Minggu, 11 Oktober 2009

5 Fase Orang Yang Berduka Akibat Kematian

Kematian merupakan akhir dari tahap kehidupan manusia. Setiap orang yang hidup akan mengalami kematian. Ketidakpastian tentang kematian itu sendiri menimbulkan rasa takut pada diri manusia. Demikian juga dengan kematian salah satu anggota keluarga ataupun teman dekat, akan menimbulkan rasa duka cita bagi orang yang ditinggalkannya.

Menurut Dr. Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiatri dari Swiss, Ada lima fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman dekat yaitu shock, denial, anger, mourning dan recovery.

1. Shock (Terkejut)
Saya merasa terkejut dan tidak percaya dengan kabar yang saya dengar. Dalam diri saya bilang “Tidak”, ini tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.

2. Denial (Penyangkalan)
Saya merasa kematian kakak saya hanyalah mimpi buruk saya saja, dan bukan merupakan suatu kenyataan.

Menurut Kubler-Ross, kata ‘meninggal’ merupakan suatu kata yang memperhalus kata ‘mati’ sebagai produk dari budaya masyarakat yang menyangkal kematian.

3. Anger (Kemarahan)
Saya tidak terima dengan kematian dan mulai menyalahkan semua pihak yang menyebabkan itu terjadi. Saya cenderung menyalahkan Tuhan (Ini adalah reaksi wajar bagi orang-orang yang mengakui adanya Tuhan yang Maha Kuasa), juga menyalahkan situasi dan orang lain seperti penabrak kakak saya, dokter dan tim medis, ambulan yang tidak tersedia dan rumah sakit yang tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menolong kakak saya.

4. Mourning (Berkabung)
Menurut Kubler-Ross, Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama, bisa berlangsung dalam beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan depresi, rasa bersalah, rasa kehilangan, kesepian, panik dan menangis tanpa pemicu yang jelas bisa saja ditampakkan dalam fase ini, bahkan bisa termanifestasi dalam penyakit fisik ringan.

5. Recovery (Pemulihan)
Menurut beberapa orang, kematian tidak bisa dipulihkan karena kematian telah mengubah hidup mereka selamanya dan tidak bisa mengembalikan situasi kembali seperti sebelumnya. Namun demikian rasa sakit akibat kematian akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu.

Dalam budaya Jawa sendiri dikenal ritual peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan terakhir 1000 hari. Hal ini merupakan tahapan untuk melepas rasa sakit dan kehilangan akibat kematian.

Tiga hari setelah kematian. biasanya mulai sedikit menerima kematiannya meski semua harapan menjadi kacau balau. Hidup sedikit banyak akan mengalami perubahan dengan tiadanya orang yang meninggal dalam keluarga .

Semua fase ini menurut saya tidak berlaku mutlak pada diri seseorang, bisa terlihat ataupun tersembunyi. Fase-fase ini juga bisa saling tumpang tindih satu sama lain dalam waktu yang bersamaan.

Setiap pribadi memiliki perilaku yang unik dan mungkin tidak sama satu sama lain, perbedaan kecepatan dan cara menghadapi kematian tergantung pada pengaruh kebudayaan, kepribadian dan situasi keluarganya. Orang yang beriman tentunya memiliki cara yang berbeda menghadapi kematian orang yang dicintainya dibandingkan dengan orang yang tidak beriman.

Beberapa hal yang membantu untuk memulihkan perasaan kesedihan dan emosi-emosi yang ditimbulkan akibat kematian :

- Menerima semua emosi. Emosi panik, rasa bersalah, marah, sedih dan kalut merupakan suatu hal yang wajar dalam menghadapi kematian. Jadi tidak perlu takut untuk menangis atau berteriak. Jika merasa malu kita bisa masuk kamar dan menggunakan bantal sebagai peredam tangisan kita. Kesedihan yang dipendam dan ditahan bisa membuat kita semakin tertekan dalam jangka waktu yang lama ataupun termanifestasi dalam perilaku-perilaku buruk lainnya.

- Mengekspresikan emosi kepada teman-teman atau orang terdekat cukup membantu saya dalam memulihkan rasa sakit.

- Tidur dan beristirahat untuk menenangkan pikiran dan menata kembali pikiran yang kacau.

- Blogging. Menuliskan segala sesuatunya termasuk kemarahan dan kesedihan dalam blog bagi saya bisa menjadi media katarsis yang cukup baik dan bermanfaat daripada membentur-benturkan kepala ke tembok. Selain itu blog memungkinkan kita tidak perlu bercerita terlalu sering tentang kejadian itu, saya cukup mempersilakan mereka membaca sendiri ceritanya.

Dalam kuliah psikologi konseling saya mendapatkan beberapa pelajaran dalam mendampingi orang yang berduka cita. Saya sendiri merasa beberapa perilaku orang lain yang niatnya baik untuk menghibur saya ternyata justru membuat saya semakin sakit. Beberapa hal yang sebaiknya dihindari dalam mendampingi orang yang berduka, yaitu :

- Melarang menangis. Banyak orang yang menganggap menangis adalah hal yang tidak perlu dan berusaha menghentikannya. Sebaiknya kita membiarkan saja seseorang menangis sepuasnya karena menangis merupakan salah satu mekanisme penyembuhan dari rasa sakit.

- Membuat janji sebagai basa-basi. Kadang saya sering mendengar ada orang yang mengatakan “Nanti kalau ada apa-apa hubungi saya” padahal orang tersebut berlalu begitu saja dengan kesibukan lain seperti tidak terjadi apa-apa.

- Empati yang salah dengan mengatakan “Saya tahu apa yang kamu rasakan”. Saya tidak percaya dia tahu apa yang saya rasakan, mungkin lebih tepat kalau dia memberikan empati dengan mengatakan “Apa yang kamu rasakan memang berat, saya sendiri akan seperti kamu jika mengalaminya. Tabah ya.”

kompasforum
Referensi : The psychology of death