Rabu, 14 Oktober 2009

Great Ideas, Lack of Execution

Jika Anda sering mendengar istilah "omdo" atau "omong doang", atau juga "NATO" yang merupakan singkatan dari "no action, talk only", keduanya merupakan hal umum yang kerap terjadi dalam kehidupan.

Sering kali kita lebih mudah berkata-kata, namun begitu sampai tahap implementasi, nanti dulu.Di sini terlihat jelas bahwa eksekusi bukan hal yang mudah. Ada beberapa analogi yang mungkin mirip berikut ini. Apakah Anda mau belajar menyetir mobil dari orang yang tidak pernah mengendarai mobil sebelumnya?

Apakah Anda mau membeli obat penumbuh rambut jika si penjual ternyata hampir botak? Apakah Anda mau belajar menjadi eksekutor dari orang yang tidak pernah melakukan eksekusi? Marilah kita melihat perkembangan dunia pendidikan yang luar biasa selama tiga dekade terakhir.

Jika pada tahun 1970-an, menjadi sarjana adalah kebanggaan, maka di era 1980-an mendapatkan gelar master merupakan jaminan untuk mendapatkan promosi kerja yang cepat. Namun, kemudian yang terjadi dalam 10 tahun terakhir adalah fenomena sebaliknya, cukup banyak peraih gelar sarjana ataupun master yang menganggur.

Jelas banyak para lulusan baru tersebut yang tidak mempunyai kemampuan sesuai yang di-butuhkan pasar. Jika diurut lagi, proses belajarnya, mungkin kita akan geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin program magister bisnis diajar oleh orang yang tidak pernah berbisnis sebelumnya? Lalu program magister keuangan diketuai dan diajar oleh orang yang tidak pernah bekerja di industri keuangan.

Kalaupun mengaku rajin main saham, itu pun hanya dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Kategori orang seperti ini jelas tidak bisa disebut praktisi keuangan. Tak terbayangkan jika Anda belajar bedah di sekolah kedokteran dari dokter yang tidak pernah melakukan bedah sebelumnya.

Lalu belajar bermain piano hanya dengan membaca buku, tanpa praktik. Terlalu banyak teori menyebabkan Anda tidak akan bisa merasakan visualisasi. Hal ini membuat pandangan seseorang menjadi sangat terbatas dan hanya melihat suatu permasalahan dari satu sudut pandang.

Akibatnya wajar jika ada istilah populer lainnya, "GILE" yaitu "great ideas, lack of execution". Ide-ide yang dilontarkan begitu cemerlang, namun eksekusinya sangat minim. Berikut adalah tiga langkah yang merupakan kunci sukses seorang eksekutor sehingga tidak akan disebut "GILE" lagi.

Take the Risk

Berani ambil risiko. Walaupun banyak teori membahas kemampuan mengeksekusi, ada satu prinsip dasar yang sering dilupakan, yaitu keberanian untuk mengambil risiko. Umumnya, ketika seseorang memiliki sudut pandang terbatas, ia menjadi takut mengambil risiko. Ditambah lagi jika peristiwa yang dialami merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ketika perusahaan berada di zona nyaman, biasanya manajemen menghindari rencana baru di luar kebiasaan perusahaan. Yang lebih parah, para manajemen ini berusaha untuk pindah dari satu zona nyaman ke zona nyaman yang lain. Ketidakmauan manajemen dalam mengambil risiko inilah bisa menyebabkan perusahaan tidak berkembang, atau yang lebih cocok adalah seperti analogi Anda mendayung di dalam perahu untuk melawan arus.

Jika diam tidak mendayung, bukan jalan di tempat, tapi malah mundur terseret arus. Seseorang dituntut memiliki sudut pandang yang beragam sehingga bisa membayangkan konsekuensi dari tiap langkah yang diambil, termasuk jika tidak melakukan tindakan sama sekali. Kemampuan mencerna berbagai aspek inilah yang menimbulkan keberanian seseorang untuk mengambil risiko. If you don't try, you never win.

See the Sign of Times

Mampu melihat tanda-tanda mengenai situasi. Tidak cukup hanya dengan keberanian, untuk bisa sukses seorang eksekutor butuh kemampuan untuk melihat tanda-tanda perubahan karena tidak ada suatu perekonomian suatu negara yang terus-menerus mengalami ekspansi, pasti ada saatnya mengalami kontraksi.

Jangan sampai kita keasyikan ekspansi, namun lupa diri karena keberhasilan kita bisa diikuti dan direbut oleh yang lain juga. Sama seperti ketika mencoba mendeteksi penyakit jika kita sudah melihat gejala akan batuk pilek, jelas kita tidak bisa main hujan terus-menerus.

Atau ketika kita tahu salah satu ban mobil kita tidak sekuat yang lainnya,maka Anda sudah harus mengurangi kecepatan jika tidak mau terjadi kecelakaan. Tiap tindakan biasanya berdasarkan asumsi pada masa yang akan datang.

Padahal, asumsi ini umumnya berkaitan dengan asumsi lain sehingga belum tentu terjadi. Di sini kemampuan manajemen untuk tetap menginjak gas atau mulai mengerem menjadi kunci keberhasilan kelangsungan hidup perusahaan.

Adapt Quickly

Beradaptasi secepat mungkin. Sampai sejauh ini, tidak ada teknologi yang bisa memprediksi secara tepat kapan gempa akan terjadi. Negara seperti Jepang yang sudah terbiasa dilanda gempa pun dan memiliki tingkat teknologi yang canggih sekalipun tidak mampu memprediksi kapan gempa itu muncul.

Artinya, rakyat Jepang harus membangun bangunan yang jika terjadi gempa akan minimal dampaknya. Dalam dunia bisnis, setelah kita dapat mengantisipasi perubahan makro yang akan terjadi berdasarkan gejala-gejala yang kita analisis, kemampuan melakukan adaptasi adalah mutlak untuk bisa bertahan. Jangan sampai kita keasyikan lari kencang,namun lupa bahwa kekuatan ada batasnya.

Apalagi jika kondisi likuiditas memburuk sehingga harus terjadi perubahan strategi.Kemampuan beradaptasi ini sebaiknya sudah dilakukan sebelum pasar telah berubah sehingga prosesnya lebih lancar dan tidak menyakitkan.

Beradaptasi di sini artinya perusahaan tetap bisa berjalan normal dan siap lari lagi ketika kondisi makro sudah menunjang. Ide cemerlang menjadi sia-sia jika tidak dilaksanakan. Pelaksanaan yang tidak memperhatikan gejala di sekitarnya juga akan mengakibatkan rugi yang lebih dalam. Kemampuan mendeteksi dan melakukan adaptasi terhadap situasi yang baru menjadi kunci sukses pelaksanaan perencanaan. Selamat melakukan eksekusi!


Ferdinand Sadeli, CFA, CPA