Jumat, 23 Oktober 2009

Retorika Penyelamatan Bumi

Badai debu yang menyelimuti Sydney, Australia, pada 23 September 2009, merupakan fakta yang dengan gamblang memperlihatkan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global (global warming). Badai debu itu terjadi akibat terjangan angin kencang dari arah negara bagian Queensland dan New South Wales. Tidak tanggung-tanggung, angin yang bertiup dari dua negara bagian tersebut menerbangkan berton-ton lapisan permukaan tanah hingga sejauh ratusan kilometer. Sehari sebelum mencapai Sydney, badai debu di siang hari membuat gelap kota Broken Hill, di pedalaman New South Wales. Debu-debu yang berterbangan melayang hingga mencapai 1.167 kilometer ke arah timur Australia. Sulit mengelak dari kesimpulan, bahwa badai ini adalah dampak tidak terperikan dari pemanasan global.
Disimak berdasarkan perspektif jangka panjang pemanasan global, badai debu yang menyelimuti kota Sydney itu merupakan sinyal peringatan. Bahwa sesungguhnya sudah tidak ada lagi waktu mundur (time of no return) bagi setiap rezim kekuasaan di berbagai negara di dunia untuk menemukan jalan keluar dari kemelut pemanasan global. Berdasarkan skala cakupan wilayahnya, badai debu di Sydney hanyalah suatu bentuk bencana yang bersifat lokal. Badai debu itu merupakan resultante dari pemanasan global terhadap lingkungan pada tingkat lokal. Rezim kekuasaan di negara-negara lain boleh tidak peduli terhadap kenyataan ini. Namun demikian, pemanasan global memiliki kemampuan yang luar biasa hebatnya untuk mencetuskan bencana di seluruh semesta bumi, yakni bencana yang bersifat lintas negara (trans-border).

Momen Buruk
Dalam konteks membesarnya amplitudo, pemanasan global justru membuat siang hari semakin panas dan malam hari menjadi semakin dingin. Panas yang ekstrem di siang hari serta merta ditimpali oleh dingin yang ekstrem di malam hari. Dengan demikian berarti, hanya dalam rentang waktu teramat pendek, panas berganti dingin dan begitu juga sebaliknya. Kenyataan ini menimbulkan dampak serius terhadap manusia dan terhadap makhluk hidup pada umumnya. Daya tahan tubuh manusia di berbagai penjuru bumi terancam mengalami penurunan. Dan tatkala daya tahan tubuh benar-benar mengalami penurunan, maka dengan sendirinya, manusia begitu rentan terserang berbagai macam penyakit.
Perubahan musim yang berlangsung secara ekstrem memungkinkan berjangkitnya berbagai macam penyakit. Ketika pergantian musim berjalan normal, maka, di kawasan tropis, cacar air dapat diprediksikan muncul pada sekitar September dan Oktober. Begitu pun ketika musim penghujan datang secara normal, maka lebih mudah memprediksi munculnya jamur dan virus. Persoalannya, pemanasan global menggulirkan terjadinya pergeseran musim secara ekstrem. Musim datang silih berganti, tanpa kejelasan jadwal. Akibatnya, berbagai macam penyakit muncul di sepanjang tahun. Ketika daya tahan tubuh benar-benar mengalami penurunan, dengan sendirinya berbagai macam penyakit mengancam kehidupan manusia.
Tidak pelak lagi, pemanasan global merupakan momen buruk bagi kehidupan semesta di Planet Bumi.
Pertama, sebelum dilanda pemanasan global bumi sendiri sudah berada dalam situasi rumit oleh ledakan demografi, kelangkaan sumber daya, konsumsi secara besar-besaran energi fosil, dan emisi karbon dioksida. Pemanasan global benar-benar memperumit situasi yang sudah sangat pelik itu.
Kedua, pemanasan global berdampak langsung terhadap peningkatan suhu udara, kian tingginya uap air, mencairnya es di Benua Antartika serta perubahan arah angin muson. Di samping mengancam kehidupan manusia, dua momen buruk itu juga mencetuskan ancaman permanen terhadap kemampuan produksi pangan.

Menuju Kopenhagen
Bertitik tolak dari segenap persoalan yang dikemukakan di atas, dibutuhkan adanya vibrasi baru penyelamatan bumi. "Vibrasi baru" dimaksud ialah adanya komitmen dan tindakan nyata rezim-rezim kekuasaan di berbagai negara di dunia. Rezim-rezim kekuasaan tidak boleh lagi berhenti sekadar melontarkan retorika dalam hubungannya dengan penyelamatan bumi. Persis sebagaimana tercermin pada pengingkaran terhadap Protokol Kyoto, rezim kekuasaan di negara-negara industri maju banyak yang menegaskan ketentuan Annex I, yaitu pengurangan emisi karbon dioksida dalam jumlah tertentu. Padahal, ketentuan Annex I yang termaktub ke dalam Protokol Kyoto itu merupakan dasar penyelesaian masalah pemanasan global.
Terhitung sejak paruh pertama dekade tahun 1970-an, telah muncul ke permukaan isu penyelamatan bumi dari kehancuran. Melalui Deklarasi Stockholm tahun 1972, mulai muncul semacam the rule of conduct penyelamatan bumi. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1992, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil, menelorkan apa yang disebut Deklarasi Rio. Inilah deklarasi yang dengan tegas meniscayakan setiap negara untuk melindungi yurisdiksi mereka dari berbagai proses menuju kerusakan lingkungan. Pada tahun 1992 juga muncul dua hal yang sangat penting ke arah penyelamatan bumi, yaitu:
(i) Convention on Biological Diversity,
(ii) The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Seluruh perkembangan inilah yang kemudian mendorong lahirnya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Milan, Italia, 1-12 Desember 2003, diumumkan bahwa 119 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto. Sehingga dengan demikian, timbul harapan bakal terjadinya pengurangan emisi karbon dioksida selama kurun waktu tahun 2008-2012. Terbit harapan, bahwa Planet Bumi dapat diselamatkan dari kehancuran.
Tetapi pada 27 Januari 2004, Menteri Energi Spanyol José Folgado berbicara tentang "ketidaksukaan pemerintah Spanyol" terhadap limitasi emisi karbon dioksida berdasarkan kerangka kerja Protokol Kyoto. Pada Februari 2004, Menteri Perindustrian Finlandia Mauri Pekkarinen memandang penting renegosiasi target pengurangan emisi karbon dioksida pada level nasional negara per negara. Dengan ini tidak berlebihan manakala dikatakan, bahwa tidak membutuhkan waktu lama untuk menafikan Protokol Kyoto.
Pada 14 April 2004, para petinggi Rusia melontarkan sebuah komunike, bahwa pelaksanaan Protokol Kyoto bakal mereduksi prospek pertumbuhan ekonomi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa pada 18 Mei 2004 Akademi Sains Rusia merekomendasikan agar pemerintah Rusia melakukan perlawanan terhadap keharusan untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Penolakan paling dramatis terhadap Protokol Kyoto dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush. Alasannya, pengurangan emisi karbon dioksida bakal meluluh-lantakkan perekonomian AS. George W. Bush, dengan demikian, menganulir keputusan pendahulunya, Presiden Bill Clinton.
Pada tanggal 7 hingga 18 Desember 2009 mendatang, para Kepala Negara di dunia direncanakan menghadiri Konferensi Perubahan Iklim (KPI) di Kopenhagen, Denmark. Di bawah pengorganisasian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), KPI diharapkan mampu melahirkan konsensus lintas negara demi masa depan Planet Bumi. Di samping kembali membicarakan pengurangan emisi karbon dioksida, KPI juga mencanangkan agar kenaikan rata-rata suhu di permukaan bumi pada tahun 2050 tidak lebih dari dua derajat di atas temperatur sebelum era industrial abad XVIII.
KPI lagi-lagi, disergap kekhawatiran mendalam, karena pembicaraan para Kepala Negara hanyalah retorika. Target penurunan negara per negara hingga 40% emisi karbon dioksida pada tahun 2020 hanyalah menjadi hiasan bibir belaka dalam konferensi Kopenhagen. Negara-negara industri utama terus mempertahankan establishment perekonomian yang celakanya bertumpu pada emisi karbon dioksida dalam jumlah besar.


Business News