Kamis, 22 Oktober 2009

Prospek Perekonomian Asia Semakin Menguat

Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai Asia mungkin bisa memimpin pemulihan ekonomi dunia, tetapi prospek pertumbuhannya masih rapuh akibat suramnya situasi ekonomi global.
Pertanyaannya adalah apakah pemulihan akan dapat dipertahankan pada tahun 2010 dan seterusnya. Outlook masih tetap belum pasti, terutama dari risiko pelemahan yang mungkin akan menunda pemulihan penuh di Asia.
ADB telah mengeluarkan proyeksi “sangat optimistis” bagi Asia untuk tingkat pertumbuhan pada tahun 2010. Namun, pemulihan Asia bisa sirna oleh lemahnya pemulihan global, terutama di negara-negara industri. Kondisi ini bisa diperparah oleh masih prematurnya “exit strategy” yang dikeluarkan negara-negara Asia.
Lembaga peminjam yang bermarkas di Manila telah mengumumkan China dan India akan menjadi pemimpin dengan pertumbuhan. Asia diprediksi tumbuh rata-rata 6,4% pada tahun 2010 dan 3,9% tahun 2009. Ini angka yang besar jika dibandingkan rata-rata global, tetapi masih di bawah China dan India.
Jadi, meskipun Asia sekarang memimpin pemulihan, tidak ada ruang untuk berpuas diri karena pemulihan global dalam jangka pendek berjalan sangat lemah. Harus diakui, Asia telah membuktikan diri sebagai wilayah yang lebih tahan menghadapi terpaan resesi global terburuk selama 100 tahun dibandingkan daerah lain.
Kekuatan utama Asia adalah memiliki industri berorientasi ekspor yang kuat. Sistem keuangan yang sehat, stimulus fiskal moneter yang efektif, dan kinerja yang kuat di China dan negara dengan perekonomian besar di Asia lainnya menjadi penahan Asia dari terpaan dampak negatif resesi global.
Sebenarnya, analisis ADB di atas tidaklah benar sepenuhnya, karena jika melihat Indonesia sebagai salah satu kasus, maka rendahnya tingkat kebergantungan perekonomian Indonesia terhadap ekspor yang justru menyelamatkan perekonomiannya.
Untuk diketahui, tingkat kebergantungan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ekspor hanya 29,7%. Jauh lebih rendah dibandingkan Singapura dan Hong Kong yang masing-masing di atas 200%. Jadi, ketika permintaan dunia terhadap barang-barang ekspor, perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh positif, sementara Singapura dan Hong Kong babak belur dan mengalami kontraksi cukup dalam.
Yang unik adalah Jepang. Tercatat tingkat kebergantungan ekonomi negara ini terhadap ekspor hanya berkisar 19% saja. Namun jangan salah duga, ternyata sebagian besar unit-unit ekonomi berorientasi ekspor di Jepang sudah direlokasikan ke negara-negara lain dengan pertimbangan biaya tenaga kerja yang murah dan ketersediaan bahan baku. Banyak pabrik manufaktur Jepang berlokasi di luar Jepang, sebut saja di Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Myanmar.
Analisis ADB juga salah kalau dikatakan bahwa daya tahan ekonomi Asia dalam menghadapi krisis keuangan global karena ditopang oleh industri keuangan yang sehat dan kuat. Mari ambil contoh kasus di Indonesia. Justru karena industri keuangan di negara berpenduduk 230 juta jiwa yang masih tradisional atau konvensional inilah yang menyelamatkan sektor keuangan di Indonesia tidak berguguran seperti di AS, Eropa, Hong Kong, Singapura dan Jepang. Negara-negara maju ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi terkait dengan struktur industri keuangannya sehingga ketika terjadi ledakan krisis, pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama dengan biaya pemulihan yang sangat besar.
Jadi dapat dicatat bahwa karena tingkat kebergantungan terhadap ekspor yang masih rendah dan tingkat kompleksitas industri keuangan yang rendah yang menyebabkan Indonesia dan negara-negara sesama Asia “selamat” dari krisis keuangan global.
Menurut ADB, salah satu pemicu krisis global adalah defisit neraca Amerika Serikat (AS). Asia yang ekonominya bergantung pada ekspor secara signifikan berkontribusi atas ketidakseimbangan neraca global. Tahun ini, defisit neraca AS turun secara dramatis dan surplus China akan anjlok.
Namun, ini belum cukup untuk menciptakan keseimbangan neraca global. Dengan begitu, ekonomi Asia perlu pergeseran dari pertumbuhan yang dipicu ekspor ke permintaan regional dan domestik. Pergeseran juga akan menyeimbangkan neraca global. ADB juga menyarankan negara-negara di Asia meningkatkan konsumsi melalui pengembangan pasar dan sistem keuangan, memelihara kelas menengah, dan memperbaiki sistem jaminan sosial untuk mencegah peningkatan simpanan publik (tabungan).
Langkah ini akan menjadi bantalan yang lebih baik bagi Asia dari guncangan eksternal dan mengurangi pembengkakan surplus neraca yang menjadi salah satu penyebab krisis keuangan global. ADB belum berpikir masalah ini akan bisa diselesaikan pada tahun 2010. Risiko ekonomi global akan tetap ada.
ADB juga mengakui, bahwa Asia telah berhasil meningkatkan orientasi ekspor sehingga kerentanan terhadap guncangan eksternal juga menguat. Meskipun ada banyak diskusi seputar pemulihan, faktanya negara-negara Asia tidak terpisah dari negara-negara industri yang mengalami penderitaan karena krisis. Jadi, Asia tidak bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan di wilayahnya dan masih bergantung pada permintaan eksternal.
ADB tidak mengharapkan sebagian besar dunia akan terperosok dalam resesi atau mengalami pertumbuhan yang sangat lamban, termasuk AS. Data pertumbuhan negara Paman Sam di kuartal III-2009 menunjukkan arah pertumbuhan setelah dua tahun dalam resesi. Pemulihan dalam bentuk “kurva V” masih terjadi bahkan sangat baik di negara berkembang di Asia. Diramalkan pula bahwa kawasan Asia akan mengalami pertumbuhan yang semakin kuat.
Negara pendorong pertumbuhan terbesar di Asia, yakni China, berhasil membukukan pertumbuhan sekitar 8% pada kuartal II-2009, padahal akhir tahun 2008 ekonominya nyaris stagnan. Berikutnya adalah India yang mampu mencetak pertumbuhan sekitar 6,5%. Dan, last but not least, Indonesia dengan angka pertumbuhan berkisar 4,3% untuk tahun ini.
Jadi, ketiga negara inilah yang diperkirakan bakal menjadi episentrum orientasi investasi global karena diproyeksikan mampu memberikan yield atau return yang atraktif dibandingkan negara-negara lain.
Untuk itulah ADB mengingat ada risiko jika pemerintah di Asia mengakhiri stimulus ekonomi atau memperketat kebijakan moneter sebab kebijakan ini akan membuat prospek pemulihan menjadi suram.
Pasalnya, setiap pengetatan moneter dan kebijakan fiskal yang tergesa-gesa akan langsung mengganggu pemulihan yang sedang berjalan, terutama dalam situasi pemulihan ekonomi global yang saat ini berjalan lemah. Waktu yang tepat mengakhiri stimulus ekonomi bukan hanya sangat penting bagi negara industri, tetapi juga bagi negara-negara di Asia.
Yang penting, negara-negara Asia harus mampu menjaga kemampuan pasar domestiknya dengan bertumpu pada kekuatan domestiknya melalui konsumsi rumah tangga dan pemerintahannya masing-masing sambil menciptakan iklim investasi yang menarik sebagai pendorong pertumbuhan ekonominya.
Untuk kinerja ekspor, sambil menunggu pemulihan ekonomi negara-negara maju, ada baiknya negara-negara Asia mempersiapkan diri lebih baik untuk merespon permintaan ekspor dunia ketika fakta ini terjadi tahun depan. Dengan demikian, kawasan Asia tidak akan kehilangan momentum dalam menyambut pemulihan ekonomi global. Maklum, kawasan Amerika Latin dan Afrika tentunya juga mempersiapkan diri untuk menyambut pemulihan ekonomi dunia.


Business News