Selasa, 06 Oktober 2009

Demitologisasi Gempa Bumi

Sebuah "perjumpaan" antara energi serba misteri dari perut bumi dengan makhluk ciptaan-Nya di Bumi Minang menggetarkan keharuan dan menyisakan pertanyaan, mengapa kekuatan nasib berakhir absurd adanya?

Pada Rabu (30/9), pukul 17.16, Kota Padang porak poranda, meruntuhkan ratusan bangunan, memecah ratap tangis anak manusia.

Setelah terlempar kepada tiga kata - tanpa tahu mengapa - pancaindra mengisi jalinan serabut pengalaman untuk memenuhi keingintahuan mengenai apa yang sedang terjadi. Gempa bumi berskala 7,6 skala Richter mengguncang beberapa wilayah Sumatera Barat.

Dan warta nasional, regional bahkan internasional mengabarkannya dalam rentetan kalimat dan runtutan gambar plus suara, sebagai upaya menggoyang nurani pembaca dan menyentuh imaji pemirsa. Di Bumi Minang ada gempa hati.

Satu tirai hari tertutup, 24 jam terlewat, media cetak menurunkan kepala berita agar jutaan kepala insani tersentuh kemudian hati terlibat atas nama kredo kemanusiaan. Padang Porak Poranda, tulis harian Kompas, Sumatera Barat Luluh Lantak (Media Indonesia), Padang Lumpuh (Republika), Korban gempa bisa capai ribuan orang (Bisnis Indonesia).

Media ingin menggenapi syahadat - meminjam istilah kunci filsuf dan teolog Rudolf Bultmann - demitologisasi: kita berada di dalam dan bukan di luar. Ragam pilihan kata dari empat media cetak itu ingin menjangkau pengalaman mendasar mengenai teks berjudul duka manusia.

Sementara media elektronika menayangkan laporan terkini mengenai korban jiwa, mengenai kehancuran bangunan, mengenai korban yang masih terkubur. Mengalun musik menyayat hati sebagai iring-iringan dari kereta akhir usia manusia, semoga ia beristirahat dalam damai. Requiescat in pace (RIP).

Demitologisasi gempa bumi di tanah Minang dibaptis sebagai tampilan "actum" tanpa "factum", artinya aktualitas dinomorsatukan agar nilai dan makna hidup diperoleh dalam perjalanan detak waktu. Di bawah payung musibah kemanusiaan di Sumatera barat, mengerti berarti turut mengalami, merasakan dan mencintai sesama agar dapat merancang diri sendiri. Yang rasional plus yang emosional.

Jerit korban terus dikirim, nasib korban terus disentuhkan agar keterlibatan pribadi tidak tinggal sebatas kalimat-kalimat umum. Yang diperlukan, empati. Dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di garis depan, bersumber dari nuansa bening demitologisasi yakni keterlibatan pribadi dalam setiap tragedi kemanusiaan.

"Dalam keadaan ini diperlukan kecepatan dan kalau ada yang bisa lebih dulu ke sana serta ada kerjasama ASEAN dan negara sahabat seperti itu, maka silakan saja. Tapi kendali tetap di tangan kita. Namun itu nomor dua, yang utama kerahkan dulu tenaga kita," kata Presiden usai melakukan rapat terbatas penanganan dampak gempa Sumatra Barat di Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma Jakarta.

Dalam arahannya ketika meninjau posko penanganan bencana di Balaikota Pariaman, Sumbar, Jumat, Presiden mengingatkan kecepatan adalah faktor penting dalam menangani dampak bencana pada tahap tanggap darurat."Dana 100 miliar harus mengalir, jangan ada birokrasi lagi. Ini darurat, kecepatan penting," katanya menegaskan.

Presiden juga mengingatkan, dana bencana itu harus dipakai secara efektif dan efisien, tanpa ada penyelewengan. "Yang penting uang itu betul digunakan, jangan ada menyimpang ke sana kemari. Itu neraka, dosanya besar," katanya. Ada pijar pembaruan hidup yang ingin ditawarkan kepada publik ketika teks bencana Minang menyergap kontemplasi setiap manusia.

Kontemplasi yang dibalut aksi juga dikemukakan oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Ia memperkirakan biaya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi akibat gempa di Sumbar bisa mencapai tiga sampai dengan empat triliun rupiah.

"Saya sudah perintahkan Bappenas untuk mendata, saya kira biaya untuk rehabilitasi dan rekonstruksinya akan sangat besar hingga mencapai tiga sampai dengan empat triliun rupiah," katanya usai shalat Jumat di masjid Istiqlal, Jakarta. Sebelumnya pemerintah telah menganggarkan dana Rp100 miliar untuk tanggap darurat.

Ketika merespons teks bertajuk demitologisasi gempa Sumbar, gempa bumi di Tanah Air, Presiden dan Wakil Presiden memadatkan formula kontemplasi yakni "siapa yang tidak mempunyai rumah, tidak dapat berkelana ke mana-mana". Ini kontemplasi dalam nukleus pengalaman kesejarahan ketika berwawan-kata mengenai gempa bumi.

Tanah Sumatra telah berkutat dalam narasi bencana gempa bumi. Pada 4 Juni 2000, Bengkulu dilanda gempa tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter (SR), sebanyak 94 orang meninggal dunia dan ratusan luka-luka. Pada 26 Desember 2004, lebih dari 300 ribu orang tewas dan hilang ketika gempa 9,15 SR memicu Tsunami menerjang Aceh dan Sumatra Utara.

Pada 28 Maret 2005, gempa 8,5 SR menewaskan 900 orang lebih. Pulau Nias paling hebat dilanda bencana dan 633 orang meregang nyawa, 50 orang hilang dan 27 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Pada 6 Maret 2007, gempa berkekuatan 5,8 SR mengguncang Sumatra Barat. Sebanyak 78 orang tewas dan sejumlah bangunan dan jalan rusak berat.

Ribuan nyawa menghadap Sang Khalik untuk mengucap rumus kehidupan dari tanah kembali ke tanah, mengiyakan Alfa menuju Omega. Dan manusia Indonesia berucap dalam solidaritas kemanusiaan.

Ada gelontoran dana di beberapa gempa nasional dan dana rehabilitasi. Sebut saja, gempa Aceh dan Nias (2004) ada dana Rp5 triliun, gempa Yogyakarta (2006), Rp3.300 miliar; gempa Jawa Barat (2006) Rp1,4 triliun; gempa Pangandaran (2009), Rp800 miliar.

Nah, bagaimana semua prakarsa empati manusia Indonesia ini bermakna ketika berhadapan dengan aneka gempa bumi agar kontemplasi manusia mendekati paripurna?

Filsuf abad 17, Malebranche punya jawabannya. Ia menulis, "Matahari terbit tanpa memandang yang baik dan yang jahat, sering membakar tanah orang-orang baik. Manusia sama sekali tidak ditimpa penderitaan dan kesengsaraan menurut kesalahan atau kejahatan yang dilakukannya".

Dan warta demitologisasi gempa bumi tunggal saja: hanya sesuatu yang berakar yang bisa hidup dan bertumbuh.


A.A. Ariwibowo