berdasarkan pengetahuan yang sudah tersosialisasikan itulah orang dianggap waras atau sinting. Yang sejalan dengan mayoritas yang memegang pengetahuan tersosialisasi tadi dianggap waras, masuk akal, rasional, normal, teman. Yang tak sejalan disebut aneh, nyleneh, subversif, murtad, gila, sinting, dan lawan yang sampai-sampai harus dihancurkan.
Perangkap pengetahuan inilah yang mendorong J. Krisnamurti untuk menulis Freedom from the Known, untuk memungkinkan kita merebut kembali kebebasan kita dari perangkap pengetahuan. Mistiskus India ini memberi kita perspektif untuk merebut kembali fleksibilitas kita terhadap penyingkapan fakta-fakta, tanpa dihalangi oleh prasangka. Dengan itu, jiwa kita akan jadi sedemikian lebar, untuk menampung keluasan cakrawala interpretasi yang menembus batas-batas kungkungan pengetahuan kita mengenai realitas.
Masih belajar apa lagi kita dari orang-orang “gila” itu? Dari kasus Columbus dan Amerigo Vespucci, kita jadi tahu betapa di tengah tawa sinis dan cercaan orang, impian yang paling dianggap mustahil dan sinting pun bisa terjadi dan akhirnya menang.
Sejarah peradaban mempunyai banyak contoh menyedihkan bahwa para pengritik selalu menertawakan visi pemikir genius dan orang-orang yang visioner. Nyatanya, setiap jengkal kemajuan peradaban manusia yang sungguh bermakna hampir selalu dihasilkan oleh orang yang terus berjuang di tengah cemooh yang mengatakan bahwa para visioner tadi tak lebih dari punguk yang merindukan bulan. Karena itu, akan beruntung dunia ini bila Anda terus mengejar impian Anda, tanpa mempedulikan pengritik Anda. Akan untung dunia ini, kalau Anda mengikuti pikiran liar Anda, tanpa peduli terhaap cemooh yang cuma datang dari kepicikan orang.
Dari kisah pelayaran dua pelaut ulung itu kita juga bisa belajar sesuatu mengenai ketakutan. Darinya kita bisa menyimpulkan bahwa banyak kali ketakutan kita tak lebih dari hantu jadi-jadian ciptaan kebodohan. Jurang tanpa dasar di ujung samodera yang ditakuti orang seantero dunia itu ternyata hanya mitos dungu yang dipegang oleh orang yang terpasung oleh apa yang mereka anggap ilmu.
Karena itu, saya tutup tulisan ini dengan mengutip ucapan motivator dan konsultan kepemimpinan yang sudah beberapa kali saya sebut namanya, Robin Sharma. “Jadilah orang yang tak masuk akal. Dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpi, yaitu orang-orang yang dianggap tak masuk akal, tak waras, yang terus berjuang melawan kecenderungannya untuk puas menjadi orang yang ala kadarnya saja!”.


Wandi S. Brata