Selasa, 13 Oktober 2009

PBB dan Krisis Ekonomi Global

Setelah hiruk-pikuk pertemuan G-20 di Pittsburg, AS, akhir September 2009, dan kuatnya rekomendasi memperkuat entitas G-20 menggantikan G-8, PBB pun terus menggodok gagasan untuk terlibat penuh dalam penanganan krisis keuangan dan ekonomi dunia.

Jauh sebelum pelaksanaan KTT puncak G-20, Presiden Majelis Umum PBB sebenarnya telah meminta Joseph Stiglits untuk membentuk Commission of Expert yang akan memberikan advis kepada PGA untuk masalahmasalah krusial di bidang ekonomi dunia, komisi ini telah mengkaji usulan Kanselir Jerman Angela Markel mengenai pembentukan "global economic council" atau biasa juga disebut "Global Economic Coordination Council".

Gagasan tersebut masih terus dalam status pematangan dan menunggu feedback negara-negara anggota PBB lain. Langkah terbaru upaya ini kembali digelindingkan pada pelaksanaan pertemuan puncak lima hari kalangan pakar ekonomi,pendidikan, pengusaha, peneliti, pemerintahan, LSM, pemimpin agama,dan swasta pada pertengahan September 2009 lalu di London, Inggris.

Tujuannya mengidentifikasi langkah-langkah jangka panjang dan darurat dalam memitigasi dampak krisis ekonomi.Apa yang mendorong PBB demikian antusias terlibat dalam menentukan arah respons global terhadap krisis ekonomi dan keuangan dewasa ini? Analisis paling objektif yang harus disikapi PBB dalam penanganan masalah krisis keuangan dan ekonomi tersebut adalah krisis itu refleksi kegagalan "the inclusive multilateralism" di bidang ekonomi.

Kesimpulan ini pernah disampaikan Mr Jomo Kwane Sundaran, Asisten Sekjen PBB untuk Pembangunan Ekonom dalam suatu forum terbuka di markas PBB di Wina,Austria. Secara historis PBB sebenarnya menyimpan memori cukup mendalam mengenai hal ini pada saat persiapan Bretton Woods, 1944.

Konsepsi Bretton Wood 1944 sesungguhnya juga lahir dari sebuah konferensi yang diprakarsai "PBB", walaupun badan dunia tersebut belum lahir saat itu. Dalam hal ini, Bretton Woods 1944 merupakan jelmaan dari United Nations Conference on Monetary and Financial Affairs ketika itu.

Hanya saja saat itu penekanan objektifnya pada beberapa sektor penting seperti sustaining growth, employment creation, dan development terpinggirkan oleh aspek financial stability. Alhasil, keberadaan Bretton Woods sebagai governance arrangements yang menjadi sangat berbeda daripada yang diharapkan semula.

Kegagalan "The Inclusive Multilateralism"

Keraguan masyarakat dunia terhadap langkah-langkah terkini yang diambil oleh banyak kelompok negara merupakan kritik terhadap kegagalan antisipasi "the inclusive multilateralism".Ketidakmampuan itu mengakar pada polapola neoliberalisme yang berinfiltrasi ke dalam sistem keuangan dunia (international financial architecture) yang lebih bersifat ad-hoc, sehingga menjadi masalah tersendiri.

Akibatnya, krisis itu semakin meningkatkan pengaruh serta mengentalkan dikotomi antara ideologi pro-deregulation dan self-regulation yang kemudian menghasilkan inadequate ataupun inappropriate regulation capital account liberalization. Kritik paling terbuka terhadap kegagalan itu karena globalisasi keuangan pada hakikatnya tidak memberikan kontribusi pada pertumbuhan.

Krisis keuangan itu justru menjadikan banyak negara sedang berkembang sebagai innocent victims utama. Policy response yang dihasilkan oleh sebagian besar major playerseperti G-7 maupun G-20 dianggap inadequate dan lebih bersifat double standard serta cenderung mengirimkan sinyal menguatnya proteksionisme.

Realitas yang dengan mudah kita saksikan saat ini adalah betapa arsitektur keuangan global lebih mengedepankan net capital flows dari Selatan ke Utara dan memperlihatkan bagaimana AS menjadi peminjam terbesarnya. Padahal seyogianya net capital flows itu memberi ruang bagi aliran modal yang lebih berimbang dari Utara ke Selatan (capital rich to capital poor). Arsitektur keuangan yang banyak dipuja orang sesungguhnya tidak menggambarkan short-term capital inflows yang sehat.

Hal itu dikarenakan kontribusinya terhadap investasi maupun rasio pertumbuhan tidak ada.Pengelolaan aset ekonomi, baik menyangkut sharesmaupun prices,cenderung dilakukan secara bubbles management. Bahkan dukungan keuangan yang lebih murah dan royal diberikan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat consumption binges. Mengapa demikian?

Karena kondisi pengelolaan ekonomi semacam itu umumnya dibangun dengan landasan booming economic activity yang kerap berakhir dengan sudden collapse. Artinya, kadang-kadang investasi, yang seharusnya menjadi salah satu pilar pertumbuhan, cenderung mengalami over-investmentdengan ekses kapasitas sebagai ciri utamanya. Semua itu justru memperkisruh instabilitas keuangan dan mengubahnya menjadi pro-cyclicality.

Fokus Penanganan

Jika PBB ingin serius menyelami langkah yang harus disiapkan masyarakat global, maka penanganan krisis ekonomi dunia harus diarahkan pada dua front, yakni prioritas penguatan aspek regulatorydan policy. Upaya pada tingkat regulatory ditunjukkan dengan langkah-langkah seperti kemampuan untuk menciptakan prudential risk management, terutama untuk memonitor arus modal (capital control), mendorong finance growth yang berbasis pada output dan optimalisasi ketersediaan tenaga kerja, mengembangkan struktur keuangan yang krusial bagi investasi dan pengembangan kebijakan di bidang teknologi, serta mendorong terciptanya inclusive finance yang mampu menopang stabilitas keuangan dunia.

Di tingkat policy priorities, langkah-langkah yang mesti dilakukan adalah dengan membendung tersebarnya krisis keuangan dengan cara menjamin likuiditas untuk memastikan adanya pertumbuhan real economy, menurunkan restriksi ekonomi melalui langkah-langkah fiskal dan moneter, serta mengembangkan regulatory reform yang tepat di sektor keuangan, baik secara nasional maupun internasional.

Pada tataran praksis, tampaknya kita juga tetap dituntut untuk melanjutkan kebijakan stimulus. Hal itu diperlukan guna merangsang permintaan asing bagi tujuan ekspor yang cenderung melemah dalam kondisi tersebut. Hanya,masalahnya memang kapasitas produktif domestik dan kapabilitasnya telah hilang ditelan liberalisasi ekonomi.

Apalagi hampir semua negara mengalami keterbatasan fiskal. Ironisnya, terdapat kecenderungan hampir setiap negara memfokuskan diri pada pembiayaan domestik, bukan eksternal-baik melalui pembangunan atau perbaikan infrastruktur maupun penguatan perlindungan dan pelayanan sosial.

Bagaimanapun,keinginan PBB untuk mengembangkan UN-Systemdalam penanganan isu keuangan dan ekonomi dunia sebaiknya ditempatkan pada upaya untuk memainkan peranan pemberian second opinion bagi banyak negara anggota yang memerlukan. Harus diakui bahwa mandat dari kemungkinan badan yang dibentuk serta kapasitas untuk melaksanakan fungsi tersebut tidak mudah dirumuskan dalam waktu dekat.

Sementara pada saat bersamaan dunia menuntut untuk memperoleh akuntabilitas yang lebih besar dalam penanganan ekonomi global. Karena pada dasarnya, ketiadaan akuntabilitas telah menjadi salah satu ciri kegagalan sistem yang berlangsung sekarang.


Muhammad Takdir